3 Years Later
Deburan ombak menyapa bebatuan yang ada di sekitarnya. Angin laut yang sejuk dan sinar matahari senja yang mulai terpancar menghiasi pemandangan indah di laut itu. Ketenangan dan kebahagiaan seolah tengah menyelimuti suasana di sana.
“Ga! Udah ih, baju aku basah ntar!”
Arga tertawa melihat wajah Resha yang kesal karena ia terus menerus mengarahkan percikan air pada perempuan itu. Namun, lelaki itu akhirnya menghentikan kejahilannya dan menghampiri kekasihnya yang tengah meliriknya sinis.
“Maaf maaf. Kan emang biar seru main-main di sini,” ujar Arga sembari mengusap lembut pipi Resha.
“Iya tapi kan aku gak bawa baju ganti.”
“Iya sih aku juga.”
Arga meraih tangan Resha dan menarik perempuan itu untuk duduk di batu besar yang ada di belakangnya. “Duduk di sana aja yuk!”
Mereka pun akhirnya duduk bersebelahan di batu itu. Memandang lautan biru yang cukup tenang dan menciptakan suasana damai. Resha menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Arga, membuat lelaki itu perlahan tersenyum. Arga menggenggam tangan Resha, mengusap telapak tangannya dan menyelipkan jari jemarinya di antara jari jemari perempuan itu.
Resha memejamkan matanya, merasakan segala ketenangan dan kedamaian di sana. “Enak ya gini ....”
“Iya lah enak, bahu aku emang enak buat sandaran.”
“Hahaha iya sih bener.”
Kedua insan itu menikmati waktu yang semakin lama semakin berlalu. Arga dan Resha sudah menjalin hubungan selama tiga tahun. Banyak halangan dan rintangan yang tentu menghiasi perjalanan mereka selama ini. Bertengkar kemudian berdamai dan saling bicara meskipun hati masih tak baik-baik saja, tapi hal itu yang justru menguatkan hubungan mereka.
Setelah sekian lama menikmati suasana di atas batu itu, Arga tiba-tiba menyadari sesuatu. “Eh? HP aku mana, ya?”
Resha mengangkat kepalanya saat Arga mulai gelisah mencari ponselnya. Lelaki itu merogoh saku celana jeans-nya.
“Gimana sih? Tadi terakhir ditaruh di mana? Coba inget-inget.”
“Dari tadi aku taruh di saku kok. Duh kemana ya ....”
Arga pun beranjak dan berdiri dari tempat duduknya. Ia turun dari batu besar itu dan mencari-cari ponselnya di sekitar sana. Resha pun mengikuti Arga, matanya menyusuri segala sudut tempat di sekitarnya.
“Sha, kamu cari di sekitaran batu itu coba. Aku mau ke sana dulu, siapa tau tadi jatuh pas kita main air di sana.” Arga menunjuk batu besar yang berada di belakang Resha. Perempuan itu mengangguk dan segera menuju ke tempat yang ditunjuk oleh kekasihnya.
Resha menelusuri segala sisi di sekitar batu itu. Ia bahkan rela menggali pasir yang ada di sana sembari menggerutu bagaimana bisa Arga bisa menjatuhkan ponselnya.
Beberapa lama Resha mencari di sekitar batu itu, ia hampir pasrah, tetapi ia melihat sebuah benda asing yang terselip di antara sisi bawah batu dan pasir. Benda itu nampak mencolok dan menyerupai sebuah batu alam yang berwarna merah muda.
“Hm?” Resha mengambil batu itu dan terkejut saat mengetahui bahwa itu bukan batu biasa. “Lah? Batunya bisa dibuka?”
Resha melihat terdapat garis yang membelah batu itu. Perempuan itu pun mencoba membuka batu yang ada di genggamannya itu. Resha membisu saat melihat isinya, terdapat sebuah cincin di dalam sana.
Resha segera menoleh ke belakang, tetapi ia tak menemukan siapa pun di sana. Resha terheran saat ia tak melihat Arga, bukankah lelaki itu mencari ponselnya di sisi pantai yang ada di belakangnya? Resha tak menyadari bahwa lelaki itu telah menghilang.
“Arga? Ga!”
Resha bergerak melangkah menuju tempat di mana Arga mencari ponselnya tadi. Perempuan itu mencari dan menelisik berbagai sudut pantai di sekitarnya dengan matanya. Ia benar-benar tak menemukan sosok kekasihnya itu.
“TOLONG! TOLONG!”
Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan Resha. Ia pun segera mencari sumber suara itu karena ia tahu bahwa itu suara Arga. Pikiran kalut mulai menyerang pikiran Resha. Ia takut terjadi sesuatu pada lelaki itu.
