karescript

“Hai, apa kabar? Apakah kamu baik-baik saja?” Dua pertanyaan ini yang dahulu sering memenuhi benakku selama berbulan-bulan lamanya bahkan mungkin hingga saat ini. Tak terasa ya, sudah dua Maret kita lalui sejak kamu memulai sebuah kehidupan baru yang telah menjadi pilihanmu. Sebuah pilihan yang tentu berat dan tak mudah 'kan? Maka dari itu, cobalah berterima kasih pada dirimu yang telah kuat melawan segala badai di dalam hati dan pikiranmu untuk melalui segalanya. Lalu, bagaimana kali ini? Apakah kamu sudah benar-benar bahagia? Aku harap kamu telah mengecap berjuta rasa manis yang kamu ciptakan sendiri di hidupmu. Terima kasih ya karena telah mengutamakan dirimu. Terima kasih karena telah berbagi langkah demi langkahmu untuk kembali seperti dahulu, kembali dengan hal-hal yang menjadi kegemaranmu. Tak apa jika langkahmu tak secepat yang lain. Tak apa jika kamu membutuhkan waktu yang lebih lama. Tak apa jika kamu masih ingin mengunjungi beragam tempat, mencoba segala warna rambut baru, atau pun segala hal yang ada di daftar keinginanmu. Pintaku sederhana saja, tolong jangan merasa bersalah karena telah memilih untuk menyembuhkan diri, pun tiada salahnya untuk menghargai dan menikmati hidup yang cuma sekali ini. Melihatmu dalam keadaan yang baik saja sudah membuatku bersyukur beribu kali. Terima kasih ya, karena kamu, tiap hal sederhana menjadi sangat berharga. Terima kasih telah melibatkan kami dalam proses sembuhmu. Terima kasih karena telah sembuh bersamaku. Terima kasih karena telah memutuskan untuk kembali bersama kami. Kamu hebat sudah bertahan hingga sejauh ini. Aku yakin kamu telah banyak menemukan hal baru di usia 23 tahun ini, dan aku bangga padamu untuk itu. Selamat menyambut usia barumu. Kumohon, teruslah hidup dengan sehat dan bahagia ya!

tw // kissing , mature content

Malam hari memang nampak menjadi waktu yang ditunggu-tunggu banyak orang. Waktu yang tepat untuk melepas penat dari segala pekerjaan dan aktivitas yang sedikit banyak telah menguras tenaga. Sebagian orang mungkin akan memilih untuk tidur, sebagian lainnya mungkin lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama orang terkasih, dan kini, Acel nampaknya masuk ke dalam golongan yang kedua. Lelaki dengan kaos putih polos dan celana pendek hitamnya itu hanya berbaring di ranjangnya seraya memandangi sang istri yang sedari tadi tengah berkutat di depan cermin.

“Itu kaca lama-lama pecah Yang kamu liatin mulu dari tadi.”

Tak menggubris celoteh sang suami, Oliv sibuk membalikkan badannya ke kanan, kiri, belakang, lalu berbalik kembali ke depan. Perempuan itu memang tengah sibuk mencoba hadiah baru dari sahabat lamanya, Gita.

“Lah dicuekin gue ....” gumam Acel.

“Bagusan yang mana sih, Yang? Aku cocoknya pake yang mana? Bingung.”

“Bagusan gak pake apa-apa sih.”

Oliv lantas meraih bantal yang terletak di ujung ranjang dan segera melemparnya pada Acel.

Buk!

Satu bantal pun berhasil mendarat di wajah Acel. “Duh! Pingsan deh aku,” ujar lelaki itu sedikit hiperbola.

“Ya udah pingsan aja sana. Ditanyain yang bener malah jawabnya nyeleneh.”

Acel yang semula berpura-pura pingsan pun lantas tersenyum dan kembali membuka matanya. Ia memilih untuk mendekat pada Oliv dan duduk di sisi ranjang yang berdekatan dengan cermin.

“Kamu pake yang mana aja tetep cantik kok.”

Oliv menghela napasnya sembari melirik jengah suaminya itu dari pantulan cermin. Bukannya tak senang dipuji, tetapi memang kata-kata itulah yang selalu didengar Oliv jika ia menanyakan pendapat Acel mengenai penampilannya. Jawaban lelaki itu justru membuatnya semakin bingung untuk menetapkan pilihannya.

Melihat istrinya yang masih terdiam, Acel lantas berdiri dan mendekatinya. Lelaki itu berdiri tepat di belakang Oliv, memandangi pantulan perempuan itu di cermin. Perlahan, senyum Acel pun mengembang.

“Ngapain deh senyum-senyum begitu?”

“Gapapa. Kamu keliatan seksi deh, Yang. Aku suka liatnya. Ini lingerie-nya baru tapi udah cocok di kamu.”

“Haha makasih, istrinya siapa dulu dong?”

“Istri aku.”

Tangan Acel meraih pinggang istrinya, lalu memeluk tubuh mungil itu dari belakang. Ia menyandarkan dagunya pada pundak Oliv. Hembusan napas Acel pun langsung menyapa leher dan pundak Oliv yang terbuka bebas. Mata Acel perlahan terpejam dan membuat Oliv mengernyit sembari tersenyum saat melihat tingkah suaminya dari pantulan cermin. “Kamu tuh kalo ngantuk, tidur aja, Sayang.”

Acel menggeleng-gelengkan kepalanya dan membuat Oliv sedikit merasa geli di bagian pundaknya. Dengan matanya yang masih terpejam, Acel mulai memberikan satu demi persatu kecupan di pundak Oliv, lalu beralih menyesap dalam-dalam kulit leher perempuannya itu, membuat Oliv juga ikut memejamkan matanya dan menikmati setiap sentuhan dari bibir Acel. Kian lama, kecupan yang awalnya lembut itu akhirnya kian memanas, bahkan berhasil meninggalkan satu dan dua tanda cinta berupa ruam merah di leher Oliv. Napas Oliv pun semakin tak karuan saat itu.

“Eumm Sayang ... pindah aja ya, jangan gini,” pinta Oliv yang tengah menahan desahannya.

Acel lantas menghentikan aktivitasnya. Ia pun segera membalikkan tubuh Oliv agar menghadapnya. Keduanya bertemu tatap dengan jarak yang begitu dekat. Acel mengamati setiap sisi wajah perempuan itu, lalu ia belai lembut wajah itu, wajah yang kini selalu menjadi pemandangan baginya di tiap ia membuka mata di pagi hari. Jari jemari lelaki itu juga bergerak menyisipkan anak rambut Oliv di belakang telinganya. Tatapan Acel kini beralih menuju bibir istrinya, seolah mengisyaratkan targetnya selanjutnya. Perlahan, ia mengikis jarak antara dirinya dengan Oliv hingga kedua bibir itu bertemu dan saling memagut satu sama lain. Dilumatnya bibir Oliv saat itu. Nafsu dan cinta pun seketika melebur menjadi satu. Ciuman lembut itu kian memanas dan penuh dengan gejolak nafsu. Hanya bunyi kecapan ciuman keduanya yang kini terdengar di segala sisi ruang kamar. Tangan Acel semakin menarik pinggang Oliv agar terus dekat dengannya, menolak adanya jarak di antara keduanya, sedangkan Oliv kini mengalungkan kedua tangannya di leher Acel sembari sesekali mengacak-acak rambut sang suami.

