Arga, Resha, dan Semesta

Arga mengajak Resha ke sebuah tempat yang ia rasa menjadi tempat yang tepat baginya untuk menenangkan diri. Terlihat deburan ombak biru yang menerjang bebatuan di sekitarnya. Tak hanya itu, ombak itu juga sesekali menghampiri daratan dan membasahi pasir putih yang ada di depannya.

“Maaf ya, Sha. Gue udah ngajak lo jauh-jauh ke sini, mana udah agak sore begini.”

“Gapapa. Untungnya di sekitar sini ada laut begini ya, jujur gue baru tau.”

“Iya untung aja. Tapi sejujurnya gue udah tau sih Sha kalo ada laut di sini, kemarin gue sempet jelajahin desa ini soalnya hehehe ....”

“Lah pantesan aja lo ngajak ke sini. Tapi Ga, kenapa harus laut?”

“Hm? Gak tau juga, pas gue sedih tadi, gue langsung kepikiran laut.”

“Oh gitu.”

“Sha, main ke sana yuk!”

Arga menarik tangan Resha untuk lebih dekat dengan bibir pantai. Mereka bermain air dan bersenang-senang layaknya seorang anak kecil. Pantai itu memang bukanlah pantai yang sering dikunjungi oleh banyak orang karena lokasinya yang terpencil.

Hampir sekitar satu jam mereka bermain dan bercanda di sana, mereka akhirnya menepi dan duduk di dekat sebuah tebing besar yang menjadi pembatas laut dan desa itu.

“Seru kan tadi?”

“Hahaha iya, berasa flashback masa kecil gue.”

“Sha, boleh pinjem pundak lo bentar gak?”

“Hah buat apa?”

Arga tiba-tiba menyandarkan kepalanya pada bahu perempuan yang ada di sebelahnya itu. Ia bersandar sembari memejamkan matanya, seolah-olah bahu Resha menjadi tempat yang tentram dan ternyaman baginya.

“Maaf ya, Sha. Gue agak lancang, tapi biarin gue gini sebentar, ya?”

“I-iya gapapa. Lo kenapa deh, Ga?”

“Gapapa. Gue cuma ngerasa capek aja.”

Keduanya pun akhirnya saling terdiam. Resha hanya melihat ke arah laut yang tengah sibuk memamerkan keindahan ombaknya, sedangkan Arga tampak seperti tengah terlelap di bahu Resha. Perempuan itu juga sesekali melihat arwah lelaki yang tengah bersandar padanya itu, melihat betapa damainya wajah Arga saat itu.

“Sha, gue mau nanya banyak hal deh. Lo harus jawab satu persatu ya.”

“Hm ... iya deh.”

“Sha, lo sayang gak sama gue?”

Pertanyaan itu seperti sebuah sengatan listrik yang sedang menyambar hati Resha. Bagaimana bisa lelaki itu menanyakan hal itu dengan santai sembari tertidur di bahu Resha.

“Kok nanya gitu?”

“Udah jawab aja.”

“Iya.”

“Sama, Sha.”

“Sama apanya?”

“Sama, gue juga sayang sama diri gue sendiri.”

Satu jitakan pun mendarat di kepala Arga. Tentu saja, siapa lagi jika bukan Resha yang melakukannya.

“Aduh! Iya bercanda. Gue juga sayang sama lo, Sha. Sayang banget.”

Siapa pun harus menolong Resha saat itu karena jantungnya sudah tidak bisa berdetak dengan normal setelah mendengar perkataan Arga.

“Sha, lo selama ini kerepotan gak gegara gue?”

“Gak. Gue justru bahagia banget.”

“Serius? Syukur deh, gue juga bahagia banget sama lo. Gak kerasa ya udah lumayan lama sejak kita ketemu.”

“Iya ya, perasaan baru kemarin gue nawarin lo jajan gegara gue kira lo nunduk mulu gegara laper.”

“Hahaha kalo diinget-inget lagi jadi lucu ya ....”

Mereka terdiam sejenak setelah mengingat-ingat bagaimana pertemuan pertama mereka. Awal yang canggung, tetapi menjadi hal yang tak terlupakan bagi mereka.

“Sha, kalo gue udah pergi nanti, lo janji ya bakal bahagia?”

“Ga, kita udah sepakat gak bahas tentang itu, kan?”

“Jawab aja, Sha. Gue mohon.”

“Gue gak bisa janji soal itu.”

“Jangan gitu, ntar gue juga sedih dong liat lo dari atas sana. Gue gak mau liat perempuan yang gue cintai setelah mama ntar sedih gegara gue.”

“Arga ....”

Arga akhirnya mengangkat kepalanya karena Resha menggeserkan tubuhnya untuk menghadap Arga. Mereka berdua akhirnya saling bertatapan. Arga dengan tatapan menenangkannya dan Resha yang mulai menitikkan air matanya, tetapi segera diusap perlahan oleh jari jemari dingin milik Arga.

“Dih kok malah nangis. Ntar cantiknya ilang. Jangan nangis.”

Tangisan Resha semakin menjadi-jadi, Arga segera memeluk perempuan itu. Sejujurnya, ia juga ingin menangis, tetapi ia menahannya karena tak ingin Resha melihatnya.

“Ga, waktu lo masih lama, kan?”

Arga hanya terdiam. Ia hanya merespon pertanyaan Resha dengan mengeratkan pelukannya pada perempuan yang ada dalam dekapannya itu.

“Maafin gue ya, Sha. Maafin gue ....”

Air mata lelaki itu akhirnya jatuh dan mengalir membasahi pipinya, tetapi Resha tak mengetahui itu. Arga menangis sembari mendekap Resha, perempuan yang kini sangat ia cintai setelah sang ibunda. Mereka akhirnya saling mengungkap rasa di bawah langit senja, diikuti oleh deburan ombak dan angin laut yang nampak begitu tenang, seolah ikut berharap agar semesta dapat memberi restu pada keduanya.