karescript

Resha dan Arga telah tiba di rumah Resha, tepatnya rumah milik ayah dan bunda Resha karena Resha sendiri masih belum bisa untuk membeli rumah dan hidup sendiri sebagai orang dewasa. Perempuan itu memang masih tak bisa lepas dari kedua orang tuanya. Namun, ia terpaksa harus ditinggal orang tuanya sementara karena mereka sibuk dengan urusan di kampung halamannya.

Sorry ya, Ga. Pasti wishlist lo buat hari ini ngebosenin ya?”

Ucapan Resha yang tiba-tiba itu pun membuat Arga terheran. Namun, tak lama kemudian ia menorehkan senyumannya.

“Siapa bilang ngebosenin? Tadi malah nyenengin banget, gue bisa ngerasain naik bus sambil ada barengan dan gatau kenapa ngerasa bebas aja bisa keliling di sekitar kantor lo.”

“Oh ya? Tapi, bukannya lo udah kebiasaan ya keliling gitu pas masih nyari orang yang bisa lihat wujud lo?”

“Iya sih, tapi kali ini gak tau kenapa kerasa beda aja. Lagian ya, Sha, gue hari ini tuh ketemu temen baru.”

“Siapa? Arwah juga?”

“Iya lah, temen gue yang manusia kan cuma lo doang.”

“Iya juga sih, jadi tadi lo ngilang pas sore tuh gegara ketemu temen lo itu?”

“Oh, lo ternyata merhatiin gue ya tadi?”

Resha yang mendengar pertanyaan Arga sontak menjadi salah tingkah. Ia seperti seorang maling yang tengah tertangkap basah. Resha segera menuju ke dapur dan pura-pura mencari minuman dingin untuk meredakan dahaganya.

“Dih apa sih? Ya gak merhatiin segitunya juga, Ga. By the way, emang apa yang bikin lo seneng ketemu sama temen baru lo?”

Arga nampak mengukir senyumannya kembali. Ia nampak berpikir sejenak, membayangkan betapa bahagianya ia bertemu dengan teman barunya itu.

“Dia anak kecil, Sha. Seumuran anak kelas 2 SD kayaknya. Dia tadi ngajak gue main mulu, main petak umpet, kejar-kejaran, pokoknya seru deh.”

“Oh iya? Gue dengernya juga udah seru banget deh keliatannya.”

“Iya, seru banget. Tapi kasihan juga sih gue, ngeliat anak seumuran segitu udah gak bisa lanjutin kehidupannya di dunia ini. Dia pasti masih punya banyak mimpi, kan?”

Suasana di rumah itu seketika seperti diselimuti oleh awan kelabu. Mendengar penuturan dari Arga, Resha merasa setuju sekaligus iba, mengingat betapa ia harus bersyukur masih diberi kehidupan hingga saat ini.

“Ah udah lah jangan sedih-sedih mulu. Yang penting, wish pertama dan kedua gue udah terwujud, Sha. Gue seneng banget hari ini. Makasih ya!”

“Iya, sorry ya gue gak bisa nemenin lo banget hari ini.”

“Gapapa, Sha. Udah dibolehin ngikutin lo hari ini aja gue udah seneng kok. Gue keluar dulu ya, udah malem. Lo harus tidur. Good night, Resha.”

Arga pun segera pamit dan keluar dari rumah itu. Tanpa sadar, Resha tersenyum mendengar perkataan arwah lelaki yang baru saja undur diri dari kediamannya itu.

“Gemes banget sih, Ga.”

Matahari mulai menampakkan sinar hangatnya. Embun pagi sekaligus pancaran cahaya sang mentari menjadi satu padu, memberikan gambaran betapa sejuknya cuaca di pagi hari itu.

Resha bangun untuk memulai harinya, namun kali ini berbeda. Ia teringat tentang Arga, “Dia kemana ya? Udah pergi aja nih?” Tanyanya dalam hati.

Tak berapa lama kemudian, terdengar sayu-sayu suara seorang lelaki. Benar, itu Arga.