Satu tangan Acel sibuk menahan pinggang perempuannya itu. Tak ingin berlama-lama, jari jemari dari satu tangannya yang lain kini mulai meloloskan tali lingerie Oliv ke samping pundaknya, membuat leher jenjang perempuan itu terekspos sempurna. Saat keduanya melepas ciumannya, mereka pun kembali menatap satu sama lain. Tatapan keduanya mulai sayu selepas tenggelam dalam nafsu.

“Kita bikin lagi Acel dan Oliv mini-nya malem ini ya?”

Di tengah diri yang telah menahan libidonya yang sedang naik karena sentuhan Acel, Oliv pun masih sempat tertawa kecil mendengar pertanyaan sang suami. Perempuan itu mengangguk dan membuat Acel bergegas menggendongnya seperti koala ke ranjangnya. Nampaknya, akan ada malam 'lain' yang melelahkan sekaligus membahagiakan bagi kedua insan yang telah menghabiskan waktu bersama selama bertahun-tahun itu, hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersama dan berhasil membawa cintanya yang kini telah terikat oleh janji suci pernikahan.

Jam sekolah telah usai, menandakan Acel harus bergegas pergi ke lokasi yang telah ditentukan oleh Edo. Lelaki itu akhirnya tiba di depan sebuah tempat boxing yang parkirannya tak begitu ramai oleh kendaraan, hanya beberapa motor dan dua mobil yang terparkir di sana. Acel terdiam sejenak di atas motornya dengan pandangannya yang terarah pada bangunan di depannya. Ia menimbang-nimbang keputusannya untuk masuk ke sana dan menuruti permintaan Edo, atau membatalkan pertemuannya dengan Edo yang sudah ia tunggu-tunggu. Mengingat betapa liciknya Edo, ia semakin ragu, tetapi ia juga ingin mengetahui maksud dan tujuan musuh lamanya itu.

Setelah beberapa menit terdiam di atas motornya, Acel lantas menarik dasinya lalu membuka satu per satu kancing seragamnya. Ia melepas atasan seragam putih abu-abunya dan menyisakan kaos hitam yang masih setia melekat di tubuhnya. Lelaki itu paham bahwa akan sangat beresiko baginya untuk datang ke tempat seperti ini dengan mengenakan seragam sekolahnya. Ia tak ingin lagi mencemari almamaternya. Atasan seragamnya lantas ia masukkan ke dalam ransel, lalu ia mulai melangkah masuk ke dalam tempat boxing itu.

Tepat saat langkahnya telah tiba di dalam sana, beragam suara pukulan menyambut kedatangan Acel. Ia menoleh ke kanan dan kirinya, melihat beberapa pria yang bercucuran keringat nampak sibuk di ring tinju dan ada juga yang terus memukul samsak di hadapan mereka.

Seseorang tiba-tiba menepuk pundak Acel dan membuat lelaki itu sedikit terkesiap. “Nyari siapa, Bro?”

“Oh? Gue ada perlu ketemuan sama seseorang di sini.”

“Namanya siapa?”

“Edo.”

“Oh dia, lo pergi aja ke ring yang ada di pojok sana tuh! Dia udah nungguin dari tadi.”

“Oke, thanks!

Acel bergegas menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh seorang pria yang tadi menepuk pundaknya. Setibanya di sana, matanya lantas menangkap seorang lelaki yang tengah berdiri dalam sebuah ring tinju. Lelaki itu membelakanginya dan nampaknya tak menyadari kehadiran Acel saat itu. Namun, Acel masih ingat betul bagaimana perawakan Edo. Ia yakin bahwa orang itu adalah musuh lamanya itu. Acel lantas bersuara, “Maksud lo apa ngajak ketemuan di sini?”

Edo membalikkan badannya yang semula bersandar pada sisi corner pad berwarna merah, ia seolah tengah menunggu lawannya untuk berdiri pada corner pad biru yang berhadapan dengannya.

“Naik, Cel.”

“Buat apa? Gue males basa-basi, ngomong aja di bawah!”

“Gue gak bakal mau ngomong kalo lo gak masuk ke ring.”

Acel memalingkan wajahnya sekilas, lalu berdecak kesal. Mau tak mau, ia segera menaruh ranselnya di bawah dan naik ke ring menyusul Edo. Ia berdiri di dekat corner pad berwarna biru. Di tengah ring, terdapat sebuah samsak yang sedikit menghalangi pandangan kedua lelaki itu. Edo pun maju dan tiba-tiba melempar sepasang hand wrap dan sarung tinju pada Acel. Tangan Acel sigap menangkap kedua benda yang berhasil membuat Acel mengernyit.

“Gue gak ada waktu buat main-main sama lo.”

Dengan mengikatkan hand wrap di tangannya, Edo pun menjawab, “Kita gak bakal main-main di sini. Pake hand wrap-nya sama sarung tinju itu. Gue bakal ngomong semuanya abis lo make itu.”

“Anjing! Maksud lo apa sih? Lo sebenernya cuma mau jebak gue, 'kan?”

“Pake aja dulu.”

Emosi Acel hampir mencapai puncaknya. Namun, lagi-lagi ia kembali menuruti kemauan Edo yang ia anggap sangat tak berguna dan membuang-buang waktunya itu. Acel segera melilitkan hand wrap di tangannya. Tiap lilitannya ia lakukan dengan kuat seolah menggambarkan emosinya saat itu. Sekian lama ia tak melihat wajah musuhnya itu membuat emosi Acel kembali terpancing, persis saat dahulu Edo memancingnya untuk melayangkan pukulan ke wajah lelaki itu.

“Gue akuin, gue emang udah sejak lama mantau lo di Gemantara lewat adek gue.”

Ucapan Edo lantas membuat Acel berhenti sejenak dari aktivitasnya untuk melilitkan hand wrap di tangannya. Tanpa memandang Acel sedikit pun, Edo terus melanjutkan perkataannya, “Soal Clara, gue emang sengaja jadi partner dia dengan alibi kalo gue mau ngancurin lo juga, padahal sebenernya, gue cuma mau tau taktik dia aja, kayak gimana sih dia mau ngejalanin rencananya buat ngasih konsekuensi ke lo karena udah nolak dia.”

