karescript

Deburan ombak menyapa bebatuan yang ada di sekitarnya. Angin laut yang sejuk dan sinar matahari senja yang mulai terpancar menghiasi pemandangan indah di laut itu. Ketenangan dan kebahagiaan seolah tengah menyelimuti suasana di sana.

“Ga! Udah ih, baju aku basah ntar!”

Arga tertawa melihat wajah Resha yang kesal karena ia terus menerus mengarahkan percikan air pada perempuan itu. Namun, lelaki itu akhirnya menghentikan kejahilannya dan menghampiri kekasihnya yang tengah meliriknya sinis.

“Maaf maaf. Kan emang biar seru main-main di sini,” ujar Arga sembari mengusap lembut pipi Resha.

“Iya tapi kan aku gak bawa baju ganti.”

“Iya sih aku juga.”

Arga meraih tangan Resha dan menarik perempuan itu untuk duduk di batu besar yang ada di belakangnya. “Duduk di sana aja yuk!”

Mereka pun akhirnya duduk bersebelahan di batu itu. Memandang lautan biru yang cukup tenang dan menciptakan suasana damai. Resha menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Arga, membuat lelaki itu perlahan tersenyum. Arga menggenggam tangan Resha, mengusap telapak tangannya dan menyelipkan jari jemarinya di antara jari jemari perempuan itu.

Resha memejamkan matanya, merasakan segala ketenangan dan kedamaian di sana. “Enak ya gini ....”

“Iya lah enak, bahu aku emang enak buat sandaran.”

“Hahaha iya sih bener.”

Kedua insan itu menikmati waktu yang semakin lama semakin berlalu. Arga dan Resha sudah menjalin hubungan selama tiga tahun. Banyak halangan dan rintangan yang tentu menghiasi perjalanan mereka selama ini. Bertengkar kemudian berdamai dan saling bicara meskipun hati masih tak baik-baik saja, tapi hal itu yang justru menguatkan hubungan mereka.

Setelah sekian lama menikmati suasana di atas batu itu, Arga tiba-tiba menyadari sesuatu. “Eh? HP aku mana, ya?”

Resha mengangkat kepalanya saat Arga mulai gelisah mencari ponselnya. Lelaki itu merogoh saku celana jeans-nya.

“Gimana sih? Tadi terakhir ditaruh di mana? Coba inget-inget.”

“Dari tadi aku taruh di saku kok. Duh kemana ya ....”

Arga pun beranjak dan berdiri dari tempat duduknya. Ia turun dari batu besar itu dan mencari-cari ponselnya di sekitar sana. Resha pun mengikuti Arga, matanya menyusuri segala sudut tempat di sekitarnya.

“Sha, kamu cari di sekitaran batu itu coba. Aku mau ke sana dulu, siapa tau tadi jatuh pas kita main air di sana.” Arga menunjuk batu besar yang berada di belakang Resha. Perempuan itu mengangguk dan segera menuju ke tempat yang ditunjuk oleh kekasihnya.

Resha menelusuri segala sisi di sekitar batu itu. Ia bahkan rela menggali pasir yang ada di sana sembari menggerutu bagaimana bisa Arga bisa menjatuhkan ponselnya.

Beberapa lama Resha mencari di sekitar batu itu, ia hampir pasrah, tetapi ia melihat sebuah benda asing yang terselip di antara sisi bawah batu dan pasir. Benda itu nampak mencolok dan menyerupai sebuah batu alam yang berwarna merah muda.

“Hm?” Resha mengambil batu itu dan terkejut saat mengetahui bahwa itu bukan batu biasa. “Lah? Batunya bisa dibuka?”

Resha melihat terdapat garis yang membelah batu itu. Perempuan itu pun mencoba membuka batu yang ada di genggamannya itu. Resha membisu saat melihat isinya, terdapat sebuah cincin di dalam sana.

Resha segera menoleh ke belakang, tetapi ia tak menemukan siapa pun di sana. Resha terheran saat ia tak melihat Arga, bukankah lelaki itu mencari ponselnya di sisi pantai yang ada di belakangnya? Resha tak menyadari bahwa lelaki itu telah menghilang.

“Arga? Ga!”

Resha bergerak melangkah menuju tempat di mana Arga mencari ponselnya tadi. Perempuan itu mencari dan menelisik berbagai sudut pantai di sekitarnya dengan matanya. Ia benar-benar tak menemukan sosok kekasihnya itu.

“TOLONG! TOLONG!”

Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan Resha. Ia pun segera mencari sumber suara itu karena ia tahu bahwa itu suara Arga. Pikiran kalut mulai menyerang pikiran Resha. Ia takut terjadi sesuatu pada lelaki itu.

“ARGA?”

“RESHA? SINI SHA TOLONGIN AKU!”

Resha melangkah menuju sisi kanan tebing batu besar yang ada di sana. Ia terkejut saat tiba di tempat itu.

“Ga? Daffa? Daffa kok ada di sini? Ini dia kenapa?”

Daffa tergeletak tak sadarkan diri dengan rambut dan tubuhnya yang basah. Raut cemas di wajah Arga pun terpancar dengan jelas. Arga berusaha menekan-nekan dada adiknya itu.

“Dia emang tadi bilangnya mau nyusulin aku ke sini, terus dia main-main air di sana, eh tiba-tiba dia pingsan begini.”

Resha pun ikut cemas melihat keadaan Daffa. Perempuan itu menepuk-nepuk pelan pipi adik lelaki Arga itu.

“Duh gimana ya ....”

“Gini aja deh, Sha. Aku boleh gak minta tolong ambilin aroma terapi atau minyak kayu putih apa gitu di mobil? Kamu tau kan tadi mobil kita parkirnya di mana?”

“Iya tau kok. Aku ambil dulu ya.” Resha segera beranjak meninggalkan Arga dan Daffa setelah Arga memberikan kunci mobilnya.

Perempuan itu berlari sembari menggenggam kunci mobil Arga dan batu yang ia temukan tadi. Langkahnya semakin kencang saat ia semakin dekat dengan mobil Arga yang terparkir tak jauh dari tepi pantai.

Resha membuka pintu mobil itu dan mulai sibuk mencari kotak obat yang berada di kursi bagian tengah. Beberapa lama kemudian, netranya pun menangkap sebuah buket bunga mawar yang ada di sisi kemudi mobil.

“Hah? Sejak kapan ada buket di sini?”

“Ekhm!”

Resha menoleh ke belakang ketika mendengar suara dehaman yang tak asing baginya. Arga berdiri di belakangnya. Ia tersenyum sembari menaik turunkan alisnya.

“Loh? Kok kamu di sini? Daffa ditinggal sendirian?”

“Kok malah nanyain Daffa sih?”

Senyuman Arga seketika sirna dan tergantikan dengan bibirnya yang cemberut. Resha terheran dengan kekasihnya itu.

“Ya kan emang Daffa lagi sakit?”

Tak berapa lama kemudian, Daffa muncul dari belakang mobil Arga. Lelaki itu pun terkekeh. “Gue gapapa kok hehehe ....”

Resha terkejut saat melihat Daffa yang baik-baik saja, tetapi dengan tubuh dan rambut yang masih basah. “Daf, tadi kan lo pingsan? Kok bisa sih? Ini ada apa sebenernya? Kalian nge-prank?”

Daffa melirik Arga dan menunjuk Resha dengan dagunya, ia memberikan kode agar kakaknya itu menjelaskan segalanya pada perempuan itu.

Arga mendekat pada Resha. Ia meraih tangan kekasihnya itu dan menatap mata Resha dengan begitu dalam.

“Sebelumnya maafin aku ya udah bikin kamu panik, ini emang rencana aku sama Daffa.”

“Maksudnya?”

“Kamu kan udah nemu batu ini, udah tau kan isinya apa?”

Arga menunjuk batu yang ada di genggaman Resha. Perempuan itu mengangguk perlahan. Arga pun segera mengambil buket bunga yang ada di dalam mobilnya.

“Ini juga buat kamu.”

“Ga? Ini maksudnya ....”

“Hehehe ... ini semua udah aku rencanain, Sha. Jujur aku suka ragu untuk sampe ke tahap ini, masih takut, tapi aku sadar, sekarang udah bukan saatnya buat kita untuk cuma main-main.”

Resha masih membisu mendengar segala pernyataan Arga. Hatinya berdebar semakin kencang setiap Arga melontarkan kata demi katanya.