“ARGA?”
“RESHA? SINI SHA TOLONGIN AKU!”
Resha melangkah menuju sisi kanan tebing batu besar yang ada di sana. Ia terkejut saat tiba di tempat itu.
“Ga? Daffa? Daffa kok ada di sini? Ini dia kenapa?”
Daffa tergeletak tak sadarkan diri dengan rambut dan tubuhnya yang basah. Raut cemas di wajah Arga pun terpancar dengan jelas. Arga berusaha menekan-nekan dada adiknya itu.
“Dia emang tadi bilangnya mau nyusulin aku ke sini, terus dia main-main air di sana, eh tiba-tiba dia pingsan begini.”
Resha pun ikut cemas melihat keadaan Daffa. Perempuan itu menepuk-nepuk pelan pipi adik lelaki Arga itu.
“Duh gimana ya ....”
“Gini aja deh, Sha. Aku boleh gak minta tolong ambilin aroma terapi atau minyak kayu putih apa gitu di mobil? Kamu tau kan tadi mobil kita parkirnya di mana?”
“Iya tau kok. Aku ambil dulu ya.” Resha segera beranjak meninggalkan Arga dan Daffa setelah Arga memberikan kunci mobilnya.
Perempuan itu berlari sembari menggenggam kunci mobil Arga dan batu yang ia temukan tadi. Langkahnya semakin kencang saat ia semakin dekat dengan mobil Arga yang terparkir tak jauh dari tepi pantai.
Resha membuka pintu mobil itu dan mulai sibuk mencari kotak obat yang berada di kursi bagian tengah. Beberapa lama kemudian, netranya pun menangkap sebuah buket bunga mawar yang ada di sisi kemudi mobil.
“Hah? Sejak kapan ada buket di sini?”
“Ekhm!”
Resha menoleh ke belakang ketika mendengar suara dehaman yang tak asing baginya. Arga berdiri di belakangnya. Ia tersenyum sembari menaik turunkan alisnya.
“Loh? Kok kamu di sini? Daffa ditinggal sendirian?”
“Kok malah nanyain Daffa sih?”
Senyuman Arga seketika sirna dan tergantikan dengan bibirnya yang cemberut. Resha terheran dengan kekasihnya itu.
“Ya kan emang Daffa lagi sakit?”
Tak berapa lama kemudian, Daffa muncul dari belakang mobil Arga. Lelaki itu pun terkekeh. “Gue gapapa kok hehehe ....”
Resha terkejut saat melihat Daffa yang baik-baik saja, tetapi dengan tubuh dan rambut yang masih basah. “Daf, tadi kan lo pingsan? Kok bisa sih? Ini ada apa sebenernya? Kalian nge-prank?”
Daffa melirik Arga dan menunjuk Resha dengan dagunya, ia memberikan kode agar kakaknya itu menjelaskan segalanya pada perempuan itu.
Arga mendekat pada Resha. Ia meraih tangan kekasihnya itu dan menatap mata Resha dengan begitu dalam.
“Sebelumnya maafin aku ya udah bikin kamu panik, ini emang rencana aku sama Daffa.”
“Maksudnya?”
“Kamu kan udah nemu batu ini, udah tau kan isinya apa?”
Arga menunjuk batu yang ada di genggaman Resha. Perempuan itu mengangguk perlahan. Arga pun segera mengambil buket bunga yang ada di dalam mobilnya.
“Ini juga buat kamu.”
“Ga? Ini maksudnya ....”
“Hehehe ... ini semua udah aku rencanain, Sha. Jujur aku suka ragu untuk sampe ke tahap ini, masih takut, tapi aku sadar, sekarang udah bukan saatnya buat kita untuk cuma main-main.”
Resha masih membisu mendengar segala pernyataan Arga. Hatinya berdebar semakin kencang setiap Arga melontarkan kata demi katanya.
Arga pun berlutut di hadapan Resha. Ia menghela napasnya perlahan. Lelaki itu nampak benar-benar gugup saat itu.
“Sha, aku punya satu wish lagi. Ini bener-bener wish yang udah aku harapin dari lama. Kamu mau gak wujudin keinginan aku yang satu ini?” Arga berhenti sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. “Wish aku kali ini pengen jadi suami Nadira Teresha. I want to spend the rest of my life with you, Sha.”
Resha menutup mulutnya tak percaya. Matanya berkaca-kaca, senyuman bahagia pun terukir di bibirnya yang masih membisu karena perlakuan Arga.
“Sha, will you marry me?“
Arga menatap Resha begitu dalam. Jantungnya berdetak kencang saat menunggu jawaban dari kekasihnya itu. Tak butuh waktu lama, Resha pun menganggukkan kepalanya.