“Kenapa lo ngelakuin semua itu?”

“Karena gue gak mau tujuan awal gue gagal karena Clara.”

“Tujuan awal?”

“Iya. Tujuan awal gue mantau lo di Gemantara, yaitu mastiin lo bisa lulus tepat waktu tanpa ada halangan lagi.”

“Buat apa lo mastiin gue lulus dari Gemantara?”

Edo memakai sarung tinjunya, lalu bergerak maju mendekati samsak yang ada di antara dirinya dan Acel. Ia pun bersiap memukul samsak itu. “Karena dulu lo gagal lulus sekolah karena gue.”

Buk!

Sebuah pukulan keras menghantam samsak itu. Nampak jelas bahwa Edo tengah melampiaskan amarahnya pada benda di hadapannya itu. “Lo gagal lulus karena gue, banyak orang yang tersakiti karena gue, banyak orang yang akhirnya menderita karena perbuatan gue.”

Buk!

Lagi-lagi Edo meninju samsak itu tiap ia selesai mengeluarkan segala pernyataannya. Napasnya terengah-engah, hingga akhirnya ia terdiam sejenak. “Dan karena gue juga, keluarga gue hancur. Semuanya karena ulah gue!”

Melihat Edo yang terus membicarakan perbuatannya, Acel memilih untuk diam. Bukannya ia tak sanggup merespon, tetapi ia mulai mengerti, lelaki itu nampaknya tengah menyesali segala perbuatannya.

“Gue yakin Cel lo masih inget kata-kata lo pas lo mukul wajah gue waktu itu.” Edo kembali melayangkan satu pukulannya pada samsak. “Lo bilang, gue pantes dapet apa yang lebih menyakitkan dari pukulan lo. Dan lo bener. Lo bener Cel, gue akhirnya dapetin banyak hal yang emang lebih menyakitkan dari sekadar pukulan di wajah gue.”

Edo meneguk ludahnya kasar dengan napasnya yang terengah-engah. Sorot matanya penuh dengan amarah yang bercampur kesedihan yang mendalam. Seluruh memori pahit yang ia alami dalam hidupnya selama ini seolah kembali memenuhi benaknya, membuatnya merasa sesak dan terus membenci dirinya.

“Bokap gue dicopot jabatannya sebagai kepala sekolah secara gak hormat karena kinerjanya yang buruk dan penuh manipulasi. Usaha nyokap gue bangkrut karena ditipu sama rekannya sendiri. Dan gue ... gue lulus sekolah, tapi gak ada satu pun kampus yang mau nerima gue karena udah banyak yang tau track record gue sebagai pem-bully di sekolah. Temen-temen gue pada ninggalin gue karena gak mau terlibat sama masalah gue. Bahkan adek gue juga diolok-olok sama temennya pas SMP karena punya kakak tukang bully. Gue tau, semua ini karma dari perbuatan gue.”

Segala perkataan Edo membuat Acel akhirnya menyadari bahwa lelaki itu telah berubah. Lelaki yang ada di hadapannya itu lantas kembali memukul samsak dengan bertubi-tubi.

“Semuanya karena gue, Cel! Karena gue!”

Acel lantas memakai sarung tinjunya dan maju mendekati Edo. Ia menahan samsak itu sehingga membuat Edo berhenti melayangkan pukulannya.

“Jadi karena itu lo bantuin gue dengan ngumpulin semua bukti itu?”

Edo menganggukkan kepalanya. Acel pun menghela napasnya lalu kembali bertanya, “Terus, gimana orang-orang yang udah lo bully dan lo sakitin selain gue? Mereka mungkin lebih menderita daripada gue karena perbuatan lo dulu.”

“Gue udah nyari mereka dan minta maaf, bahkan sampe memohon-mohon. Gue pengen dapet ampunan dari mereka semua. Cuma satu orang yang belum gue dapetin maaf-nya saat itu, yaitu lo, Cel.”

“Bentar, jadi Vanya itu ....”

“Iya, gue yang minta tolong ke dia buat komen di postingan itu. Gue bener-bener gak tau gimana lagi bisa nebus kesalahan gue ke lo, lo pasti masih dendam dan gak bakal maafin gue kalo gue cuma sekadar dateng dan minta maaf di hadapan lo. Jadi gue mutusin buat lakuin semua ini.”

Seluruh pikiran buruk Acel perlahan memudar setelah mendengar penjelasan Edo. “Terus maksud lo ngajak gue ketemuan di sini apa?”

Edo tiba-tiba menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan Acel. “Gue minta maaf Cel sama lo, gue beneran nyesel. Lo bisa pukul gue sepuasnya sekarang, lampiasin semua emosi lo ke gue, gue pantes dapetin itu. Gak bakal ada yang tau kalo lo mukulin gue secara sengaja di sini, mereka cuma tau kalo kita lagi latihan tinju kayak biasa. Jadi lo bisa pukul gue, gue gak bakal ngelawan. Ayo pukul gue, Cel!”

“Ck!” Acel berdecak dan membuang mukanya. Ia kembali mengingat segala penderitaan yang telah ia lalui akibat perbuatan Edo. Emosinya pun mulai kembali terpancing. “Berdiri lo.”

Acel menarik kaos Edo dan membuat lelaki itu kembali berdiri menghadapnya. Keduanya akhirnya bertatapan. Tak ada lagi tatapan menantang yang terpancar dari Edo, tetapi kini hanya ada penyesalan di mata lelaki itu. Dengan segenap tenaga, Acel mengumpulkan kembali emosinya dan berniat melampiaskannya dengan menonjok wajah Edo hingga babak belur. Ia menghela napasnya, kemudian ia angkat tangannya, bersiap melayangkan sebuah pukulan pada Edo.

Buk!

Sebuah pukulan keras pun dilayangkan oleh Acel, tetapi bukan wajah Edo yang menjadi pendaratannya, melainkan samsak yang berada tepat di samping lelaki itu. Edo lantas terheran saat Acel mengurungkan niatnya untuk memukul wajahnya.

“Kenapa lo gak mukul wajah gue?”

“Gue bukan pecundang yang main curang dengan mukul lawan yang udah nyerah duluan. Dan gue juga udah janji sama seseorang buat gak berantem lagi sama lo.”

Acel lantas melepas sarung tinjunya dan memberikannya kembali pada Edo. Ia juga melepaskan lilitan hand wrap di tangannya dan bergegas turun ke luar ring. Ia pun meraih kembali ranselnya.

“Gue gak bakal berterima kasih sama lo karena emang itu yang seharusnya lo lakuin. Tapi, gue cuma mau bilang, semua usaha lo itu udah cukup buat nebus kesalahan lo ke gue, jadi mending mulai sekarang, lo fokus ke hidup lo buat jadi orang yang lebih baik lagi, Do.”

