Who Are You?

Nathan, Audrey, dan Resha akhirnya tiba di rumah sakit yang dituju. Mereka bertiga berjalan masuk ke dalam gedung yang menjadi tempat pemulihan dan pengobatan bagi banyak orang. Aroma obat-obatan pun mulai memasuki indera penciuman mereka.

Sepanjang lorong gedung itu, Resha hanya melirik ke sana kemari sembari melihat ruangan-ruangan pasien di sampingnya. Jika dibandingkan dengan rumah sakit yang menjadi tempat rujukannya saat ia kecelakaan kemarin, rumah sakit ini jauh lebih besar dan ia yakin bahwa peralatannya pasti lebih memadai.

Mereka bertiga kemudian menaiki lift yang berada di ujung lorong pintu masuk. Tak butuh waktu lama, lelaki dan kedua perempuan itu akhirnya tiba di lantai tiga gedung bernuansa putih itu.

Nathan kemudian berjalan menghampiri seorang lelaki yang sedang duduk di kursi tunggu di depan sebuah ruangan. Resha dan Audrey hanya terdiam saat Nathan sedang sibuk menyapa temannya itu.

“Eh, lo baru dateng udah dapet dua cewek aja, Nath.”

“Lo baru ketemu gue jangan ngajak berantem ya.”

“Hahaha ... kenalin dong makanya.”

“Oh iya gue lupa. Kenalin ini Audrey, cewek gue. Yang gue ceritain ke lo pas itu.”

“Lo udah punya cewek gak bilang-bilang ya anjir. Oh iya, halo, kenalin gue Daffa.”

“Iya halo, Daf.”

“Nah yang di sebelahnya ini Resha, dia temennya Audrey.”

“Halo juga. Kenalin gue Daffa hehehe ....”

“Iya, halo juga, Daf.”

Resha dan Audrey nampak masih canggung dengan Daffa sehingga hanya Nathan yang meneruskan topik percakapannya dengan Daffa. Kedua perempuan itu hanya terdiam dan sesekali berbincang sendiri sembari mengamati keadaan rumah sakit saat itu.

“Lo kenapa ngechat gue? Gegara ada cewek itu lagi?”

“Iya anjir, gue mau ngechat Bang Ian sama Bang Hanan gak bisa, katanya mereka sibuk hari ini. Makanya gue ngechat lo, males banget ngadepin tuh cewek sendirian.”

“Hadeuh ... abang lo kemana?”

“Lagi ke kamar mandi tadi abis check-up.”

“Ditemenin cewek itu?”

“Iya. Maksa banget anjir tadi padahal udah jelas ya orangnya bisa sendiri, tapi katanya udah gapapa ntar ditungguin di luar, takut ada apa-apa katanya. Gedeg banget gue liatnya.”

Nathan tertawa saat melihat raut wajah Daffa yang memancarkan kekesalannya sembari bercerita tentang perempuan yang nampaknya sangat ia benci itu.

Tak berapa lama kemudian, perempuan yang tengah dibicarakan itu akhirnya muncul di hadapan keempat orang itu.

“Loh, kakak mana?”

“Bentar lagi juga kesini kok, Daf.”

“Kok lo tinggalin sih, Zev?!”

Nathan hanya terdiam saat melihat Daffa yang nampak semakin frustasi setelah kemunculan perempuan bernama Zeva itu. Audrey dan Resha yang sejak tadi sibuk mengobrol sendiri pun sempat mengalihkan perhatian mereka karena suara Daffa, tetapi akhirnya kedua perempuan itu kembali fokus pada pembicaraannya.

“Tuh! Orangnya udah selesai.”

Zeva menunjuk pada seorang lelaki yang berjalan mendekat ke arahnya. Lelaki dengan postur tingginya itu tengah sibuk merapikan pakaiannya, kemudian lelaki itu mengalihkan tatapannya pada ketiga orang yang tengah sibuk membicarakan dirinya.

“Eh, lo ke sini juga, Than.” Lelaki itu menyapa Nathan dengan wajahnya yang sumringah sekaligus terheran melihat kehadiran teman dekatnya sejak perkuliahan itu.

“Than Than mata lo! Masih aja manggil gue Than.”

“Hahaha ... ngegas mulu lo.”

“Keadaan lo gimana? Kok check-up lagi sih? Udah berapa bulan loh ini?”

“Iya, tadi tiba-tiba agak kumat dikit pusingnya.”

“Masih aja lo.”

“Hahaha ... udah gapapa kok gue.”

“Kak, udahan, kan? Ayo dah balik aja!”

Daffa akhirnya menengahi percakapan antara kakaknya dan Nathan. Ia nampak sudah tak tahan harus terlalu lama berada di rumah sakit itu, apalagi saat ada Zeva.

“Eh bentar, kenalin nih Audrey sama Resha. Kan dia belum kenalan sama mereka, Daf.”

“Oh iya, Nath.”