“Resha, udah bangun? Gue boleh masuk gak?”

Resha mengukir senyumnya di pagi hari yang cerah itu. Ia masih tak habis pikir dengan tingkah laku sang arwah yang baru ia temui semalam.

“Yaudah masuk aja, Ga.”

“Gue kira lo kesiangan, Sha. Semalem lo tidur larut banget sih, untungnya lo gak kebo banget ya...”

“Sembarangan lo.”

“Hehehe... Oh iya Sha, gue udah bikin wishlist-nya.”

“Cepet banget, mana? Gue pengen liat.”

“Gak ada.”

Resha lantas memukul pelan lengan Arga, membuat lelaki itu tertawa jahil. Posisi Arga pada saat itu memang tidak begitu jauh darinya.

“Gimana sih? Tadi katanya udah bikin.”

“Iya emang udah, tapi gak gue tulis. Gue susun di otak gue.”

“Emang lo gak bakal lupa?”

“Gak lah, lagian intinya kan apapun yang mau gue lakuin, kan? Gue mau seneng-seneng aja pokoknya, Sha.”

Mendengar kalimat terakhir Arga, Resha nampak mengubah raut wajahnya. Entah kenapa, hatinya ikut sedih mendengar bahwa Arga hanya ingin bahagia di saat terakhirnya, memikirkan betapa sedihnya dia yang masih berusaha mengejar kebahagiaannya meskipun nyawanya telah tiada. Namun, perkataan Arga membuyarkan lamunan sejenaknya.

“Lagian gue juga gak bisa nulis, Sha. Gue gak bisa gerakin benda-benda di dunia ini.”

“Lah kok bisa? Biasanya kan hantu tuh bisa gitu gerakin benda, bahkan di film juga sering tuh lempar-lempar benda.”

“Iya kan? Gue juga bingung. Pas gue ketemu sama arwah lain pun, mereka bisa begitu. Butuh kekuatan super banget kayaknya kalo gue mau gerakin benda.”

“Aneh juga ya, yaudah Ga, gak usah maksain. Yang penting lakuin wishlist lo aja sekarang.”

Obrolan Arga dan Resha harus terjeda lantaran terdapat notifikasi pesan dari sahabat Resha, Mandala. Resha yang melihat ponselnya lantas tersenyum sumringah layaknya mendapat doorprize puluhan juta rupiah. Melihat raut wajah Resha, Arga pun meledeknya.

“Ekhm! Ada yang senyam-senyum sendiri nih!”

“Eh apa sih, Ga? Gue mau siap-siap dulu ya, gue harus berangkat kerja.”

“Oh oke, itu pasti dari pacar lo ya?”

“Pacar apaan sih orang cuma temen doang.”

“Oh temen, iya temen.”

Resha pun memasang wajah kesalnya melihat Arga yang meledeknya. Ia kemudian segera bersiap menuju ke tempat kerjanya. Namun, langkahnya terhenti sejenak dan menoleh pada Arga.

“Oh iya, wish lo buat hari ini apa, Ga?”

Arga pun tersenyum mendengar pertanyaan Resha, ia tidak menyangka bahwa Resha akan ingat pada hal tersebut.

“Ikut lo aja hari ini, kemana pun lo pergi, gapapa, kan? Gue janji gak bakal ganggu.”

Resha cukup terkejut mendengar wish pertama Arga. Ia berpikir sejenak, kemudian mengangguk tanda bahwa ia setuju dengan keinginan pertama Arga tersebut. Namun, sebelum Resha beranjak dari tempatnya, Arga tiba-tiba memanggilnya dan menanyakan sesuatu.

“Oh iya Sha, lo dianter sama temen lo hari ini?”

Mendengar pertanyaan Arga, Resha nampak bingung. Jika ia berkata 'iya', Resha berpikir bahwa Arga tidak akan meneruskan apa yang ingin ia sampaikan.

“Belum tau sih Ga, emang kenapa?”