Dengan menyampirkan ranselnya di pundak, Acel berlalu pergi meninggalkan Edo yang masih terdiam di atas ring itu. Tanpa Acel ketahui, Edo pun tersenyum tipis dan menitikkan air matanya. “Thanks, Marcel. Gue bakal jadi orang yang lebih baik kayak lo, Cel,” ujarnya lirih sembari menatap punggung Acel yang semakin menjauh.

Clara tersenyum setelah membaca pesan dari Acel. Perempuan itu bergegas ke luar dari mobilnya. Ia sempat memandangi sekelilingnya, melihat suasana SMA Gemantara yang sudah mulai sepi dan tak banyak siswa-siswi yang berlalu lalang karena jam sekolah yang telah usai.

Sesuai dengan permintaan Acel, perempuan itu masuk melalui pintu samping yang ada di sisi kanan gedung sekolah. Clara tak menaruh curiga sedikit pun saat itu. Langkahnya pun akhirnya tiba tepat di depan pintu masuk samping.

Byur!

Clara terkesiap saat guyuran air tiba-tiba menyirami tubuhnya. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Ia mengusap wajahnya lalu mendongak dan menemui dua lelaki yang tengah menatapnya dari balkon sekolah.

“Heh! Kurang ajar ya lo berdua! Gak punya sopan santun?” bentak Clara yang sudah naik pitam.

Rangga dan Awan pun saling bertatapan sekilas, mereka nampak menahan tawanya.

“Maaf, Mbak. Kirain gak ada orang tadi, ya udah gue buang aja ini air bekas ngepel-nya di sini.”

“Air bekas ngepel lo bilang?”

Rangga mengangguk dengan wajahnya yang sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah. Awan pun membalas, “Lagian Mbak-nya juga sih, ngapain lewat pintu samping coba, kan kita mana tau ya, Ngga.”

“Hooh bener.”

“Gapapa deh Mbak, lumayan kan mandi gratis, membersihkan diri dari segala dosa, ya ... meskipun pake air bekas ngepel sih.”

“Iya Mbak, ntar di rumah mandi lagi aja. Siapa tau bisa bersih badannya, terutama hati sama pikirannya. Dah yok Wan balik kelas aja!”

“Heh anjing bocah balik lo berdua! Heh!”

Emosi Clara sudah hampir mencapai puncaknya. Perempuan itu pun mencoba mendengus bau bajunya. Bukan aroma wangi dari cairan pembersih lantai yang ditangkap oleh indera penciumannya, tetapi malah bau tak sedap yang begitu menyengat. “Argh! Brengsek tuh bocah!”

Perempuan itu akhirnya memilih untuk kembali ke mobilnya. Ia tak mungkin terus masuk ke dalam gedung dan menemui Acel dengan kondisinya yang sudah basah kuyup dan penuh bau tak sedap, tentu ia akan menjadi pusat perhatian dari beberapa guru dan siswa yang masih ada di dalam gedung sekolah.

Sesampainya di parkiran, Clara mendelik saat mobilnya ditempeli oleh selebaran yang bertuliskan “CLARA AGHISTA PEMBOHONG!”. Seluruh selebaran itu nampaknya ditulis tangan oleh orang-orang yang berbeda.

“Sialan! Siapa yang berani ngelakuin ini ke mobil gue?” Dengan tubuhnya yang masih kotor dan basah kuyup, Clara pun berusaha melepas seluruh kertas itu dari mobilnya. Di tengah-tengah dirinya yang sibuk melepaskan selebaran itu, sebuah bola basket tiba-tiba mendarat tepat di kepalanya dan membuatnya meringis kesakitan.

Buk!

“Aw!” Clara menjerit kesakitan, lalu mengalihkan pandangannya pada lapangan basket yang letaknya memang dekat dengan parkiran mobil. “Argh! Ini siapa lagi main basket gak tau aturan?” geramnya.

Dua lelaki berseragam SMA tiba-tiba berlari menghampirinya. Agam pun menoleh pada Dhafin. “Lo gimana sih, Fin? Gak liat apa ada orang di sini? Main lempar aja.”

“Oh ... ada orang ternyata. Gak keliatan sih, gue kira tadi setan, ada suaranya tapi gak ada wujudnya.”

“Mirip kali ya dia.”

“Lo berdua bukannya minta maaf malah ngeledek gue hah? Beneran anak sini gak punya sopan santun!”

“Dih? Cuma kena bola basket doang padahal, belum juga ngerasain sakitnya dipukulin sama orang suruhan, 'kan?”

Dhafin dan Agam tertawa dan saling menyenggol satu sama lain. “Gak boleh gitu, Gam. Kita kudu minta maaf nih ... ya udah Mbak, lo mau apa? Diobatin? Bentar ya gue panggilin anak PMR.”

Clara hanya terdiam dan menahan amarahnya. Ia bingung saat melihat Dhafin dan Agam yang tiba-tiba memanggil gadis bernama Zara—yang kebetulan saat itu lewat di dekat parkiran. Gadis itu lantas menghampiri mereka bertiga. “Zar, UKS masih buka gak?”

“UKS? Udah tutup lah kan udah jam pulang, kenapa? Siapa yang sakit?”

Agam dan Dhafin kompak menunjuk Clara. “Abis kena bola basket di kepalanya.”

“Oh iya? Hm, gue mau aja sih bantu ngobatin, tapi ... kalo sama dia gue takut. Takut ntar kalo gue tolongin malah jadi terobsesi sama gue, kan serem.”

Mendengar perkataan Zara, Clara akhirnya mulai sadar dengan segala skenario yang ia alami sejak awal kedatangannya di Gemantara tadi. “Lo semua sengaja, 'kan? Maksud lo semua apa sih gini? Gue gak kenal dan gak ada urusan sama kalian!”

“Gak ada urusan sama kita? Setelah lo nge-post segala hoaks di akun anonim itu, lo masih bilang lo gak ada urusan sama kita semua?”

Sebuah suara dari seorang gadis yang tidak lain adalah Oliv, tiba-tiba muncul dari balik gazebo yang terletak dekat dengan lapangan basket. Clara menoleh dan mendapati dua orang gadis dan tiga lelaki yang perlahan menghampirinya.

“Gimana, Clar? Rasanya dipermaluin dan disakitin, tapi gak ada yang mau nolongin lo?” sindir Jenan.

“Lo semua siapa sih? Dari mana lo tau nama gue?”

“Gak penting kita siapa, tapi jelas lah kita tau nama lo. Gak mungkin kita gak tau orang yang udah nyelakain temen kita.”

“Kalian ... temennya Marcel? Kok kalian masih belain dia ....”