Arga pun berlutut di hadapan Resha. Ia menghela napasnya perlahan. Lelaki itu nampak benar-benar gugup saat itu.

“Sha, aku punya satu wish lagi. Ini bener-bener wish yang udah aku harapin dari lama. Kamu mau gak wujudin keinginan aku yang satu ini?” Arga berhenti sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. “Wish aku kali ini pengen jadi suami Nadira Teresha. I want to spend the rest of my life with you, Sha.”

Resha menutup mulutnya tak percaya. Matanya berkaca-kaca, senyuman bahagia pun terukir di bibirnya yang masih membisu karena perlakuan Arga.

Sha, will you marry me?

Arga menatap Resha begitu dalam. Jantungnya berdetak kencang saat menunggu jawaban dari kekasihnya itu. Tak butuh waktu lama, Resha pun menganggukkan kepalanya.

Yes. I will, Ga.

Raut antusias dan kebahagiaan terlukis di wajah tampan Arjuna Gavindra. Bibirnya merekah membentuk sebuah senyuman yang mungkin menjadi senyuman yang paling membahagiakan di hidupnya. Arga pun bangkit dari posisinya dan segera memeluk erat perempuan yang ada di hadapannya.

Arga dan Resha saling berpelukan erat dan tersenyum bahagia. Keduanya bahkan menitikkan air matanya karena rasa bahagia yang tak lagi dapat diungkapkan dengan kata-kata. Arga menatap Resha begitu dalam, pandangan mereka pun terkunci pada satu sama lain. Perlahan, Arga mendekatkan wajahnya pada Resha, membuat perempuan itu memejamkan matanya.

“Eh eh eh! Masih ada gue di sini anjir lo berdua mau main nyosor aja.” Daffa memecahkan suasana saat itu. Arga pun melirik Daffa sinis, sedangkan Resha hanya tertawa melihat tingkah kedua kakak-beradik itu.

“Yaelah anjir lo ngerusak aja.”

“Ya lagian lo mau ciuman kaga aba-aba dulu. Ini di luar skenario kita.”

“Bentar doang lah, Dap.”

Arga memohon pada adiknya itu. Daffa memutar bola matanya jengah. “Ya udah, gue pergi dulu dah mau beli cilok di ujung sana.”

Arga tersenyum dan memberikan aba-aba dengan tangannya yang seperti tengah mengusir ayam. “Hush! Hush!”

“Sialan lo.”

Daffa pun akhirnya membalikkan badannya dan melangkah pergi dari sana, meninggalkan Arga dan Resha yang kini tengah menatap punggungnya yang semakin menjauh. Arga menoleh dan melirik-lirik ke sekitarnya, tak ada orang lain di sana. Ia kembali menatap Resha dan disambut senyuman hangat oleh perempuan itu.

“Ulang, ya? Hehe ....”

Resha mengangguk. Arga menangkup wajah Resha dan menatap mata perempuan itu sejenak. Tatapan itu kemudian ia alihkan pada bibir ranum milik perempuannya itu. Arga mendekatkan wajahnya pada Resha, membuatnya memejamkan matanya kala itu juga.

Hembusan napas mereka pun saling beradu karena jarak keduanya yang begitu dekat. Bibir keduanya akhirnya saling bertemu, mengisyaratkan bahwa sang pemiliknya tengah tenggelam dalam lautan asmara yang disaksikan oleh deburan ombak biru. Arga mengeratkan pelukannya pada Resha, membuat  perempuan itu melingkarkan tangannya pada leher lelakinya itu. Kupu-kupu seolah tengah beterbangan dalam perut keduanya, menciptakan sebuah euforia yang tak dapat diungkap dengan kata-kata.

Arga memejamkan matanya dan tersenyum tipis saat bibirnya beradu dengan milik Resha, lelaki itu tak dapat membendung rasa bahagianya kala mengingat tentang Resha yang telah menerima dirinya sebagai pendamping hidupnya.

Setelah beberapa lama saling dimabuk asmara, mereka akhirnya melepaskan tautan pada bibirnya. Arga tersenyum saat membuka matanya dan melihat wajah Resha dalam jarak yang mungkin hanya dapat dihitung dengan skala inci.

“Pake rasa apa?”

“Hah?”

“Itu liptint kamu. Besok-besok pake ini aja deh, Sha. Manis deh aku suka hehehe ....”

“ARGAAA IH!”

Resha lantas memukul bahu Arga dan disambut oleh gelak tawa lelaki itu. Raut kesal memang tergambar di wajah Resha, tetapi dalam lubuk hatinya, ia benar-benar bahagia.

“Btw aku sedih deh, Sha.”

“Kenapa?”

Wishlist Arga sekarang udah gak ada lagi.”

“Lah kenapa? Kan kamu masih bisa minta wish apa aja?”

“Soalnya mulai sekarang, wishlist Arga bakal berubah jadi wishlist Arga dan Resha hehehe ....”

Resha tersenyum penuh haru saat mendengar perkataan Arga. Kedua insan itu kembali berpelukan dan disambut oleh angin laut yang seolah ikut bersuka cita melihat keduanya bersama. Mereka akhirnya telah sampai pada tahap yang begitu serius. Memang sudah bukan saatnya lagi untuk membahas soal menjalin rasa cinta dan kasih, tetapi bagaimana mereka dapat berjanji untuk sehidup semati dalam sebuah ikatan sakral dan suci.

Selamat berbahagia untuk Arga dan Resha. Semoga semesta selalu merestui jalan keduanya yang telah berjanji untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama.

Hening. Kini yang tersisa hanya Arga dan Resha di tempat itu. Angin pun berhembus perlahan, suasana di sana seolah mendukung keduanya agar dapat memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.

“Lo gak mau pesen makan juga, Sha?” Arga akhirnya menjadi yang pertama untuk memecah keheningan di sana.

“Oh, gak, gak usah. Gue udah makan tadi kok.”

Arga mengangguk-anggukkan kepalanya. Pandangannya ia alihkan pada sekelilingnya. Tak ada pelanggan lain di luar sana karena kebanyakan mereka memilih untuk duduk di dalam ruangan.

Resha terdiam sembari memberanikan diri untuk memandangi Arga yang kini benar-benar ada di hadapannya, bukan sebagai sosok yang tak kasat mata, tetapi sebagai sosok manusia yang sama dengannya. Resha sesekali mengukir senyumannya saat menatap wajah lelaki itu. Wajah yang selalu Resha ingat sejak Arga masih bersamanya.

“Kok ngeliatin gue gitu banget, Sha?”

“E-eh, maaf ya.”

“Hahaha ... gapapa, santai aja.”

“Keadaan lo gimana sekarang, Ga?”

“Baik kok hehe ... makasih ya udah nanyain.”

Nada bicara, senyuman, dan tawa Arga masih sama. Tawa dan senyuman yang Resha rindukan itu benar-benar telah kembali. Resha hampir menitikkan air matanya, tetapi segera ia usap kasar.

“Eh lo nangis lagi? Gue bikin lo sedih, ya?”

“Nggak kok, Ga. Gue kayaknya kelilipan aja.”

“Mau gue tiupin gak matanya?”

“Eh gak usah. Udah gapapa kok ini.”

Arga menatap Resha khawatir. Entah mengapa, perasaan khawatir itu tiba-tiba muncul di hati Arga, dan itu hanya bisa muncul pada saat bersama Resha. Beberapa lama Arga memandang Resha yang tengah sibuk mengusap matanya, sebuah benda membuat Arga terkejut bukan main.

“Maaf Sha kalo gue lancang, tapi itu kalung lo?” Arga menunjuk ke leher Resha. Ia melihat kalung berliontin hati berwarna putih itu.

Resha memegang kalung itu. Perempuan itu tersenyum dan segera melepas kalung itu. Ia menyodorkan kalung itu pada lelaki yang dulunya mengamanahkan kalung itu padanya. Arga memandangi kalung itu lamat-lamat, raut wajahnya nampak berubah, menunjukkan bahwa kalung itu memang memiliki makna yang mendalam baginya.

“Kalung mama lo, kan? Ini kan yang selama ini lo cari?”

Arga masih terdiam memandangi kalung itu. Ia memberanikan diri untuk menggenggam kalung berliontin hati berwarna putih itu. Detik selanjutnya, air matanya mulai turun membasahi pipinya. Resha tahu bahwa hal itu akan terjadi. Namun, Arga segera mengusap kasar air matanya itu.