“Gapapa sih, cuma gue pengen naik bus bareng lo hari ini, anggap aja ini sebagai wish gue yang kedua hehe...”

“Bus?” Resha menekankan nada pertanyaannya, ia nampak ragu sebelum membalas permintaan Arga sedangkan sang penanya hanya mengangguk antusias sebagai jawaban atas pertanyaan itu.

“Oke deh, gue siap-siap dulu ya!”

Jawaban dari Resha itu tanpa sadar telah membuat arwah lelaki itu tersenyum dan merasa bahagia meski hanya karena hal yang sederhana.

“Ini beneran gapapa gue masuk gini aja?”

Pertanyaan arwah lelaki itu membuat Resha yang tadinya hanya memunggunginya akhirnya menoleh dan menatapnya bingung.

“Ya mau lo gimana? Pake tiket?”

Lelaki itu lantas tersenyum kikuk. Resha hanya melihat arwah lelaki berkemeja lusuh itu dari jarak yang tidak begitu jauh.

“Ini setan kenapa manis banget...” Batinnya dalam hati.

Resha kemudian menuju ke sofa yang berada tak jauh darinya. Lelaki itu hanya mengekor pada Resha. Perempuan itu langsung duduk dan lagi-lagi, ia menatap lelaki itu bingung.

“Kok gak duduk?”

“Udah boleh duduk nih?”

Resha lantas tertawa melihat tingkah lelaki itu, “Kenapa sih? Ya boleh lah.”

“Gak sopan soalnya tadi belum dipersilakan hehe.”

“Ada-ada aja sih, ya udah sekarang jelasin lo ini siapa dan tujuan lo minta bantuan ke gue itu apa? Oh iya, nama gue Resha.”

Lelaki itu nampak sedikit terkejut, namun ia ingat bahwa ia juga belum memperkenalkan dirinya pada Resha karena sepanjang perjalanan tadi mereka berdua hanya diam tanpa kata.

“Oh iya Resha, maaf ya gue lupa ngenalin diri. Nama gue Arga, kalo gak salah sih.”

Lagi-lagi pernyataan hantu lelaki itu, Arga, membuat Resha tertawa.

“Kok kalo gak salah sih?”

“Iya soalnya gue lupa semuanya. Gue cuma inget nama panggilan gue aja. Nama lengkap gue aja gue gak inget sama sekali.”

Jawaban dari Arga membuat Resha bingung untuk sekian kalinya, “Terus kalo lo gak inget apa-apa selain nama panggilan lo, gimana caranya gue bisa bantuin lo?

Arga menatap Resha beberapa saat, kemudian ia mengalihkan pandangannya pada lantai yang berselimut karpet berwarna maroon itu.

“Lo gak harus bantuin gue buat nginget segalanya tentang hidup gue kok. Gue cuma minta bantuan lo buat nemenin gue di sisa waktu yang gue punya. Gue gak tau kenapa gue masih di sini, tapi ada suara yang selalu bisikin gue, kalo gue masih tertahan di dunia ini karena gue masih belum dapetin kebebasan yang gue impikan—”

Arga berhenti sejenak dari perkataannya yang begitu panjang itu, ia pun kemudian melanjutkan kembali tutur katanya itu.

“—Ini emang ngaco sih, tapi gue serius. Gue pengen pergi ke tempat gue yang seharusnya. Sekian lama gue cari orang yang bisa lihat gue, tapi gak ada satu pun yang berhasil. Dan akhirnya, gue nemuin lo.”

“Hmm gue masih gak percaya emang. Tapi, setelah lihat keseriusan lo, gue rasa lo emang gak main-main.”

Resha akhirnya mulai menegakkan kembali badannya yang semula hanya bertopang dagu pada lututnya. Sejak tadi, perempuan itu memang terlalu fokus menyimak cerita Arga.

“Jadi, lo mau apa biar bisa ngerasain kebebasan yang lo mau?”

Arga menatap Resha yang duduk di seberangnya, “Lakuin apapun yang ada di wishlist gue, gimana?”