Audrey dan Resha yang hanya sibuk bercengkerama sejak tadi akhirnya kembali memusatkan perhatiannya pada sumber suara. Mereka terkejut saat Nathan tiba-tiba memanggil nama mereka.

Resha melirik Nathan sejenak, tetapi tiba-tiba netranya menangkap seseorang yang tak asing baginya. Detik itu juga, senyuman ramahnya yang ia niatkan untuk memperkenalkan diri perlahan sirna. Jantungnya berdetak begitu kencang. Resha benar-benar mematung saat melihat lelaki yang kini tengah berdiri di sebelah Daffa. Lidah perempuan itu begitu kelu, tetapi ia berusaha sekuat tenaga agar satu kata itu keluar dari bibirnya.

“A-arga?”

Audrey terkejut mendengar perkataan Resha, begitu pula dengan empat orang lainnya yang berada di sana, termasuk lelaki yang dipanggil 'Arga' itu. Resha tanpa sadar berjalan mendekati lelaki itu.

“Arga?! Ini beneran lo?”

“I-iya. Gue Arga ....”

Resha menangis saat mendengar perkataan lelaki itu. Ia sontak memeluk Arga erat-erat. Ia tak percaya bahwa lelaki itu ternyata masih hidup.

“Ga, gue gak nyangka lo masih hidup. Ga, gue kangen banget sama lo ....”

Tangisan Resha memenuhi seisi lorong itu. Ia tak peduli lagi dengan tatapan banyak orang yang melihatnya. Nathan, Audrey, dan Daffa hanya terdiam bingung saat menatap kejadian di depan mereka itu, sedangkan terdapat satu orang lainnya yang mukanya nampak merah padam karena amarahnya.

Sorry, lo siapa deh? Ngapain peluk-peluk cowok gue?!”

Zeva melepas kasar pelukan Resha yang tak terbalaskan oleh Arga. Hati Resha mencelos saat mendengar perkataan Zeva. Ia tak percaya bahwa Arga telah memiliki kekasih.

“Lo ... pacarnya Arga?”

“Iya. Gue Zeva. Pacar sekaligus tunangannya Arga.”

Arga sontak melirik Zeva. Namun, ia masih terlalu bingung melihat perempuan yang ada di depannya itu, sama seperti ketiga orang lainnya yang tetap terdiam melihat Resha yang ternyata sudah mengenali Arga.

“Kamu kenal sama dia?”

Lelaki itu terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan Zeva. Ia nampak berpikir sembari sesekali melihat Resha.

Arga akhirnya menggelengkan kepalanya. “Nggak, Zev.”

Deg

Pernyataan Arga benar-benar seperti ribuan pedang yang menusuk jantung Resha saat itu juga. Setelah mendengar pernyataan Zeva bahwa ia adalah kekasih Arga, kini ia harus mendengar pernyataan Arga bahwa ia tidak mengenal dirinya.

“Ga ... lo bercanda? Ga, ini gue Resha. Orang yang nemenin lo buat ngelakuin segala wishlist lo ....”

Lelaki itu semakin terheran dengan pernyataan Resha. Ia masih sulit mencerna segala perkataan perempuan yang tak ia kenali itu. Wishlist? Apa maksudnya? Begitulah pikiran Arga saat itu.

“Eum ... maaf ya Resha, gue bener-bener gak ngerti.”

Sekali lagi jantung Resha ditusuk dengan ucapan Arga. Lelaki itu berkata dengan nadanya yang lembut sembari tersenyum karena merasa tak enak pada Resha, tetapi hal itu justru semakin menyakiti Resha.

Air mata Resha mengalir semakin deras saat itu. Tubuhnya begitu lemas bahkan ia hampir terjatuh, tetapi untungnya ada Daffa yang sigap menangkap tubuhnya dan mendudukkan Resha di kursi tunggu yang terletak di sampingnya.

Audrey segera menghampiri sahabatnya itu. Ia juga sesekali menatap ke arah Arga yang masih terheran melihat Resha.

“Dey, gue mau pulang sekarang.”

“Iya ayo, Sha ... Gue anterin ya sama Nathan.”

Resha akhirnya beranjak dari tempatnya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk bangkit dari kursi itu. Tubuhnya benar-benar lemas. Sebelum ia pamit undur diri dari gedung itu, ia menoleh pada Arga sekilas.

Sorry, Ga. Mungkin gue salah orang,” ucap Resha dengan hatinya yang terasa begitu sesak kala itu. Arga hanya menatap Resha dengan raut wajah yang bingung.

Resha akhirnya memilih untuk pergi dari tempat itu dengan diikuti oleh Audrey dan Nathan. Kini yang tersisa hanyalah Daffa, Arga, dan Zeva dengan ribuan tanda tanya di benaknya.

Arga menatap punggung Resha yang semakin menjauh. Entah mengapa, hatinya merasa sedih ketika Resha perlahan menghilang dari hadapannya. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi ia tak tahu apa penyebabnya. Lelaki itu hanya bisa terdiam tanpa kata sembari terhanyut dalam pikirannya.