“Mama ... gue kangen ... gue kira gue bakal kehilangan kalung ini selama-lamanya. Kok bisa kalung ini ada di lo, Sha?”

“Gue nemuin itu pas kejadian kecelakaan simpang lima, Ga. Kita terlibat kecelakaan yang sama.”

“Lo juga terlibat? Tapi lo gapapa, kan?”

“Gue gapapa kok, pas itu gue cuma luka lecet doang. Justru gue sedih pas denger lo ternyata terluka parah dan koma sebulan karena kejadian itu.”

“Iya. Gue pikir pas itu gue bakal nyusul mama. Tapi ternyata, Tuhan ngasih gue kesempatan buat kembali jalanin kehidupan di dunia ini.”

Arga tersenyum simpul. Ia menatap Resha yang nampak tersenyum tipis saat mendengar pernyataannya itu. Resha tak mungkin salah, ia benar-benar Arga, Arga yang selalu menghargai segala hal di kehidupannya.

“Sha, kalo boleh nanya, lo kenapa sesedih itu pas liat gue di rumah sakit?”

Hati Resha benar-benar masih belum siap menghadapi pertanyaan itu. Namun, benar kata Daffa, ia harus berani memulai segalanya demi kebahagiaan Arga.

“Gue takut lo gak percaya Ga kalo gue ceritain semuanya.”

“Mungkin awalnya gue gak bakal percaya, tapi entah kenapa hati gue yakin tentang lo, Sha. Ayo ceritain ke gue!”

Lagi-lagi Resha menghela napasnya sebelum memulai segala ceritanya bersama Arga. Sudah kali berapa ia menceritakan semua ini, tetapi kali ini ia merasa berbeda. Ia akhirnya menceritakan segala cerita ini pada orang yang menjadi tokoh utama dalam kisahnya itu.

Arga menyimak dengan seksama. Ia sama sekali tidak menginterupsi perempuan itu. Arga melihat betapa beratnya napas Resha saat menceritakan segalanya. Ia tak percaya dan kehabisan kata-kata. Mata Arga juga sesekali menjadi berkaca-kaca mendengar pernyataan Resha itu. Hatinya benar-benar merasa sedih, mendengar betapa dekatnya mereka kala itu, sedangkan kini ia tak dapat mengingat apapun tentang Resha.

“Gue bener-bener terpuruk pas lo ninggalin gue. Tapi, lo minta gue buat bahagia setelah lo gak ada. Jadi, gue berusaha buat nurutin permintaan lo itu.”

Arga terdiam. Ia benar-benar tak menyangka bahwa dirinya dan Resha memiliki hubungan sedekat itu, bahkan dirinya sendiri yang memberikan amanah pada Resha agar memakai dan menjaga kalung mamanya itu.

“Sha ... gue minta maaf. Gue minta maaf karena udah ninggalin lo, dan sekarang, gue gak inget segalanya tentang kita ....”

“Gapapa, Ga. Gue udah terima kok kalo emang lo gak bisa inget tentang kita. Lagian, semua itu terjadi di alam bawah sadar lo, gue gak bisa nyalahin lo juga.”

“Gue emang sempet gak percaya, tapi dengerin lo cerita tentang wishlist gue, bahkan gue ngasih kalung ini ke lo, gue jadi yakin, Sha.”

“Yakin gimana, Ga?”

“Yakin kalo lo hadir di kehidupan gue bukan cuma sebagai sebuah kebetulan.”

Arga tersenyum manis. Ia menatap Resha, tatapan itu benar-benar damai. Tatapan yang selama ini Resha rindukan.

“Sha. Gue boleh minta sesuatu lagi ke lo?”

“Minta apa, Ga?”

“Tolong ingetin gue tentang kita, ya?”

Resha memasuki kafe itu dan matanya menjelajah ke seluruh penjuru ruangan di sana. Ia tak bisa menemukan Daffa saat itu. Ia akhirnya memutuskan untuk melihat ponselnya dan berniat untuk menghubungi Daffa, tetapi ternyata Daffa sudah terlebih dahulu mengirimkan pesan padanya sejak beberapa menit yang lalu.

Gue ada di luar kak. Lo ke bagian belakang aja ntar ada pintu kayu gitu.

Resha segera mencari pintu kayu yang dimaksud oleh Daffa. Benar saja, ternyata kafe ini meluas di bagian belakangnya. Bagian luar kafe itu seperti sebuah taman yang dipenuhi beberapa meja dan kursi untuk para pelanggan. Resha melihat seorang lelaki yang tak asing baginya itu. Lelaki itu tengah duduk sembari sibuk dengan ponselnya di sana, membuatnya tak sadar bahwa orang yang ditunggu telah datang menghampirinya saat itu.

“Udah lama, Daf?”

“Eh udah dateng, nggak kok Kak, gue juga baru nyampe. Duduk sini, Kak!”

Daffa mempersilakan Resha untuk duduk di kursi yang ada di depannya. Mereka akhirnya memesan dua minuman sebagai teman berbincang.

“Jadi gimana, Daf? Langsung aja gapapa.”

“Lah kok malah gue? Ya kan lo yang bakal ceritain soal Kak Arga.”

“Oh iya ya, sorry gue lupa hehe ....”

Resha menghela napas sejenak sebelum menceritakan segalanya pada Daffa. Ia sempat ragu awalnya, tetapi akhirnya ia meyakinkan dirinya. Resha menceritakan segala hal tentang Arga, tentang bagaimana pertemuannya dengan Arga, wishlist Arga yang mereka lakukan bersama, sampai tentang kecelakaan simpang lima yang menyebabkan Arga harus koma selama sebulan.

Daffa benar-benar menyimak segala cerita Resha, lelaki itu memang sempat menanyakan beberapa pertanyaan pada Resha, pertanyaan yang jelas menunjukkan ketidakpercayaannya, tetapi akhirnya ia percaya bahwa semua ini benar adanya dan bukan hanya sebuah kebetulan. Daffa semakin percaya bahwa semua ini nyata ketika Resha menunjukkan kalung milik mamanya dan Arga.

“Ini ... ini kalung mama.” Daffa menatap kalung yang baru saja Resha berikan padanya.

“Iya, itu kalung mama lo sama Arga.”

“Jadi lo nemu ini pas kecelakaan itu, Kak?”

“Iya, Daf. Sebelumnya gue minta maaf ya karena udah pake kalung mama lo, gue cuma nurutin apa kata Arga pas itu.”

“Iya gapapa, Kak. Gue bener-bener kehabisan kata-kata ....”

“Gue maklum kok kalo lo emang gak percaya sama semua yang gue ceritain, tapi gue berani bersumpah kalo gue gak bohong.”

Daffa terdiam. Ia menatap Resha, kemudian pandangannya ia alihkan pada kalung mamanya itu. Ia memang masih merasa ragu, tetapi di saat bersamaan, hati kecilnya merasa bahwa semua ini benar.

“Gue emang masih agak gak percaya, tapi gue yakin lo gak bohong, Kak.”

“Makasih ya Daf karena udah percaya sama gue.”

“Iya. Kak Arga ngasih kalung ini ke lo, itu tandanya lo emang orang yang berharga banget buat dia, Kak.”

“Maksud lo?”

Lelaki yang ada di hadapan Resha itu menghela napas berat. Pandangannya masih ia arahkan pada kalung berliontin hati berwarna putih itu.

“Kalung ini tuh kalung peninggalan mama, Kak. Mama ngasih kalung ini ke Kak Arga karena emang Kak Arga sedeket itu sama mama. Kak Arga selalu bawa kalung ini kemana-mana, dia ngerasa selalu aman kalo bawa kalung mama, seolah-olah mama selalu ada di samping dia.”

“Daf? Berarti mama lo sama Arga ....”

“Iya, Kak. Mama udah pergi ke surga sejak setahun yang lalu. Makanya Kak Arga ngejaga kalung ini.”

“Daf ... gue minta maaf ....”

“Gapapa kok. Gue sama Kak Arga udah ikhlas sama kepergian mama.”

“Mama lo pasti bangga punya anak kayak lo berdua.”

Daffa tersenyum mendengar perkataan Resha. Ia juga sesekali mengusap liontin putih kalung itu, menandakan betapa rindunya ia pada sosok ibundanya yang telah pergi menghadap Sang Pencipta.