Wishlist? Emang lo punya? Bukannya lo lupa semuanya?”

“Ya gue emang lupa semuanya sih, tapi dari pencarian gue untuk nemuin orang yang bisa ngelihat gue, gue jadi punya beberapa hal yang pengen gue lakuin.”

“Apa aja tuh?”

Arga tersenyum sambil memandang langit-langit ruang tengah di rumah itu.

“Lihat aja besok ya, Sha. Sekarang lo tidur aja dulu ya, udah malem.”

Sekian lama Resha mematung di sisi kanan bangku panjang berwarna putih itu, tetapi dengan mata dan jari yang hanya terfokus pada benda kotak berwarna hitam yang berada di genggamannya. Resha hanya berusaha mengalihkan pikirannya pada alat komunikasi yang menjadi candu bagi manusia di zaman ini.

“Gue lari aja apa ya?” Ucap perempuan itu dalam hati.

Ia merasa tak enak jika terus memaksa lelaki di sebelahnya untuk memakan jajanan yang telah ia beli itu. Resha merasa iba, namun ia juga merasa takut dan merinding di sekujur tubuhnya. Resha memang telah memberi tawaran pada lelaki yang duduk di sisi kiri bangku itu, namun tak ada gubrisan apapun darinya.

Lelaki itu akhirnya menoleh pada Resha, jangan tanyakan bagaimana raut muka perempuan itu ketika melihat wajah pucat pasi di depannya. Benar-benar pucat pasi, jika Resha boleh menyimpulkan sesuatu dengan keberaniannya, ia akan mengatakan bahwa lelaki itu terlihat seperti mayat. Namun, Resha terlalu penakut untuk berpikir seperti itu.

“Lo nawarin gue?”

Lelaki itu akhirnya bersuara. Resha lantas mendelik ketika mendengar suara lelaki itu. Suaranya memang terdengar normal seperti manusia pada umumnya.

Perempuan itu terdiam beberapa saat, hingga akhirnya lelaki itu kembali bersuara, “Halo, Mbak? Kok bengong? Beneran bisa liat gue gak sih?”

Lelaki itu seolah bermonolog sambil melambaikan tangannya pada muka Resha untuk beberapa saat.

Resha akhirnya tersadar, ia segera mengerjapkan matanya, “Eh i-iya, gue nawarin lo.” Ucap Resha dengan sedikit terbata-bata. Lelaki itu nampak sedikit terkejut dan terdiam beberapa saat.

“Lo... bisa liat gue?”

Pertanyaan itu sontak membuat Resha bingung. Lelaki itu bertanya apakah Resha bisa melihatnya? Apa maksudnya?

“Maksud lo apa? Ya iya lah gue bisa liat lo.”

Lelaki itu lantas terdiam dan menatap Resha beberapa saat. Ia masih mencerna apa yang dikatakan oleh perempuan yang baru ia temui beberapa menit yang lalu itu. Lelaki itu akhirnya bersuara, namun untuk kali ini, perkataan itu membuat Resha terkejut setengah mati bahkan membuat bulu kuduknya pun ikut berdiri.

“Tapi gue bukan manusia lagi, gue udah meninggal...”

Waktu seakan berhenti saat itu. Hembusan angin malam dan suara dedaunan yang telah gugur seolah mendukung suasana di sana. Begitu pula dengan perempuan yang mendengar tutur kata dari lelaki itu, Resha, ia sontak berdiri dari tempat duduknya.

“Bercanda lo gak lucu.”

Ia menatap lelaki itu tak percaya. Lelaki itu hanya mendongak pada Resha, ia juga nampak tak percaya bahwa Resha bisa melihatnya. Lelaki berbalut pakaian kemeja putih yang nampak lusuh itu akhirnya ikut berdiri dari tempatnya.

“Gue gak bercanda, makanya gue heran kok lo bisa liat gue? Tapi gue bersyukur, akhirnya ada yang bisa liat—”

“Udah! Cukup! Ini udah ngaco banget. Gue mau balik.”

