Malam Sebelum Hari Kepergian Arga

“Sha, udah tidur belum?”

Arga mengetuk pintu kamar Resha perlahan. Ia berharap akan ada balasan dari perempuan itu. Tak berapa lama kemudian, pintu itu pun terbuka. Resha membuka pintu dengan mukanya yang nampak tidak baik-baik saja setelah ia memikirkan perkataan Bima.

“Masuk aja.”

“Masuk ke kamar lo? Emang gapapa?”

“Gapapa, Ga. Masuk aja.”

Arga akhirnya masuk ke dalam ruangan itu untuk pertama kalinya. Ia segera duduk di ranjang Resha ketika perempuan itu menepuk tempat kosong di sebelahnya.

“Maaf ya gue ganggu malem-malem gini. Gue pengen ngobrol banyak hal sama lo, itung-itung sekalian ngabisin waktu.”

“Mau ngobrol apa?”

“Hmm ... gak jadi ngobrol deh, gue pengen ngeliatin lo sepuasnya aja hehe ....”

“Jangan gitu, ntar gue salting.”

“Bisa salting juga lo? Hahahaha ....”

“Kok lo masih bisa ketawa sih, Ga?”

“Kan gue bahagia. Gue bahagia terus kalo di samping lo.”

Resha diam tak merespon. Ia benar-benar masih tidak sanggup menatap Arga yang kini tengah memandangnya dengan senyumannya yang begitu damai. Ia akhirnya hanya melihat ke luar jendela, melihat langit yang gelap gulita tanpa ada bintang di sana.

“Maafin gue ya Sha, gue cuma sementara.”

“Gak perlu minta maaf, Arga.”

“Lo janji ya harus kuat dan bahagia ngelanjutin hidup lo setelah gue pergi? Lo boleh kok lupain gue dan anggap gue gak pernah ada.”

“Iya, janji. Tapi kalo ngelupain lo dan nganggep lo gak pernah ada, gue gak bisa lakuin itu.”

“Gue gak mau lo malah sedih kalo inget gue, Sha.”

“Gue kan udah janji bakal bahagia.”

“Hmm iya deh ... janji beneran, ya?”

“Iya. Ga, tentang wishlist lo gimana? Ada lagi gak yang pengen lo lakuin? Ayo lakuin sekarang! Kita lakuin apapun keinginan lo sebanyak-banyaknya.”

Arga tersenyum saat Resha masih saja mengingat tentang wishlist-nya itu. Ia pun teringat saat awal-awal ia memberi tahu Resha untuk menemaninya menjalankan hal-hal yang ada dalam daftar keinginannya.

Wishlist ya? Tinggal satu lagi kok, Sha. Tapi gue gak bakal kasih tau sekarang. Kalo gue kasih tau sekarang, ntar lo belum siap.”

“Belum siap gimana?”

“Setelah gue bilang wish gue yang terakhir itu, gue bakal bener-bener pergi, Sha ....”

Hening. Suasana di sana tiba-tiba menjadi hening karena tiada respon apapun dari perempuan yang sekarang masih menatap jendela yang berada tepat di belakang Arga. Ia sebenarnya sudah mengantisipasi bahwa hal ini akan terjadi. Arga pasti akan mengatakan tentang kepergiannya malam ini.

“Jadi, kapan menurut lo gue bakal siap, Ga?”

“Besok. Lo harus anter gue, ya?”

Resha menahan air matanya. Ia benar-benar tak kuat menatap Arga. Mendengar kata bahwa ia harus mengantar kepergian lelaki yang kini ia cintai itu, hatinya terasa sangat pilu.

“Oh iya, gue pengen liat lo pake kalung mama gue. Besok lo pake, ya?”

“Tapi itu kan kalung mama lo, Ga?”

“Mama gue pasti seneng kalo kalungnya dipake sama perempuan kesayangan anaknya.”

“Iya udah kalo itu mau lo. Ga, gue boleh gak minta satu hal ke lo?”

“Apa?”

“Gue pengen meluk lo lama banget. Boleh, kan?”

Lelaki itu tersenyum lagi saat mendengar permintaan Resha. Ia segera merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan langsung disambut oleh Resha. Ia mendekap Resha dengan senyumannya, ia tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan di malam sebelum kepergiannya.

“Udah gue kasih pelukan gini, lo janji ya besok bakal jadi Resha yang lebih kuat?”

“Semoga aja ya, Ga ....”

“Kuat ya, Sha. Gue pengen besok liat lo ngelepas gue dengan bahagia.”