“Lo belum tau update terkini soal postingan lo itu ya?” Kali ini Oliv yang menyindir perempuan yang berada tepat di hadapannya itu.

“Postingan?” Clara segera mengecek ponselnya dan membuka laman Facebook. Ia begitu terkejut saat lama postingan akun anonimnya kini malah dipenuhi oleh komentar yang menghujatnya dan membela Acel. “Hah? Kalian kenapa sih masih percaya sama Marcel? Setelah bukti-bukti yang gue posting di situ. Kalian tuh dibohongin sama Marcel!”

Seluruh teman-teman Acel yang sedari tadi mengelilingi Clara lantas berdecak dan tersenyum remeh melihat perempuan itu yang masih terus menjalankan dramanya. Gita pun segera menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan beberapa berkas bukti kebohongan Clara. “Drama lo udah basi.”

Clara mendelik saat melihat layar ponsel Gita. Ia pun berdecak kesal dan bergumam, “Bentar? Ini semua ada screenshot chat gue sama Edo. Sialan! Jadi dia selama ini pengkhianat!”

“Miris ya, partner lo aja ternyata ngekhianatin lo dan malah belain Acel.”

Jenan tersenyum miring sembari menatap Clara yang sorot matanya penuh dengan amarah. Seluruh siswa-siswi di sekitarnya pun ikut menertawakan perempuan yang penampilannya sudah sangat kacau itu. Clara memandangi satu persatu orang-orang yang menertawakannya itu, hingga akhirnya ia memfokuskan pandangannya pada satu gadis yang ada di depannya. Nalurinya seolah meyakini bahwa gadis itu adalah gadis yang membuat Marcel menolaknya.

“Lo.” Clara menunjuk Oliv dan membuat Oliv balik menatapnya. “Lo cewek itu, 'kan? Cewek yang udah bikin Marcel nolak gue? Brengsek lo!” Clara mendekati Oliv dan berniat untuk menamparnya, tetapi seorang lelaki tiba-tiba sigap berdiri di depan Oliv dan menahan tangan Clara.

“Marcel?”

“Udah cukup lo nyakitin dan ngancurin gue kemaren, gak usah nyentuh orang lain, apalagi dia!”

Acel menepis kasar tangan Clara dan membuat perempuan itu terdiam. Melihat Acel yang memasang badannya di depan gadis lain, hati Clara pun kian memanas. Amarahnya kini berubah menjadi rasa sakit yang begitu mendalam, membuat perempuan itu akhirnya melemah dan tak lagi melakukan perlawanan.

“Jadi ... bener dia? Dia itu cewek yang lo banggain itu?”

“Iya, kenapa? Lo masih belum mau sadar juga?”

Pertahanan Clara nampaknya memang hanya bisa diruntuhkan oleh seorang Marcel. Detik itu, ia akhirnya tersadar bahwa memang bukan dirinya lah yang diinginkan lelaki itu. Cukup baginya untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Marcel begitu melindungi gadis yang ada di belakangnya itu. Clara terdiam sejenak, ia menahan tangisnya.

“Kenapa sih Cel ... kenapa lo gak pernah bisa ngehargain usaha gue?”

“Ngehargain usaha lo? Usaha apa? Lo aja gak pernah ngehargain gue, Clar. Lo bales niat baik gue dengan bikin gue celaka dan nyebar berita bohong itu. Kalo lo pengen dihargain orang, lo harusnya berlaku sama ke mereka!”

Jenan pun ikut bersuara, “Bener apa kata Acel. Inget Clar, apa yang lo tanam, itu juga yang bakal lo tuai. Hukum karma itu ada. Semua perbuatan jahat pasti bakal ada balesannya.”

“Apa yang kita lakuin ke lo tadi, itu belum apa-apa.” Rangga pun maju dan memberikan gestur dengan ibu jari dan telunjuknya. “Cuma segini mungkin? Masih segini kecilnya balesan buat kejahatan lo.”

Acel tersenyum tipis saat melihat teman-temannya yang maju untuk memberikan pembalasan pada Clara. Lelaki itu kembali mengalihkan pandangannya pada perempuan yang ada di hadapannya itu. “Lo liat kan sekarang? Apa gue kehilangan segalanya setelah segala rencana jahat yang lo lakuin ke gue? Nggak, 'kan?” Acel mengambil jeda sejenak di tengah perkataannya. “Kalo emang gak ada orang yang baik di hidup lo, ya lo coba jadi salah satunya. Jangan malah ikut jadi jahat kayak mereka.”

Mendengar perkataan Acel, teman-temannya yang lain pun mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. Namun, Clara masih terdiam. Ia memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain, tak berani menatap siapa pun yang ada di hadapannya.

“Mending lo tobat deh Clar! Atau nunggu mau pake baju oren dulu?”

Clara sontak menoleh dan mengernyit mendengar ucapan Gita. “Hah? M-maksud lo?”

Tanpa menunggu jawaban dari Gita, Awan justru menyahut, “Ya lo kan udah nyebar hoaks tentang sekolah ini, enak aja mau dilepasin gitu aja. Urusannya sama pihak berwajib lah!”

“Gue denger-denger, tadi kata Bu Indie, polisi udah otw ke sini sih.”

“Shit!”

Clara pergi menuju ke mobilnya dengan tergesa-gesa. Melihat itu, Gita berteriak, “Heh mau ke mana lo?” Namun, Clara tak menggubris teriakan gadis itu. Ia segera mengambil kemudi dan menancap gas dari parkiran SMA Gemantara, meninggalkan Acel dengan teman-temannya tanpa memedulikan beberapa selebaran kertas yang masih menempel di mobilnya.

“Lah? Dia kabur dong!”

“Udah biarin aja. Ntar kalo beneran dituntut sama pihak sekolah, pasti dia bakal jadi buronan.”

“Ntar kalo polisinya nyampe sini tapi Clara udah pergi gimana anjir?”

Sebuah toyoran kecil lantas mendarat di kepala Gita. “Lo ngapa percaya aja sih anjir, Rangga ngibul lah! Bego banget sih!” tukas Awan.

Gita melirik tajam ke Awan dan balas memberi cubitan-cubitan kecil di badan lelaki itu. Awan pun berusaha menghindar dan mereka berdua berakhir saling kejar mengejar hingga masuk ke dalam gedung sekolah. Di sisi lain, teman-temannya hanya tertawa melihat tingkah kedua remaja itu.

Acel kembali memandang teman-temannya yang masih tersisa di parkiran. “Makasih ya semuanya, sorry udah bikin kalian kerepotan bales Clara.”

“Santai aja, Cel. Biar dia kapok juga.”

“Yoi, kalo Clara muncul lagi, bilang aja ke kita. Kita kerjain lagi ntar.”