Resha akhirnya berani untuk melangkahkan kakinya lebih jauh. Namun, tak sampai lima langkah ia lalui, Resha merasakan dingin di pergelangan tangannya. Ia lantas menoleh. Lelaki itu memegang tangannya.

“Gue mohon, jangan pergi dulu, gue butuh bantuan lo. Gue mohon...”

Lelaki itu lantas melepas genggaman tangannya pada Resha dan menyatukan kedua telapak tangannya seperti membentuk gestur memohon. Raut wajah lelaki itu tampak serius sekaligus pasrah.

“Gue janji gak bakal nyakitin lo, gue cuma butuh bantuan lo.”

Resha hanya bisa menatap lelaki itu. Rasa takutnya mulai memudar melihat kesungguhan dari lelaki yang berkata bahwa dirinya bukan lagi manusia itu. Beberapa detik ia terdiam, Resha akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada lelaki itu.

“Kenapa harus gue?”

Lelaki itu lantas menunduk sebentar, ia nampak benar-benar pasrah. Ia terdiam, tetapi kemudian ia menjawab dengan segala keyakinan sekaligus keraguan tentang Resha yang nantinya dapat menerima jawabannya atau tidak.

“Karena cuma lo yang bisa liat gue... Jadi tolong bantu gue....”

Mandala segera bergegas menuju ke tempat tujuannya yang selanjutnya. Tak berapa lama kemudian, ia tiba di depan kantor Resha. Pemuda yang telah menyelesaikan satu beban di pundaknya itu akhirnya memilih untuk menunggu Resha sembari duduk di atas motor kebanggaannya.

Sekitar sepuluh menit ia menunggu Resha, akhirnya yang ditunggu pun datang menampakkan batang hidungnya.

“Udah nunggu lama?”

“Udah bertahun-tahun sih gue nunggu di sini.”

Resha pun langsung memukul lengan pria itu. Mereka akhirnya berangkat menuju sebuah kafe yang biasa menjadi langganan mereka. Mandala dan Resha tiba di kafe ketika matahari sudah sepenuhnya terbenam. Lampu jalanan pun menjadi sumber penerang bagi tiap pengendara yang berlalu lalang. Tak butuh waktu lama, kedua muda-mudi itu akhirnya tiba di tujuan mereka.

“Gimana tadi?” Resha membuka percakapan setelah sekian lama keduanya hanya fokus pada makanannya.

“Iya, gitu aja sih, kalau dibilang susah ya susah.”

Resha yang sedang mengaduk-aduk es kopinya itu lantas terheran-heran, tidak biasanya sahabatnya itu merasa pesimis.

“Udah deh gak usah dipikirin banget, La. Lo udah berusaha yang terbaik.”

Mandala pun seketika tertawa mendengar tutur kata sahabatnya itu.

“Kok ketawa? Apanya yang lucu?”

“Lo yang lucu.”

Mandala menjawabnya dengan menatap Resha sekilas, sedangkan Resha hanya terdiam setelah mendengar tiga kata yang diucapkan Mandala. Namun, perempuan itu akhirnya kembali membuka suaranya.

“Yang bener anjir, lo jadi gimana sekarang? Belum keluar pengumumannya?”

Mandala lantas mengecek ponselnya, “Oh iya, bentar gue tanya Kevin.”

Beberapa lama kemudian, terdapat suara yang memecahkan keheningan di tempat itu, suara itu berasal dari seorang pria yang tanpa sadar berdiri dari kursinya, tak lain dan tak bukan adalah seorang Mandala Sadewa. Resha yang kebingungan melihat tingkah laku lelaki itu hanya bisa menatapnya sembari menunggu jawaban.

“GUE LOLOS SHA, GUE DITERIMA!”

“Hah serius? Anjir keren banget lo!“ 

“Yaiyalah, gue gitu loh, Mandala.”

Resha hanya bisa mencibir, namun tetap saja, hatinya merasa senang mendapat kabar baik tersebut.

“Sesuai janji, gue traktir lo hari ini ya, Sha.”