Kecelakaan Simpang Lima
“Duh! Semoga gak telat deh gue.”
Resha hanya bisa membatin saat ia tiba di dalam bus. Penumpang hari itu cukup ramai sehingga Resha hanya berakhir berdiri dengan berpegangan pada pegangan bus. Banyak karyawan dan anak sekolah yang turut serta menaiki bus itu, membuat sang supir melajukan kendaraannya dengan cukup cepat.
“Aduh ini supirnya gak bisa cepetan dikit apa ya ....”
“Pak, agak cepetan dikit nyetirnya bisa gak?”
“Keburu telat ini saya.”
Beberapa keluhan dari para penumpang di sana pun cukup memenuhi seisi kendaraan berbentuk balok itu. Resha hanya bisa menghela napas dan menatap ke arah jalanan yang ada di depannya.
Sekitar dua puluh menit bus itu berjalan dengan cukup lancar, tiba-tiba sebuah truk besar menyerempet bus itu hingga bus menjadi sedikit oleng karena sang supir yang membanting stirnya untuk menghindari truk besar itu.
Brak!
Suara tabrakan itu terdengar sangat keras dan jelas, tetapi itu bukan suara dari tabrakan dari bus yang Resha tumpangi. Suara itu berasal dari kecelakaan beruntun yang kini terjadi tepat di depan bus itu.
Supir bus pun terpaksa menginjak remnya mendadak hingga membuat beberapa penumpang terjatuh bahkan terbentur, termasuk Resha, ia terbentur kursi penumpang yang ada di depannya. Darah segar pun mulai mengucur dari dahinya, rasa sakit sekaligus ketakutan pun beradu menjadi satu saat itu. Melihat kecelakaan besar tepat di depan bus itu, bahkan beberapa korban pun tergeletak di sana dengan kondisi jalanan yang dipenuhi pecahan kaca dan serpihan dari kendaraan.
Penumpang bus pun segera turun diikuti dengan sang supir yang juga terluka cukup parah. Terdapat banyak pecahan dan serpihan di sekitar bus itu karena jarak kecelakaan yang sangat dekat, tepat di depan bus yang ditumpangi oleh Resha. Dari banyaknya kendaraan yang terlibat, hanya bus itu lah yang memiliki keajaiban untuk selamat dari kecelakaan itu.
Resha turun ke jalan tanpa menyadari bahwa dahinya terluka. Ia sejujurnya tak sanggup melihat apa yang ada di depannya saat itu, ia berniat untuk segera menepi, tetapi sepatu yang ia kenakan nampaknya menginjak sesuatu saat itu. Resha segera memeriksanya. Benar saja, ia menginjak sebuah benda asing, bukan kaca maupun serpihan.
“Hah? Kalung?”
“Mbak, ayo menepi dulu! Bentar lagi polisi sama ambulans dateng. Ayo ke pinggir dulu!”
Suara warga sekitar yang membantu untuk menolong para korban kecelakaan itu pun membuyarkan kebingungan Resha tentang kalung itu. Perempuan itu akhirnya mengikuti saran warga untuk pergi menepi, ia sedikit terdesak saat itu hingga membuatnya tanpa sadar membawa kalung yang baru saja ia temukan beberapa menit yang lalu.