“Semuanya juga berkat idenya Jenan sama Awan kok yang udah nyusun skenario begini.”

“Je, thanks ya!” Acel pun bergerak mendekat pada Jenan dan melakukan fist bump.

“Kayak sama siapa aja lo, Cel. Oh iya Zar, Gam, Fin, makasih juga ya udah mau bantuin tadi!”

“Sama-sama, Je!”

Agam, Dhafin, dan Zara akhirnya berpamitan untuk kembali ke kelas. Kini hanya tersisa Jenan, Rangga, Acel, dan Oliv. Jenan pun segera merangkul bahu Rangga dan membuat lelaki itu kebingungan karena sikapnya. “Dah ayo balik duluan, Ngga! Ada yang mau berduaan dulu pasti.”

“Hah? O-oh iya iya. Duluan ya Cel, Liv!”

“Eh eh!” Oliv pun kebingungan dan seketika terdiam saat Jenan dan Rangga meninggalkannya berdua bersama Acel.

Tatapan keduanya tiba-tiba tak sengaja bertemu. Namun, mereka justru tertawa secara bersamaan.

“Makasih ya ....”

“Iya, santai aja.”

“Hm ... btw udah kelar beneran nih urusannya. Jadi?”

Mengetahui maksud Acel, Oliv pun lantas berlalu pergi meninggalkan lelaki itu. Acel mengernyit dan terheran. “Lah anjir kok malah ditinggalin? Liv! Gimana?”

“Apaan dah? Udah ayo balik ke kelas!” ujar Oliv sembari menahan senyumnya. Acel pun segera menyusul gadis itu dan membuat mereka berjalan berdampingan menuju ke kelasnya. Ya memang, saat itu, dunia seakan menjadi hak milik berdua bagi keduanya.

Acel duduk di salah satu bangku taman. Ia merapatkan jari jemarinya sembari mengamati sekitarnya. Berulang kali ia menghela napasnya, pertanda rasa gugup tengah menyelimuti lelaki itu. Hatinya tak siap untuk mengatakan segala hal yang akan sangat berkebalikan dengan keinginannya, tetapi logikanya seolah mengharuskan dirinya untuk melakukannya.

Seorang gadis perlahan menghampiri bangku itu. Acel pun menoleh, membuat tatapan mereka bertemu. Oliv mematung sejenak, beberapa hari tak mendengar kabar Acel dan kini ia akhirnya berhadapan kembali dengan lelaki itu. Gadis itu pun mengambil tempat kosong di sebelah Acel.

Oliv terus menelisik segala sisi wajah Acel dengan tatapannya. Ia merasa lega saat melihat luka dan lebam Acel yang terlihat semakin membaik. Acel sadar bahwa Oliv sejak tadi memerhatikannya, tetapi ia masih tak sanggup menatap gadis itu dan memilih untuk tetap membisu di tempatnya.

“Udah mendingan ya ternyata, gue lega liatnya.”

Hanya sebuah anggukan yang Oliv terima sebagai respon. Ia pun kembali bersuara, “Lo kenapa sih akhir-akhir ini ngilang? Anak-anak kelas pada bingung dan khawatir sama lo.”

“Gue cuma butuh waktu buat sendiri.”

“Kalo lo butuh waktu buat sendiri, terus lo ngapain ngajak gue ketemu gini?”

“Ada sesuatu yang harus gue omongin sama lo. Gue udah gak mau mendem semuanya lagi.”

Jantung Oliv tiba-tiba berdebar lebih kencang. Pikirannya lantas tertuju pada pesan Acel yang mengatakan bahwa ia ingin memperjelas hubungan antara mereka berdua.

“Ngomong aja, Cel.”

Acel menggigit bibir bawahnya. Jantungnya berdesir kencang. Perlahan, ia mengumpulkan nyalinya untuk beralih menatap gadis yang ada di sampingnya itu. Hatinya semakin tak tega saat melihat Oliv yang terlihat nampak santai menunggu segala perkataannya. Acel pun sesekali mengalihkan pandangannya agar hatinya tak lagi goyah.

“Gue mau lo berhenti suka sama gue.”

Hati Oliv jatuh sejatuh-jatuhnya saat itu. Perkataan Acel dengan nadanya yang begitu dingin layaknya sebuah bongkahan es tajam yang menusuk dirinya.

“Cel, lo gak lagi bercanda, 'kan?”

“Gue serius.”

“Ta-tapi kenapa tiba-tiba gini?”

Acel memalingkan wajahnya. Ia menghela napasnya singkat. “Sebenernya semua ini gak tiba-tiba kok, udah sejak lama gue pengen ngomong gini sama lo, cuma gue kasihan aja. Takut lo sakit hati.”

Oliv pun tersenyum remeh, tak percaya dengan perkataan lelaki yang ada di hadapannya. “Kasihan?”

“Iya, kenapa?”

“Berapa kali sih gue bilang ke lo? Berapa kali gue ngasih tau lo buat jangan pernah ngasihanin gue cuma gegara gue suka sama lo? Tapi lo masih aja ngelakuin itu?”

“Udah gue bilang, gue gak mau bikin lo sakit hati.”

“But now you did.”

Tatapan penuh kekecewaan terpancar dari raut wajah Oliv. Gadis itu berusaha menahan kuat tangisnya. Ia masih tak menyangka apakah benar di hadapannya itu adalah seorang Acel, sosok lelaki yang selama ini telah membuat hatinya luluh berulang kali, tetapi kini malah tiba-tiba berubah 180 derajat.

“Gue tau lo pasti sakit banget dengerin pernyataan gue ini, tapi bukannya begini lebih baik? Ini kan yang lo mau? Gue tegas sama lo buat nyuruh lo berhenti suka sama gue.”

“Kenapa gak dari dulu aja lo bilang gini? Kenapa lo malah nyuruh gue buat lanjut nge-crush-in lo hah?”

“Ya karena gue pikir gue bisa bales perasaan lo, tapi ternyata? Gue tetep gak bisa.”

“Jadi yang waktu itu lo bilang di chat itu semuanya bohong?”

“Iya.”

“Bener ya, harusnya sejak awal gue gak percaya sama lo.”

“Gak ada yang nyuruh lo buat percaya sama gue. Lo aja yang bodoh dan terlalu baper.”

Kalimat Acel lagi-lagi menghujam hati Oliv layaknya sebuah pedang. Lidah gadis itu pun terasa kelu, tak ada kata yang sanggup ia ucapkan. Di dalam lubuk hatinya, Oliv hanya berharap bahwa Acel tiba-tiba tersenyum dan mengatakan bahwa ia hanya bercanda, tetapi ia hanya menemui raut wajah lelaki itu yang begitu dingin dan serius dengan kata-katanya.

Dengan menahan sesak di dadanya, gadis itu pun berusaha keras untuk kembali bersuara, “Iya bener. Gue yang salah. Gue bodoh udah percaya dan malah berharap sama cowok kayak lo.”

“Jadi? Semua yang lo sebut tentang kita itu, udah jelas semua kan sekarang?”

“Jelas kok. Jelas. Sejelas-jelasnya.”

“Mulai sekarang, anggep aja kita gak pernah sedeket itu. Mending lo fokus sama urusan lo dan kelas 12 lo daripada ngabisin waktu berharap sama gue. Percuma.”

Oliv hanya menatap Acel dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. Setetes air mata pun jatuh dari pelupuk mata gadis itu, membuat hati Acel semakin sakit. Lelaki itu berusaha keras menahan segala rasa perih di dadanya. Detik itu pula, Acel seolah ingin memukul dirinya sendiri karena telah menyakiti Oliv dengan segala perkataannya. Ia berharap gadis yang ada di hadapannya itu akan menamparnya sekencang mungkin untuk melampiaskan segala amarah dan sakit hatinya.

“Kenapa lo diem aja? Sakit hati? Mau nampar gue? Tampar aja ayo!”

Tangan Oliv pun perlahan terangkat, bersiap untuk melayangkan sebuah tamparan pada pipi Acel. Belum sampai telapak tangan itu mengenai pipi Acel yang masih cukup lebam, Oliv segera mengurungkan niatnya dan mengepalkan tangannya. Ia menurunkan tangannya perlahan.

“Gue benci karena gue gak sanggup buat nampar lo. Gue benci karena saat ini pun perasaan gue ke lo lebih besar daripada rasa sakit hati gue.”

Oliv menunduk. Bahunya naik turun, isak tangisnya pecah. Menatap Oliv yang ada di hadapannya, hati Acel pun semakin teriris. Ia sangat ingin merangkul dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya, tetapi ia tak mungkin melakukan itu. Lelaki itu memilih untuk memalingkan wajahnya.

Sekitar satu menit, Oliv pun akhirnya kembali mengangkat kepalanya. Ia mendongak dan kembali menatap Acel yang masih nampak acuh tak acuh dengannya.

“Gue boleh minta satu hal sama lo?”

Acel pun kembali memusatkan pandangannya pada gadis itu. “Apa?”

“Jangan lakuin ini ke cewek lain. Udah cukup gue aja yang lo giniin. Jangan pernah lagi permainin perasaan orang yang tulus sama lo, karena belum tentu orang lain bakal seberuntung lo.”

Oliv beranjak dan pergi meninggalkan Acel yang masih terdiam mematung di tempatnya. Pikiran lelaki itu seolah tengah mencerna kalimat terakhir yang Oliv ucapkan padanya. Luka di wajah Acel nampaknya kini tak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa perih di hatinya saat mendengar permintaan Oliv.

Acel terus menatap punggung Oliv yang semakin menjauh meninggalkannya. Hati kecilnya berharap bahwa Oliv akan berbalik dan kembali padanya, tetapi ia sadar bahwa dirinya sudah tak pantas menerima perasaan Oliv yang begitu tulus padanya setelah segala hal yang ia ucapkan malam itu. Acel mungkin tak akan bisa memaafkan dirinya karena telah menyakiti hati gadis yang ia sayang. Rasa bersalah pada dirinya kini begitu besar, tetapi logikanya selalu meyakinkan dirinya bahwa mungkin inilah yang terbaik bagi keduanya.

Gerbang tua berwarna biru muda terbuka dengan menampakkan Oliv yang muncul di baliknya. Gadis itu segera menghampiri Acel yang masih setia duduk di atas motornya. Benar kata Gita, Acel bahkan tak membuka sedikit pun kaca helmnya.

“Mau masuk gak?” tawar Oliv basa-basi.

“Gak usah, gue langsung balik aja abis ini. Udah kan ini ketemu gue? Gue beneran gapapa.”

Acel melepas tangannya dari setang motornya. Ia menegakkan tubuhnya, seolah tengah meyakinkan Oliv bahwa dirinya baik-baik saja. Oliv terus memandangi lelaki yang ada di hadapannya itu.

“Oke, tapi itu helm kenapa masih dipake aja? Dilepas dulu coba.”

Lelaki itu meneguk ludahnya saat Oliv memintanya untuk membuka helmnya. Dalam hati, Acel benar-benar panik setengah mati.

“Kenapa sih? Lo kangen liat muka gue?” goda Acel untuk mengalihkan topik.

“Gue serius, Cel. Coba buka helm lo.”

“Udah malem, Liv. Gue balik dulu ya?”

“Cel.”

Intonasi Oliv terdengar begitu mengintimidasi. Gadis itu menatap Acel, tak ada sedikit pun senyuman ceria atau sikap salah tingkah yang biasa Oliv tunjukkan saat bersama Acel. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres pada lelaki itu.

Acel menghela napasnya berat. Ia pasrah. Perlahan, ia membuka helmnya dengan Oliv yang masih terus menatapnya. Saat helmnya telah ia lepas, Acel menunduk. Ia pun memalingkan wajahnya ke arah lain, tak ingin Oliv melihat kondisi wajahnya saat itu.

“Udah gue lepas, udah ya berarti.”

“Liat gue sini, Cel.”

Lelaki itu terdiam. Ia tak sanggup harus menoleh dan menampakkan wajahnya pada gadis yang kini ada di sampingnya itu. Oliv pun mendekat, tangannya meraih dagu Acel, sempat dilihatnya sebuah luka yang nampak masih basah di sudut kanan bibir lelaki itu. Perlahan, Oliv mengarahkan wajah Acel agar balik menghadapnya. Hati Oliv mencelos saat melihat kondisi wajah Acel saat itu. Terdapat lebam di tulang pipi lelaki itu, mata kirinya yang nampak mulai bengkak, dan darah di sudut bibirnya. Oliv bahkan sempat memejamkan matanya, tak sanggup melihat wajah Acel yang penuh dengan luka.

“Cel, i-ini semua ... kenapa?” tanya Oliv dengan suaranya yang bergetar. Jari jemari gadis itu menelusuri wajah lelaki itu.

Acel meringis saat jari Oliv tanpa sengaja menyentuh lebam di tulang pipinya.

“Eh, sorry!

“Gapapa.”

“Kok bisa sampe gini sih, Cel? Kayak gini mau lo sembunyiin dari gue?”

Acel membisu. Ia bingung bagaimana ia harus menceritakan segalanya pada Oliv, tetapi ia juga tak ingin gadis itu semakin khawatir padanya.

“Kenapa anjir ayo jujur sama gue! Jangan bilang gapapa!”

“Tadi ada salah paham dikit sama orang di Fournight, terus gue dipukul, ya gini hasilnya.”