“Gue bersyukur Kak punya kakak kayak Kak Arga. Dia sekarang satu-satunya anggota keluarga yang bisa gue jadiin sandaran karena papa sekarang sibuk kerja di luar kota.”

“Arga pasti juga bersyukur punya adek kayak lo, Daf.”

“Iya, makasih ya, Kak. Gue bener-bener yakin kayaknya lo adalah sosok malaikat yang dikirim Tuhan buat Kak Arga.”

“Apaan sih, Daf? Bisa aja hahaha ... gue gak ngelakuin apa-apa.”

“Gue serius, Kak. Liat Kak Arga yang yakin ngasih kalung ini ke lo, ya meskipun di saat raganya yang gak sadarkan diri, gue yakin lo adalah perempuan yang mama maksud.”

“Perempuan yang mama lo maksud?”

“Iya, mama pernah bilang kalo Kak Arga boleh ngasih kalung ini ke perempuan yang dirasa tepat buat dia. Dan bener aja, kalung ini yang nganter Kak Arga buat ketemu sama perempuan itu, yaitu lo, Kak.”

Resha terdiam mendengar perkataan Daffa. Ia tak menyangka bahwa kalung itu memiliki makna yang sangat berarti dan mendalam bagi Arga.

Sorry, Daf. Gue tau lo gak mau bahas ini, tapi bukannya udah ada Zeva? Dia tunangannya Arga, kan?”

“Bukan. Zeva bilang begitu biar lo gak gangguin Kak Arga. Gue kesel banget waktu itu, tapi gue terlalu fokus sama lo dan Kak Arga, jadi gue gak bisa bilang apa-apa.”

“Lo kenapa kayaknya gak suka banget sama Zeva, Daf?”

“Iya emang gue gak suka sama dia. Dia udah nyusahin Kak Arga, dia posesif, dia pokoknya udah bikin Kak Arga stress banget. Kak Arga selalu mendem semuanya sendirian, gue gak tega tapi dia selalu bilang dia baik-baik aja. Dia tertekan banget sama Zeva, tapi dia gak bisa lepas dari cewek itu.”

“Hah ... serius, Daf? Kenapa gak diputusin aja?”

“Udah berulang kali gue, Nathan, sama temen-temen yang lain ngomong ke dia, tapi Kak Arga gak mau. Zeva selalu ngancem kalo dia bakal nyakitin dirinya kalo Kak Arga mutusin dia.”

“Gila ....”

“Gila emang. Gue udah gak tau lagi harus gimana. Makanya, gue mau minta tolong sama lo, Kak.”

“Minta tolong apa?”

“Tolong lepasin Kak Arga dari Zeva. Tolong tetep temenin Kak Arga kayak lo temenin dia buat menuhin segala wishlist dia. Tolong tetep bikin dia bahagia, Kak. Cuma lo yang bisa bikin dia ngerasa nyaman, bebas, dan bahagia.”

Resha benar-benar kehabisan kata-kata mendengar permohonan Daffa. Kini ia sadar mengapa Arga hanya ingin bebas dan bahagia saat rohnya sedang berkelana, karena Arga tidak bisa mendapatkan hal itu di kehidupannya.

“Tapi, Daf, mana mungkin gue jadi orang ketiga di hubungan mereka?”

“Lo bukan orang ketiga, Kak. Tapi lo adalah penyelamat buat Kak Arga. Gue mohon, Kak. Udah cukup Kak Arga kesusahan karena ngurusin gue sejak mama gak ada, gue pengen dia juga bahagia.”

Resha tak sanggup menatap mata Daffa. Namun, ia bisa melihat betapa pasrahnya Daffa saat itu. Lelaki itu ternyata benar-benar serius.

“Iya, Daf. Gue mau. Gue bakal berusaha bikin Arga bahagia lagi.”

Nathan, Audrey, dan Resha akhirnya tiba di rumah sakit yang dituju. Mereka bertiga berjalan masuk ke dalam gedung yang menjadi tempat pemulihan dan pengobatan bagi banyak orang. Aroma obat-obatan pun mulai memasuki indera penciuman mereka.

Sepanjang lorong gedung itu, Resha hanya melirik ke sana kemari sembari melihat ruangan-ruangan pasien di sampingnya. Jika dibandingkan dengan rumah sakit yang menjadi tempat rujukannya saat ia kecelakaan kemarin, rumah sakit ini jauh lebih besar dan ia yakin bahwa peralatannya pasti lebih memadai.

Mereka bertiga kemudian menaiki lift yang berada di ujung lorong pintu masuk. Tak butuh waktu lama, lelaki dan kedua perempuan itu akhirnya tiba di lantai tiga gedung bernuansa putih itu.

Nathan kemudian berjalan menghampiri seorang lelaki yang sedang duduk di kursi tunggu di depan sebuah ruangan. Resha dan Audrey hanya terdiam saat Nathan sedang sibuk menyapa temannya itu.

“Eh, lo baru dateng udah dapet dua cewek aja, Nath.”

“Lo baru ketemu gue jangan ngajak berantem ya.”

“Hahaha ... kenalin dong makanya.”

“Oh iya gue lupa. Kenalin ini Audrey, cewek gue. Yang gue ceritain ke lo pas itu.”

“Lo udah punya cewek gak bilang-bilang ya anjir. Oh iya, halo, kenalin gue Daffa.”

“Iya halo, Daf.”

“Nah yang di sebelahnya ini Resha, dia temennya Audrey.”

“Halo juga. Kenalin gue Daffa hehehe ....”

“Iya, halo juga, Daf.”

Resha dan Audrey nampak masih canggung dengan Daffa sehingga hanya Nathan yang meneruskan topik percakapannya dengan Daffa. Kedua perempuan itu hanya terdiam dan sesekali berbincang sendiri sembari mengamati keadaan rumah sakit saat itu.

“Lo kenapa ngechat gue? Gegara ada cewek itu lagi?”

“Iya anjir, gue mau ngechat Bang Ian sama Bang Hanan gak bisa, katanya mereka sibuk hari ini. Makanya gue ngechat lo, males banget ngadepin tuh cewek sendirian.”

“Hadeuh ... abang lo kemana?”

“Lagi ke kamar mandi tadi abis check-up.”

“Ditemenin cewek itu?”

“Iya. Maksa banget anjir tadi padahal udah jelas ya orangnya bisa sendiri, tapi katanya udah gapapa ntar ditungguin di luar, takut ada apa-apa katanya. Gedeg banget gue liatnya.”

Nathan tertawa saat melihat raut wajah Daffa yang memancarkan kekesalannya sembari bercerita tentang perempuan yang nampaknya sangat ia benci itu.

Tak berapa lama kemudian, perempuan yang tengah dibicarakan itu akhirnya muncul di hadapan keempat orang itu.

“Loh, kakak mana?”

“Bentar lagi juga kesini kok, Daf.”

“Kok lo tinggalin sih, Zev?!”

Nathan hanya terdiam saat melihat Daffa yang nampak semakin frustasi setelah kemunculan perempuan bernama Zeva itu. Audrey dan Resha yang sejak tadi sibuk mengobrol sendiri pun sempat mengalihkan perhatian mereka karena suara Daffa, tetapi akhirnya kedua perempuan itu kembali fokus pada pembicaraannya.

“Tuh! Orangnya udah selesai.”

Zeva menunjuk pada seorang lelaki yang berjalan mendekat ke arahnya. Lelaki dengan postur tingginya itu tengah sibuk merapikan pakaiannya, kemudian lelaki itu mengalihkan tatapannya pada ketiga orang yang tengah sibuk membicarakan dirinya.

“Eh, lo ke sini juga, Than.” Lelaki itu menyapa Nathan dengan wajahnya yang sumringah sekaligus terheran melihat kehadiran teman dekatnya sejak perkuliahan itu.

“Than Than mata lo! Masih aja manggil gue Than.”

“Hahaha ... ngegas mulu lo.”

“Keadaan lo gimana? Kok check-up lagi sih? Udah berapa bulan loh ini?”

“Iya, tadi tiba-tiba agak kumat dikit pusingnya.”

“Masih aja lo.”

“Hahaha ... udah gapapa kok gue.”

“Kak, udahan, kan? Ayo dah balik aja!”

Daffa akhirnya menengahi percakapan antara kakaknya dan Nathan. Ia nampak sudah tak tahan harus terlalu lama berada di rumah sakit itu, apalagi saat ada Zeva.