“Yes. I will, Ga.“
Raut antusias dan kebahagiaan terlukis di wajah tampan Arjuna Gavindra. Bibirnya merekah membentuk sebuah senyuman yang mungkin menjadi senyuman yang paling membahagiakan di hidupnya. Arga pun bangkit dari posisinya dan segera memeluk erat perempuan yang ada di hadapannya.
Arga dan Resha saling berpelukan erat dan tersenyum bahagia. Keduanya bahkan menitikkan air matanya karena rasa bahagia yang tak lagi dapat diungkapkan dengan kata-kata. Arga menatap Resha begitu dalam, pandangan mereka pun terkunci pada satu sama lain. Perlahan, Arga mendekatkan wajahnya pada Resha, membuat perempuan itu memejamkan matanya.
“Eh eh eh! Masih ada gue di sini anjir lo berdua mau main nyosor aja.” Daffa memecahkan suasana saat itu. Arga pun melirik Daffa sinis, sedangkan Resha hanya tertawa melihat tingkah kedua kakak-beradik itu.
“Yaelah anjir lo ngerusak aja.”
“Ya lagian lo mau ciuman kaga aba-aba dulu. Ini di luar skenario kita.”
“Bentar doang lah, Dap.”
Arga memohon pada adiknya itu. Daffa memutar bola matanya jengah. “Ya udah, gue pergi dulu dah mau beli cilok di ujung sana.”
Arga tersenyum dan memberikan aba-aba dengan tangannya yang seperti tengah mengusir ayam. “Hush! Hush!”
“Sialan lo.”
Daffa pun akhirnya membalikkan badannya dan melangkah pergi dari sana, meninggalkan Arga dan Resha yang kini tengah menatap punggungnya yang semakin menjauh. Arga menoleh dan melirik-lirik ke sekitarnya, tak ada orang lain di sana. Ia kembali menatap Resha dan disambut senyuman hangat oleh perempuan itu.
“Ulang, ya? Hehe ....”
Resha mengangguk. Arga menangkup wajah Resha dan menatap mata perempuan itu sejenak. Tatapan itu kemudian ia alihkan pada bibir ranum milik perempuannya itu. Arga mendekatkan wajahnya pada Resha, membuatnya memejamkan matanya kala itu juga.
Hembusan napas mereka pun saling beradu karena jarak keduanya yang begitu dekat. Bibir keduanya akhirnya saling bertemu, mengisyaratkan bahwa sang pemiliknya tengah tenggelam dalam lautan asmara yang disaksikan oleh deburan ombak biru. Arga mengeratkan pelukannya pada Resha, membuat perempuan itu melingkarkan tangannya pada leher lelakinya itu. Kupu-kupu seolah tengah beterbangan dalam perut keduanya, menciptakan sebuah euforia yang tak dapat diungkap dengan kata-kata.
Arga memejamkan matanya dan tersenyum tipis saat bibirnya beradu dengan milik Resha, lelaki itu tak dapat membendung rasa bahagianya kala mengingat tentang Resha yang telah menerima dirinya sebagai pendamping hidupnya.
Setelah beberapa lama saling dimabuk asmara, mereka akhirnya melepaskan tautan pada bibirnya. Arga tersenyum saat membuka matanya dan melihat wajah Resha dalam jarak yang mungkin hanya dapat dihitung dengan skala inci.
“Pake rasa apa?”
“Hah?”
“Itu liptint kamu. Besok-besok pake ini aja deh, Sha. Manis deh aku suka hehehe ....”
“ARGAAA IH!”
Resha lantas memukul bahu Arga dan disambut oleh gelak tawa lelaki itu. Raut kesal memang tergambar di wajah Resha, tetapi dalam lubuk hatinya, ia benar-benar bahagia.
“Btw aku sedih deh, Sha.”
“Kenapa?”
“Wishlist Arga sekarang udah gak ada lagi.”
“Lah kenapa? Kan kamu masih bisa minta wish apa aja?”
“Soalnya mulai sekarang, wishlist Arga bakal berubah jadi wishlist Arga dan Resha hehehe ....”
Resha tersenyum penuh haru saat mendengar perkataan Arga. Kedua insan itu kembali berpelukan dan disambut oleh angin laut yang seolah ikut bersuka cita melihat keduanya bersama. Mereka akhirnya telah sampai pada tahap yang begitu serius. Memang sudah bukan saatnya lagi untuk membahas soal menjalin rasa cinta dan kasih, tetapi bagaimana mereka dapat berjanji untuk sehidup semati dalam sebuah ikatan sakral dan suci.
Selamat berbahagia untuk Arga dan Resha. Semoga semesta selalu merestui jalan keduanya yang telah berjanji untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama.