Rindu Berujung Temu
Hening. Kini yang tersisa hanya Arga dan Resha di tempat itu. Angin pun berhembus perlahan, suasana di sana seolah mendukung keduanya agar dapat memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.
“Lo gak mau pesen makan juga, Sha?” Arga akhirnya menjadi yang pertama untuk memecah keheningan di sana.
“Oh, gak, gak usah. Gue udah makan tadi kok.”
Arga mengangguk-anggukkan kepalanya. Pandangannya ia alihkan pada sekelilingnya. Tak ada pelanggan lain di luar sana karena kebanyakan mereka memilih untuk duduk di dalam ruangan.
Resha terdiam sembari memberanikan diri untuk memandangi Arga yang kini benar-benar ada di hadapannya, bukan sebagai sosok yang tak kasat mata, tetapi sebagai sosok manusia yang sama dengannya. Resha sesekali mengukir senyumannya saat menatap wajah lelaki itu. Wajah yang selalu Resha ingat sejak Arga masih bersamanya.
“Kok ngeliatin gue gitu banget, Sha?”
“E-eh, maaf ya.”
“Hahaha ... gapapa, santai aja.”
“Keadaan lo gimana sekarang, Ga?”
“Baik kok hehe ... makasih ya udah nanyain.”
Nada bicara, senyuman, dan tawa Arga masih sama. Tawa dan senyuman yang Resha rindukan itu benar-benar telah kembali. Resha hampir menitikkan air matanya, tetapi segera ia usap kasar.
“Eh lo nangis lagi? Gue bikin lo sedih, ya?”
“Nggak kok, Ga. Gue kayaknya kelilipan aja.”
“Mau gue tiupin gak matanya?”
“Eh gak usah. Udah gapapa kok ini.”
Arga menatap Resha khawatir. Entah mengapa, perasaan khawatir itu tiba-tiba muncul di hati Arga, dan itu hanya bisa muncul pada saat bersama Resha. Beberapa lama Arga memandang Resha yang tengah sibuk mengusap matanya, sebuah benda membuat Arga terkejut bukan main.
“Maaf Sha kalo gue lancang, tapi itu kalung lo?” Arga menunjuk ke leher Resha. Ia melihat kalung berliontin hati berwarna putih itu.
Resha memegang kalung itu. Perempuan itu tersenyum dan segera melepas kalung itu. Ia menyodorkan kalung itu pada lelaki yang dulunya mengamanahkan kalung itu padanya. Arga memandangi kalung itu lamat-lamat, raut wajahnya nampak berubah, menunjukkan bahwa kalung itu memang memiliki makna yang mendalam baginya.
“Kalung mama lo, kan? Ini kan yang selama ini lo cari?”
Arga masih terdiam memandangi kalung itu. Ia memberanikan diri untuk menggenggam kalung berliontin hati berwarna putih itu. Detik selanjutnya, air matanya mulai turun membasahi pipinya. Resha tahu bahwa hal itu akan terjadi. Namun, Arga segera mengusap kasar air matanya itu.
“Mama ... gue kangen ... gue kira gue bakal kehilangan kalung ini selama-lamanya. Kok bisa kalung ini ada di lo, Sha?”
“Gue nemuin itu pas kejadian kecelakaan simpang lima, Ga. Kita terlibat kecelakaan yang sama.”
“Lo juga terlibat? Tapi lo gapapa, kan?”
“Gue gapapa kok, pas itu gue cuma luka lecet doang. Justru gue sedih pas denger lo ternyata terluka parah dan koma sebulan karena kejadian itu.”
“Iya. Gue pikir pas itu gue bakal nyusul mama. Tapi ternyata, Tuhan ngasih gue kesempatan buat kembali jalanin kehidupan di dunia ini.”
Arga tersenyum simpul. Ia menatap Resha yang nampak tersenyum tipis saat mendengar pernyataannya itu. Resha tak mungkin salah, ia benar-benar Arga, Arga yang selalu menghargai segala hal di kehidupannya.
“Sha, kalo boleh nanya, lo kenapa sesedih itu pas liat gue di rumah sakit?”
Hati Resha benar-benar masih belum siap menghadapi pertanyaan itu. Namun, benar kata Daffa, ia harus berani memulai segalanya demi kebahagiaan Arga.
“Gue takut lo gak percaya Ga kalo gue ceritain semuanya.”
“Mungkin awalnya gue gak bakal percaya, tapi entah kenapa hati gue yakin tentang lo, Sha. Ayo ceritain ke gue!”
Lagi-lagi Resha menghela napasnya sebelum memulai segala ceritanya bersama Arga. Sudah kali berapa ia menceritakan semua ini, tetapi kali ini ia merasa berbeda. Ia akhirnya menceritakan segala cerita ini pada orang yang menjadi tokoh utama dalam kisahnya itu.
Arga menyimak dengan seksama. Ia sama sekali tidak menginterupsi perempuan itu. Arga melihat betapa beratnya napas Resha saat menceritakan segalanya. Ia tak percaya dan kehabisan kata-kata. Mata Arga juga sesekali menjadi berkaca-kaca mendengar pernyataan Resha itu. Hatinya benar-benar merasa sedih, mendengar betapa dekatnya mereka kala itu, sedangkan kini ia tak dapat mengingat apapun tentang Resha.
“Gue bener-bener terpuruk pas lo ninggalin gue. Tapi, lo minta gue buat bahagia setelah lo gak ada. Jadi, gue berusaha buat nurutin permintaan lo itu.”
Arga terdiam. Ia benar-benar tak menyangka bahwa dirinya dan Resha memiliki hubungan sedekat itu, bahkan dirinya sendiri yang memberikan amanah pada Resha agar memakai dan menjaga kalung mamanya itu.
“Sha ... gue minta maaf. Gue minta maaf karena udah ninggalin lo, dan sekarang, gue gak inget segalanya tentang kita ....”
“Gapapa, Ga. Gue udah terima kok kalo emang lo gak bisa inget tentang kita. Lagian, semua itu terjadi di alam bawah sadar lo, gue gak bisa nyalahin lo juga.”
“Gue emang sempet gak percaya, tapi dengerin lo cerita tentang wishlist gue, bahkan gue ngasih kalung ini ke lo, gue jadi yakin, Sha.”
“Yakin gimana, Ga?”
“Yakin kalo lo hadir di kehidupan gue bukan cuma sebagai sebuah kebetulan.”
Arga tersenyum manis. Ia menatap Resha, tatapan itu benar-benar damai. Tatapan yang selama ini Resha rindukan.
“Sha. Gue boleh minta sesuatu lagi ke lo?”
“Minta apa, Ga?”
“Tolong ingetin gue tentang kita, ya?”