“Eh bentar, kenalin nih Audrey sama Resha. Kan dia belum kenalan sama mereka, Daf.”

“Oh iya, Nath.”

Audrey dan Resha yang hanya sibuk bercengkerama sejak tadi akhirnya kembali memusatkan perhatiannya pada sumber suara. Mereka terkejut saat Nathan tiba-tiba memanggil nama mereka.

Resha melirik Nathan sejenak, tetapi tiba-tiba netranya menangkap seseorang yang tak asing baginya. Detik itu juga, senyuman ramahnya yang ia niatkan untuk memperkenalkan diri perlahan sirna. Jantungnya berdetak begitu kencang. Resha benar-benar mematung saat melihat lelaki yang kini tengah berdiri di sebelah Daffa. Lidah perempuan itu begitu kelu, tetapi ia berusaha sekuat tenaga agar satu kata itu keluar dari bibirnya.

“A-arga?”

Audrey terkejut mendengar perkataan Resha, begitu pula dengan empat orang lainnya yang berada di sana, termasuk lelaki yang dipanggil 'Arga' itu. Resha tanpa sadar berjalan mendekati lelaki itu.

“Arga?! Ini beneran lo?”

“I-iya. Gue Arga ....”

Resha menangis saat mendengar perkataan lelaki itu. Ia sontak memeluk Arga erat-erat. Ia tak percaya bahwa lelaki itu ternyata masih hidup.

“Ga, gue gak nyangka lo masih hidup. Ga, gue kangen banget sama lo ....”

Tangisan Resha memenuhi seisi lorong itu. Ia tak peduli lagi dengan tatapan banyak orang yang melihatnya. Nathan, Audrey, dan Daffa hanya terdiam bingung saat menatap kejadian di depan mereka itu, sedangkan terdapat satu orang lainnya yang mukanya nampak merah padam karena amarahnya.

Sorry, lo siapa deh? Ngapain peluk-peluk cowok gue?!”

Zeva melepas kasar pelukan Resha yang tak terbalaskan oleh Arga. Hati Resha mencelos saat mendengar perkataan Zeva. Ia tak percaya bahwa Arga telah memiliki kekasih.

“Lo ... pacarnya Arga?”

“Iya. Gue Zeva. Pacar sekaligus tunangannya Arga.”

Arga sontak melirik Zeva. Namun, ia masih terlalu bingung melihat perempuan yang ada di depannya itu, sama seperti ketiga orang lainnya yang tetap terdiam melihat Resha yang ternyata sudah mengenali Arga.

“Kamu kenal sama dia?”

Lelaki itu terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan Zeva. Ia nampak berpikir sembari sesekali melihat Resha.

Arga akhirnya menggelengkan kepalanya. “Nggak, Zev.”

Deg

Pernyataan Arga benar-benar seperti ribuan pedang yang menusuk jantung Resha saat itu juga. Setelah mendengar pernyataan Zeva bahwa ia adalah kekasih Arga, kini ia harus mendengar pernyataan Arga bahwa ia tidak mengenal dirinya.

“Ga ... lo bercanda? Ga, ini gue Resha. Orang yang nemenin lo buat ngelakuin segala wishlist lo ....”

Lelaki itu semakin terheran dengan pernyataan Resha. Ia masih sulit mencerna segala perkataan perempuan yang tak ia kenali itu. Wishlist? Apa maksudnya? Begitulah pikiran Arga saat itu.

“Eum ... maaf ya Resha, gue bener-bener gak ngerti.”

Sekali lagi jantung Resha ditusuk dengan ucapan Arga. Lelaki itu berkata dengan nadanya yang lembut sembari tersenyum karena merasa tak enak pada Resha, tetapi hal itu justru semakin menyakiti Resha.

Air mata Resha mengalir semakin deras saat itu. Tubuhnya begitu lemas bahkan ia hampir terjatuh, tetapi untungnya ada Daffa yang sigap menangkap tubuhnya dan mendudukkan Resha di kursi tunggu yang terletak di sampingnya.

Audrey segera menghampiri sahabatnya itu. Ia juga sesekali menatap ke arah Arga yang masih terheran melihat Resha.

“Dey, gue mau pulang sekarang.”

“Iya ayo, Sha ... Gue anterin ya sama Nathan.”

Resha akhirnya beranjak dari tempatnya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk bangkit dari kursi itu. Tubuhnya benar-benar lemas. Sebelum ia pamit undur diri dari gedung itu, ia menoleh pada Arga sekilas.

Sorry, Ga. Mungkin gue salah orang,” ucap Resha dengan hatinya yang terasa begitu sesak kala itu. Arga hanya menatap Resha dengan raut wajah yang bingung.

Resha akhirnya memilih untuk pergi dari tempat itu dengan diikuti oleh Audrey dan Nathan. Kini yang tersisa hanyalah Daffa, Arga, dan Zeva dengan ribuan tanda tanya di benaknya.

Arga menatap punggung Resha yang semakin menjauh. Entah mengapa, hatinya merasa sedih ketika Resha perlahan menghilang dari hadapannya. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi ia tak tahu apa penyebabnya. Lelaki itu hanya bisa terdiam tanpa kata sembari terhanyut dalam pikirannya.

Sejak Arga telah benar-benar pergi, hari-hari Resha kini ditemani oleh sahabatnya, Mandala. Rutinitas antar jemput, bahkan mungkin hanya sekadar berkeliling di malam Minggu, segala perlakuan Mandala itu benar-benar membuat Resha nampaknya kembali nyaman dengannya.

Mandala dan Resha kini tengah berada di taman yang berada di sekitar kampus mereka. Dahulu, Mandala bertemu dengan Resha untuk pertama kalinya di taman ini. Pertemuan itu terjadi karena Resha yang melihat Mandala tengah terisak sendirian di tempat ini.

“Lucu gak sih dulu gue nangis di sini, Sha? Duh malu banget gue ngingetnya.”

“Hahaha ... inget banget mata lo sembab banget waktu itu. Tiba-tiba pamit ke anak-anak alesannya mau ke kamar mandi, lah ternyata nangis sesenggukan di sini.”

“Dah anjir diingetin mulu. Bodoh juga gue ngapain ya nangisin cewek yang kayak begitu.”

Mandala memang menangisi kekasihnya yang tiba-tiba memutuskan hubungannya kala itu. Lelaki itu bahkan tidak diberi kesempatan untuk menanyakan alasan mengapa kekasihnya itu memutuskan untuk meninggalkannya. Hari itu, ia menangis sejadi-jadinya di taman. Resha yang terheran melihat Mandala yang tiba-tiba izin ke kamar mandi dengan tergesa-gesa saat tengah menjaga stand untuk acara kampus kala itu pun akhirnya memutuskan untuk mengikutinya. Benar saja, lelaki itu langsung menangis saat tiba di sebuah taman yang sepi.

Resha sempat ragu untuk menghampiri Mandala yang pada saat itu merupakan teman satu kepanitiaannya, tetapi akhirnya Resha memberanikan diri untuk menghampiri dan menenangkan Mandala saat itu. Hal itulah yang memulai pertemanan Mandala dan Resha hingga saat ini, bahkan hingga keduanya saling memiliki rasa satu sama lain.

“Iya udah lupain aja dah cewek begitu mah. Tapi La, itu bikin lo agak trauma sama cewek, ya?”

“Bukan sama cewek sih, tapi lebih ke takut buat memulai hubungan baru lagi.”

Pernyataan Mandala itu hanya dibalas anggukan oleh Resha. Mandala memang takut untuk memulai hubungan baru dengan perempuan lain karena kejadian itu. Hal itu pula yang menjadi alasan mengapa Mandala tak berani untuk mengungkapkan perasaannya pada Resha. Ia takut akan ditinggalkan lagi oleh perempuan yang ia cintai. Namun, untuk kali ini, Mandala yakin bahwa Resha bukan seperti mantan kekasihnya itu.

Mandala kini mengalihkan tatapannya pada Resha yang berada di sebelahnya. Lelaki itu tersenyum, kemudian mengatakan sesuatu yang berhasil membuat jantung Resha berdetak begitu kencang.

“Tapi, kalo sama lo, gue gak bakal takut lagi buat memulai hubungan baru itu.”

“Hah?”

Resha menatap Mandala yang kini sedang memejamkan matanya sembari menyandarkan kepalanya pada kursi.

“La, kok malah tidur sih anjir? Maksud lo apaan? Hubungan baru?”

“Gue suka sama lo, Resha.”

Jantung Resha semakin berdetak kencang. Perempuan itu berharap bahwa Mandala tak akan mendengar detak jantungnya itu.

“Kok diem aja? Salting ya lo?”

“A-apaan sih lo?! Bercanda lo ya?”

“Iya, tadi gue ngigau itu.”

Resha sontak memukul lengan Mandala saat itu juga. Mandala tertawa sembari membuka matanya dan menegakkan badannya kembali.

“Gak lah! Gue serius anjir. Lo aja emang yang nganggep gue bercanda mulu.”

“Sejak kapan?”

“Hmm ... sejak hari itu lo nyamperin gue di sini mungkin? Sejak itu gue ngerasa nyaman sama lo, meski sebenernya gue masih takut pas itu. Tapi, makin lama, gue makin yakin kalo lo itu beda, Sha.”

Perempuan itu terdiam mendengar penuturan Mandala. Ia benar-benar tak menyangka bahwa ternyata Mandala menyimpan perasaan padanya sejak lama.

“Gue gapapa sih kalo lo emang masih belum bisa nerima gue karena Arga. Yang penting hari ini gue lega udah ngungkapin semuanya sama lo.”

“Ini lo ceritanya confess ke gue?”

“Ya menurut lo? Jadi gimana nih?”

Resha berpikir sejenak. Ia nampaknya masih menimang-nimang sebuah keputusan di benaknya. Mandala, lelaki yang juga telah ia sukai sejak lama, kini telah mengungkapkan perasaannya.

Beberapa menit selanjutnya, mereka hanya terdiam sembari mendengarkan suara percikan air dari pancuran kolam yang berada di tengah taman. Resha akhirnya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas ungkapan perasaan Mandala padanya itu.

“HAH? LO NERIMA GUE?”

“Iya anjir gak peka lo ya.”

Mandala pun segera memeluk Resha. Perempuan itu tertawa sembari membalas pelukan lelaki yang kini telah resmi menjadi kekasihnya itu. Sepasang sahabat yang saling memendam rasanya setelah sekian lama itu pun kini akhirnya telah saling mengungkap rasa, tepat di tempat di mana mereka dipertemukan untuk pertama kalinya.

Selamat ya untuk Mandala dan Resha.

Angin malam yang sejuk menyapa dedaunan di pepohonan. Lampu-lampu yang berdiri di sana menjadi sumber pencahayaan bagi Resha dan Arga. Mereka kini tengah berada di taman dekat minimarket. Arga ingin Resha melepasnya di tempat di mana mereka bertemu untuk pertama kalinya, dan sekarang, tempat itu juga akan menjadi tempat pertemuan terakhir mereka.

Mereka sempat duduk beberapa menit di kursi putih yang menjadi saksi pertemuan mereka kala itu. Keduanya terdiam sejenak sembari saling menyiapkan hati untuk kejadian yang sebenarnya tak pernah ingin mereka alami.

“Sha, makasih ya lo udah mau nganterin gue ke sini.”

“Udah jadi janji dan kewajiban buat gue, Ga.”

“Lo gak mau nahan gue, Sha?”

“Gue gak akan nahan lo lagi, Ga. Gue juga bakal ngelepas lo dengan bahagia, sesuai permintaan lo. Lo gak mau kan liat gue nangis karena lo?”

“Iya, maaf ya, gue bakal berat banget kalo liat lo nangis.”

Resha dan Arga akhirnya berdiri dari kursi itu. Mereka saling berhadapan dan menatap satu sama lain. Arga meraih tangan Resha, ia memegang tangan perempuan itu erat-erat.

“Sha, gue kayaknya gak sanggup ....”

“Arga ... lo bilang gue harus kuat, kan? Lo juga harus kuat. Kita udah sampai sini, Ga. Lo harus pulang.”

Arga diam sejenak untuk mengambil sebuah jeda untuk mengucapkan kata-kata selanjutnya. Ia menatap mata Resha begitu dalam, seolah dunianya ada di dalam mata perempuan yang ia cintai itu.

“Resha, sebelum gue bener-bener pergi, gue mau bilang makasih ya atas waktu-waktunya selama ini. Makasih karena udah bikin gue nemuin kebahagiaan yang gue cari-cari. Gue sayang sama lo, Sha. Sayang banget.”

“Gue juga sayang sama lo, Ga. Gue juga berterima kasih buat semuanya. Gue harap lo bisa lebih bahagia ya nanti di atas sana. Lo bisa liat gue kapan pun kan dari sana?”

“Iya, Sha. Pasti. Sekarang, gue mau ngungkapin wish terakhir gue, oke?”

Resha menghela napasnya perlahan. Ia benar-benar menahan tangisnya saat itu. Ia lantas mengangguk seraya tersenyum sebagai tanggapan terhadap ucapan Arga tersebut.

Wish terakhir gue adalah gue pengen ketemu lo dan jadi anak mama gue lagi di kehidupan selanjutnya. Sha, ketemu lagi yuk di kehidupan selanjutnya? Lo mau, kan?”

“Iya, gue mau. Ayo ketemu lagi di kehidupan selanjutnya, Ga! Dan semoga, lo bisa jadi anak mama lo lagi di kehidupan selanjutnya.”

Kini, Resha yang berhenti sejenak. Ia menghela napas panjang sebelum mengucapkan kalimat yang teramat menyedihkan tetapi harus ia lakukan demi Arga.

“Gue ikhlas ngelepas lo, Ga. Gue janji bakal bahagia buat lo. Sekarang lo udah sampai di tujuan terakhir lo dan lo berhak buat bahagia dan bebas. Gue ikhlas ngelepas lo sekarang, Arjuna Gavindra.”

“Makasih banyak, Sha. Gue pulang ya? Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya, Nadira Teresha.”

Arga tersenyum damai, benar-benar damai bahkan mungkin senyuman itu adalah senyuman Arga yang paling bahagia selama bersama Resha. Ia benar-benar telah mendapatkan kebahagiaannya. Tak lama kemudian, tubuhnya pun perlahan benar-benar menghilang, menandakan kepergiannya benar-benar nyata dan pertanda bahwa ia telah meraih kebebasannya. Genggaman di tangan Resha pun telah hilang, yang tersisa kini hanya sebuah angin lalu, tak ada lagi tangan dingin yang biasanya ia rasakan.

Tatapan Resha kosong. Arga benar-benar pergi. Tubuh Resha terjatuh lemas pada kursi putih yang memiliki banyak kenangan dengan Arga. Taman itu kini menjadi saksi pertemuan sekaligus perpisahan bagi Arga dan Resha.

Perempuan itu kini tak lagi dapat menahan tangisnya. Air mata yang sejak tadi ditahan itu pun akhirnya membanjiri pipinya. Pertahanan Resha benar-benar runtuh saat itu.

“Arga ....”

Angin malam berhembus cukup kencang kala itu. Dedaunan yang terayun akibat angin yang berhembus pun juga nampak ikut menunjukkan kesedihannya untuk Resha. Suasana di taman itu benar-benar terselimuti awan kelabu, mengingat betapa tragisnya kisah cinta kedua makhluk yang raganya sudah tak lagi sama dan dipaksa harus berpisah.

Sampai jumpa, Arga.

“Duh! Semoga gak telat deh gue.”

Resha hanya bisa membatin saat ia tiba di dalam bus. Penumpang hari itu cukup ramai sehingga Resha hanya berakhir berdiri dengan berpegangan pada pegangan bus. Banyak karyawan dan anak sekolah yang turut serta menaiki bus itu, membuat sang supir melajukan kendaraannya dengan cukup cepat.

“Aduh ini supirnya gak bisa cepetan dikit apa ya ....”

“Pak, agak cepetan dikit nyetirnya bisa gak?”

“Keburu telat ini saya.”

Beberapa keluhan dari para penumpang di sana pun cukup memenuhi seisi kendaraan berbentuk balok itu. Resha hanya bisa menghela napas dan menatap ke arah jalanan yang ada di depannya.

Sekitar dua puluh menit bus itu berjalan dengan cukup lancar, tiba-tiba sebuah truk besar menyerempet bus itu hingga bus menjadi sedikit oleng karena sang supir yang membanting stirnya untuk menghindari truk besar itu.

Brak!

Suara tabrakan itu terdengar sangat keras dan jelas, tetapi itu bukan suara dari tabrakan dari bus yang Resha tumpangi. Suara itu berasal dari kecelakaan beruntun yang kini terjadi tepat di depan bus itu.

Supir bus pun terpaksa menginjak remnya mendadak hingga membuat beberapa penumpang terjatuh bahkan terbentur, termasuk Resha, ia terbentur kursi penumpang yang ada di depannya. Darah segar pun mulai mengucur dari dahinya, rasa sakit sekaligus ketakutan pun beradu menjadi satu saat itu. Melihat kecelakaan besar tepat di depan bus itu, bahkan beberapa korban pun tergeletak di sana dengan kondisi jalanan yang dipenuhi pecahan kaca dan serpihan dari kendaraan.

Penumpang bus pun segera turun diikuti dengan sang supir yang juga terluka cukup parah. Terdapat banyak pecahan dan serpihan di sekitar bus itu karena jarak kecelakaan yang sangat dekat, tepat di depan bus yang ditumpangi oleh Resha. Dari banyaknya kendaraan yang terlibat, hanya bus itu lah yang memiliki keajaiban untuk selamat dari kecelakaan itu.

Resha turun ke jalan tanpa menyadari bahwa dahinya terluka. Ia sejujurnya tak sanggup melihat apa yang ada di depannya saat itu, ia berniat untuk segera menepi, tetapi sepatu yang ia kenakan nampaknya menginjak sesuatu saat itu. Resha segera memeriksanya. Benar saja, ia menginjak sebuah benda asing, bukan kaca maupun serpihan.

“Hah? Kalung?”

“Mbak, ayo menepi dulu! Bentar lagi polisi sama ambulans dateng. Ayo ke pinggir dulu!”

Suara warga sekitar yang membantu untuk menolong para korban kecelakaan itu pun membuyarkan kebingungan Resha tentang kalung itu. Perempuan itu akhirnya mengikuti saran warga untuk pergi menepi, ia sedikit terdesak saat itu hingga membuatnya tanpa sadar membawa kalung yang baru saja ia temukan beberapa menit yang lalu.

“Sha, udah tidur belum?”

Arga mengetuk pintu kamar Resha perlahan. Ia berharap akan ada balasan dari perempuan itu. Tak berapa lama kemudian, pintu itu pun terbuka. Resha membuka pintu dengan mukanya yang nampak tidak baik-baik saja setelah ia memikirkan perkataan Bima.

“Masuk aja.”

“Masuk ke kamar lo? Emang gapapa?”

“Gapapa, Ga. Masuk aja.”

Arga akhirnya masuk ke dalam ruangan itu untuk pertama kalinya. Ia segera duduk di ranjang Resha ketika perempuan itu menepuk tempat kosong di sebelahnya.

“Maaf ya gue ganggu malem-malem gini. Gue pengen ngobrol banyak hal sama lo, itung-itung sekalian ngabisin waktu.”

“Mau ngobrol apa?”

“Hmm ... gak jadi ngobrol deh, gue pengen ngeliatin lo sepuasnya aja hehe ....”

“Jangan gitu, ntar gue salting.”

“Bisa salting juga lo? Hahahaha ....”

“Kok lo masih bisa ketawa sih, Ga?”

“Kan gue bahagia. Gue bahagia terus kalo di samping lo.”

Resha diam tak merespon. Ia benar-benar masih tidak sanggup menatap Arga yang kini tengah memandangnya dengan senyumannya yang begitu damai. Ia akhirnya hanya melihat ke luar jendela, melihat langit yang gelap gulita tanpa ada bintang di sana.

“Maafin gue ya Sha, gue cuma sementara.”

“Gak perlu minta maaf, Arga.”

“Lo janji ya harus kuat dan bahagia ngelanjutin hidup lo setelah gue pergi? Lo boleh kok lupain gue dan anggap gue gak pernah ada.”

“Iya, janji. Tapi kalo ngelupain lo dan nganggep lo gak pernah ada, gue gak bisa lakuin itu.”

“Gue gak mau lo malah sedih kalo inget gue, Sha.”

“Gue kan udah janji bakal bahagia.”

“Hmm iya deh ... janji beneran, ya?”

“Iya. Ga, tentang wishlist lo gimana? Ada lagi gak yang pengen lo lakuin? Ayo lakuin sekarang! Kita lakuin apapun keinginan lo sebanyak-banyaknya.”

Arga tersenyum saat Resha masih saja mengingat tentang wishlist-nya itu. Ia pun teringat saat awal-awal ia memberi tahu Resha untuk menemaninya menjalankan hal-hal yang ada dalam daftar keinginannya.

Wishlist ya? Tinggal satu lagi kok, Sha. Tapi gue gak bakal kasih tau sekarang. Kalo gue kasih tau sekarang, ntar lo belum siap.”

“Belum siap gimana?”

“Setelah gue bilang wish gue yang terakhir itu, gue bakal bener-bener pergi, Sha ....”

Hening. Suasana di sana tiba-tiba menjadi hening karena tiada respon apapun dari perempuan yang sekarang masih menatap jendela yang berada tepat di belakang Arga. Ia sebenarnya sudah mengantisipasi bahwa hal ini akan terjadi. Arga pasti akan mengatakan tentang kepergiannya malam ini.

“Jadi, kapan menurut lo gue bakal siap, Ga?”

“Besok. Lo harus anter gue, ya?”

Resha menahan air matanya. Ia benar-benar tak kuat menatap Arga. Mendengar kata bahwa ia harus mengantar kepergian lelaki yang kini ia cintai itu, hatinya terasa sangat pilu.

“Oh iya, gue pengen liat lo pake kalung mama gue. Besok lo pake, ya?”

“Tapi itu kan kalung mama lo, Ga?”

“Mama gue pasti seneng kalo kalungnya dipake sama perempuan kesayangan anaknya.”

“Iya udah kalo itu mau lo. Ga, gue boleh gak minta satu hal ke lo?”

“Apa?”

“Gue pengen meluk lo lama banget. Boleh, kan?”

Lelaki itu tersenyum lagi saat mendengar permintaan Resha. Ia segera merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan langsung disambut oleh Resha. Ia mendekap Resha dengan senyumannya, ia tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan di malam sebelum kepergiannya.

“Udah gue kasih pelukan gini, lo janji ya besok bakal jadi Resha yang lebih kuat?”

“Semoga aja ya, Ga ....”

“Kuat ya, Sha. Gue pengen besok liat lo ngelepas gue dengan bahagia.”

Arga mengajak Resha ke sebuah tempat yang ia rasa menjadi tempat yang tepat baginya untuk menenangkan diri. Terlihat deburan ombak biru yang menerjang bebatuan di sekitarnya. Tak hanya itu, ombak itu juga sesekali menghampiri daratan dan membasahi pasir putih yang ada di depannya.

“Maaf ya, Sha. Gue udah ngajak lo jauh-jauh ke sini, mana udah agak sore begini.”

“Gapapa. Untungnya di sekitar sini ada laut begini ya, jujur gue baru tau.”

“Iya untung aja. Tapi sejujurnya gue udah tau sih Sha kalo ada laut di sini, kemarin gue sempet jelajahin desa ini soalnya hehehe ....”

“Lah pantesan aja lo ngajak ke sini. Tapi Ga, kenapa harus laut?”

“Hm? Gak tau juga, pas gue sedih tadi, gue langsung kepikiran laut.”

“Oh gitu.”

“Sha, main ke sana yuk!”

Arga menarik tangan Resha untuk lebih dekat dengan bibir pantai. Mereka bermain air dan bersenang-senang layaknya seorang anak kecil. Pantai itu memang bukanlah pantai yang sering dikunjungi oleh banyak orang karena lokasinya yang terpencil.

Hampir sekitar satu jam mereka bermain dan bercanda di sana, mereka akhirnya menepi dan duduk di dekat sebuah tebing besar yang menjadi pembatas laut dan desa itu.

“Seru kan tadi?”

“Hahaha iya, berasa flashback masa kecil gue.”

“Sha, boleh pinjem pundak lo bentar gak?”

“Hah buat apa?”

Arga tiba-tiba menyandarkan kepalanya pada bahu perempuan yang ada di sebelahnya itu. Ia bersandar sembari memejamkan matanya, seolah-olah bahu Resha menjadi tempat yang tentram dan ternyaman baginya.

“Maaf ya, Sha. Gue agak lancang, tapi biarin gue gini sebentar, ya?”

“I-iya gapapa. Lo kenapa deh, Ga?”

“Gapapa. Gue cuma ngerasa capek aja.”

Keduanya pun akhirnya saling terdiam. Resha hanya melihat ke arah laut yang tengah sibuk memamerkan keindahan ombaknya, sedangkan Arga tampak seperti tengah terlelap di bahu Resha. Perempuan itu juga sesekali melihat arwah lelaki yang tengah bersandar padanya itu, melihat betapa damainya wajah Arga saat itu.

“Sha, gue mau nanya banyak hal deh. Lo harus jawab satu persatu ya.”

“Hm ... iya deh.”

“Sha, lo sayang gak sama gue?”

Pertanyaan itu seperti sebuah sengatan listrik yang sedang menyambar hati Resha. Bagaimana bisa lelaki itu menanyakan hal itu dengan santai sembari tertidur di bahu Resha.

“Kok nanya gitu?”

“Udah jawab aja.”

“Iya.”

“Sama, Sha.”

“Sama apanya?”

“Sama, gue juga sayang sama diri gue sendiri.”

Satu jitakan pun mendarat di kepala Arga. Tentu saja, siapa lagi jika bukan Resha yang melakukannya.

“Aduh! Iya bercanda. Gue juga sayang sama lo, Sha. Sayang banget.”

Siapa pun harus menolong Resha saat itu karena jantungnya sudah tidak bisa berdetak dengan normal setelah mendengar perkataan Arga.

“Sha, lo selama ini kerepotan gak gegara gue?”

“Gak. Gue justru bahagia banget.”

“Serius? Syukur deh, gue juga bahagia banget sama lo. Gak kerasa ya udah lumayan lama sejak kita ketemu.”

“Iya ya, perasaan baru kemarin gue nawarin lo jajan gegara gue kira lo nunduk mulu gegara laper.”

“Hahaha kalo diinget-inget lagi jadi lucu ya ....”

Mereka terdiam sejenak setelah mengingat-ingat bagaimana pertemuan pertama mereka. Awal yang canggung, tetapi menjadi hal yang tak terlupakan bagi mereka.

“Sha, kalo gue udah pergi nanti, lo janji ya bakal bahagia?”

“Ga, kita udah sepakat gak bahas tentang itu, kan?”

“Jawab aja, Sha. Gue mohon.”

“Gue gak bisa janji soal itu.”

“Jangan gitu, ntar gue juga sedih dong liat lo dari atas sana. Gue gak mau liat perempuan yang gue cintai setelah mama ntar sedih gegara gue.”

“Arga ....”

Arga akhirnya mengangkat kepalanya karena Resha menggeserkan tubuhnya untuk menghadap Arga. Mereka berdua akhirnya saling bertatapan. Arga dengan tatapan menenangkannya dan Resha yang mulai menitikkan air matanya, tetapi segera diusap perlahan oleh jari jemari dingin milik Arga.

“Dih kok malah nangis. Ntar cantiknya ilang. Jangan nangis.”

Tangisan Resha semakin menjadi-jadi, Arga segera memeluk perempuan itu. Sejujurnya, ia juga ingin menangis, tetapi ia menahannya karena tak ingin Resha melihatnya.

“Ga, waktu lo masih lama, kan?”

Arga hanya terdiam. Ia hanya merespon pertanyaan Resha dengan mengeratkan pelukannya pada perempuan yang ada dalam dekapannya itu.

“Maafin gue ya, Sha. Maafin gue ....”

Air mata lelaki itu akhirnya jatuh dan mengalir membasahi pipinya, tetapi Resha tak mengetahui itu. Arga menangis sembari mendekap Resha, perempuan yang kini sangat ia cintai setelah sang ibunda. Mereka akhirnya saling mengungkap rasa di bawah langit senja, diikuti oleh deburan ombak dan angin laut yang nampak begitu tenang, seolah ikut berharap agar semesta dapat memberi restu pada keduanya.

Tok tok tok

“Resha, ini gue Arga, boleh masuk gak?”

Sebuah suara yang sudah tak asing bagi Resha. Perempuan itu sudah tak lagi terkejut dengan ketukan suara pintu di pagi hari. Sudah berapa hari ia bersama dengan Arga, meskipun setiap malam Arga akan keluar rumah karena tidak ingin mengganggu privasi Resha. Resha sebenarnya tidak mempermasalahkan soal itu, ia malah ingin Arga tetap tinggal di rumah sederhananya itu tanpa perlu merasa sungkan.

Berhari-hari mereka menghabiskan waktu bersama, menjalankan apa yang Arga inginkan demi mencapai kebebasannya. Resha pun tidak merasa keberatan, entah kenapa semenjak ada Arga, ia tidak lagi merasa kesepian, mengingat dirinya adalah anak semata wayang di keluarganya.

“Lo gak kerja hari ini, Sha?”

“Ini hari Minggu, Ga.”

“Oh iya ya.”

Resha menghampiri Arga yang duduk di depan televisi sambil beralaskan karpet maroon itu. Perempuan itu datang sambil membawa beberapa cemilan dari dapurnya.

“Mau gak?” Tawar Resha sambil menyodorkan toples berisi kue coklat kacang pada lelaki yang sedang duduk terdiam di bawah itu.

“Gue gak bisa makan.”

“Lah terus gimana? Oh apa gue gak usah doa aja kali ya makannya, ntar biar lo bisa makan.”

“SEMBARANGAN, DIPIKIR GUE SETAN.”

Resha pun tertawa keras melihat Arga yang tidak terima jika ia dibilang setan, “Ya kan lo emang setan, Ga.”

“Bukan lah, setan jahat banget kayaknya. Gue mah arwah baik, Sha.”

Arga kemudian nampak berpikir, ia teringat sesuatu, “Oh gue inget! Gue pernah liat temen arwah gue waktu itu, dia makan tuh sambil megang manusia yang lagi makan gitu. Nah, dia jadi bisa ngerasain makanan itu juga dan ngerasa kenyang.”

Resha seketika memasang raut wajah tak percaya, “Yakin lo? Kalo gitu coba sini. Pegang pundak gue aja.”

Arga pun menurut dan naik ke sofa. Ia memegang pundak Resha. Suasana di sana seketika menjadi sedikit canggung.

“Kayak mau nyebrang deh.”

Perkataan Arga itu sontak membuat Resha tertawa dan memecahkan rasa canggung di ruangan itu.

“Gue makan ya.”

Resha akhirnya memakan satu kue yang ada di toples itu, tak berapa lama kemudian, Arga nampak terkejut.

“BISA SHA! Manis deh enak banget, itu bikin sendiri?”

“Hahaha akhirnya bisa makan. Iya bikin sendiri waktu itu sama bunda. Mau lagi gak?”

“Iya boleh.”

Resha akhirnya lanjut memakan beberapa kue di dalam toples itu sambil berbincang dengan Arga hingga akhirnya lelaki itu melepas pegangannya pada pundak Resha.

“Udah kenyang, Sha. Makasih ya hehe...”

Arga kembali turun duduk di karpet maroon itu. Ia memandang ke arah televisi di depannya.

“Mau nonton TV?”

“Iya, Sha. Boleh gak?”

“Boleh lah.” Resha pun segera mengambil remot di sebelahnya dan menekan tombol merah yang menyimbolkan tombol power.

“Sha, gue pengen nonton Shinchan.”

“Shinchan? Lo yakin mau nonton begituan? Udah gede juga, Ga...”

“Iya gapapa, lucu Shinchan tuh!”

“Yaudah bentar gue cariin.”

Resha akhirnya menjelajahi saluran televisinya itu, berharap akan menemukan serial Shinchan yang diinginkan Arga. Untungnya ini hari Minggu sehingga lebih mudah untuk menemukan serial itu.

“Tuh udah.”

“Yeay! Makasih, Sha.”

Perempuan yang sedari tadi duduk di sofa itu hanya menggelengkan kepala melihat tingkah temannya yang tak kasat mata bagi orang lain itu. Resha juga sesekali tersenyum melihat Arga yang sangat fokus dengan serial bocah cilik gembul dan berbaju merah yang ada di layar televisi. Arga juga tampak beberapa kali tertawa dan mengomentari kartun itu.

“Gue harap lo bahagia terus kayak gini, Ga.”