“Enteng banget lo kalo ngomong. Lagian ngapain tadi lo ke Fournight? Bukannya lo harusnya ke rumah Gita?”

“Agak panjang itu ceritanya.”

“Ya udah, ayo duduk di dalem dulu, gue obatin dulu itu lukanya.”

Oliv pun menarik lengan Acel, tetapi lelaki itu malah menahannya. “Gak usah, udah malem juga, gue obatin di rumah aja,” ujar Acel.

Sebenarnya, Acel menolak tawaran Oliv karena tak ingin gadis itu dimarahi oleh kakaknya. Acel ingat bahwa Oliv tak boleh menjalin hubungan saat ini. Ia takut jika ia datang ke rumahnya pada saat seperti ini, Oliv nantinya akan dicurigai oleh kakaknya.

“Mending gue aja yang ngobatin, gue kan yang lebih paham, Cel.

Lelaki itu tersenyum sekilas. “Iya si paling PMR.”

“Stop dulu bercandanya. Kalo lo gak mau ke dalem, ya udah lo tunggu di sini, gue ambilin kotak P3K dulu.”

“Liv gak—”

“Gak usah nolak. Tunggu sini!”

Bahu Acel pun turun, ia mau tak mau harus menurut pada gadis itu. Saat Oliv kembali dengan membawa kotak P3K, mereka pun duduk di trotoar, dekat dengan motor Acel. Gadis itu mulai mengobati luka-luka Acel, membuat lelaki itu tanpa sadar mengukir senyumannya saat menatap wajah Oliv yang begitu dekat dengannya. Oliv nampak telaten mengobati tiap bagian wajahnya yang terluka.

Sembari menunggu lukanya selesai diobati, Acel akhirnya menceritakan segala peristiwa yang ia alami karena Oliv terus meminta penjelasan darinya. Gadis itu pun menyimak sembari mengurus luka di sudut bibir Acel, membuat cerita lelaki itu sempat terhenti karena bibirnya yang tengah diobati.

“Lah? Dia yang salah kok malah dia yang mukulin lo sih?”

“Gue juga gak tau.”

“Terus kenapa lo gak ngelawan?”

“Gue gak mau ngulang kejadian yang dulu. Gue ngelawan, akhirnya malah jadi boomerang buat gue sendiri.”

“Hm iya sih, tapi ... apa lo gak curiga? Berarti kan ada orang yang sengaja jebak lo buat dateng ke sana dengan gunain Yohan dan Alan, terus lo tiba-tiba dipukulin sama stranger begitu.”

“Iya juga. Dari pukulan dia tadi kayaknya dia sadar, gak kayak orang mabuk.”

“Lo ada musuh di luar sana?”

Acel pun terdiam. Ia nampak berpikir sejenak, pikirannya lantas menuju ke satu orang yang selama ini memang telah mengancamnya. Siapa lagi jika bukan Clara, tetapi Acel tak ingin Oliv mengetahui tentang perempuan itu. Ia takut jika Oliv akan terkena imbasnya jika terlalu terlibat dengan urusannya dan Clara.

“Kayaknya gak ada.”

“Hm terus kok bisa ya? Tapi lo coba chat bartender itu lagi dah Cel, sejak awal kan dia yang bikin lo dateng ke sana.”

“Iya, ntar sekalian gue chat Yohan sama Alan juga.”

Helaan napas pun terdengar dari gadis yang kini masih terus fokus untuk mengobati luka di wajah Acel. Lelaki itu terdiam dan menatap Oliv lekat. Perkataannya pada Clara tentang dirinya yang lebih memilih untuk kehilangan segalanya tiba-tiba mengusik benak lelaki itu.

“Kalo gue udah milih buat kehilangan segalanya, apa gue bakalan kehilangan lo juga ya, Liv?”

Merasa ada yang memerhatikannya sejak tadi, Oliv pun balik menatap Acel. “Kenapa lo ngeliatin gue gitu?”

“Gapapa, gue cuma kepikiran sesuatu aja.”

“Apa?”

“Kira-kira, kalo anak kelas pada tau kondisi gue begini, mereka bakal benci gue gak ya?”

Tangan Oliv berhenti tepat di tulang pipi lelaki itu. Ia lupa fakta bahwa teman-temannya belum mengetahui bagaimana Acel di luar sekolah. Butuh waktu bagi mereka untuk menerima sisi lain dari seorang Acel.

“Lo liat gue, apa gue benci sama lo setelah tau semuanya?”

Acel menggeleng perlahan.

“Ya mereka pasti kayak gue Cel, mereka cuma butuh waktu aja buat nerima semuanya, meskipun mungkin gak bakal secepet gue.”

“Gue gak siap kalo itu terjadi, tapi cepat atau lambat, mereka pasti bakal tau semuanya.”

“Kok lo ngomongnya gitu?”

Senyuman tipis terukir di bibir Acel—yang lukanya masih basah. Ia sadar, ia tak mungkin akan selalu bertahan dengan sisi baik dari dirinya sebagai Acel. Detik itu pula, Acel perlahan mencoba menurunkan harapannya dan bersiap dengan hatinya. Bersiap apabila suatu saat teman-temannya akan berbalik menaruh rasa benci padanya.

Jam pelajaran olahraga akhirnya selesai. Beberapa siswa XII-MIPA 1 lantas bergegas untuk berganti pakaiannya dengan seragam putih abu-abu. Derai keringat nampak membasahi sebagian besar kaos olahraga mereka.

Beberapa siswa yang telah berganti pakaian akhirnya kembali ke kelas. Mereka memanfaatkan sisa waktu istirahatnya untuk bersantai dan memakan camilan atau bekal yang dibawa.

Tak lama kemudian, segerombolan lelaki yang masih setia dengan kaos olahraganya memasuki kelas itu. Salah satu dari lelaki itu, yakni Edo, mulai berulah dengan menyuruh salah satu anak untuk minggir dari tempatnya. “Minggir! Minggir! Gue butuh kipas,” perintahnya sembari mendorong siswa lelaki yang tengah duduk di tempatnya yang memang berada tepat di bawah kipas angin, “Ger, arahin kipasnya ke gue doang!”

Edo memang terkenal dengan kenakalannya dan wataknya yang keras. Ia suka memerintah teman-temannya, terutama teman satu geng-nya, bahkan ia juga suka mem-bully beberapa teman-temannya di sekolah. Meskipun terkenal dengan keburukannya, tak ada satu pun murid di sekolah itu yang berani melawannya, mengingat dirinya adalah anak dari kepala sekolah. Jika ia berulah, hukuman yang paling berat ia terima hanya sebatas dipanggil ke ruang BK, meskipun sebenarnya ia pantas untuk menerima hukuman lebih dari itu. Kekuatan dari kewenangan ayahnya membuat Edo semakin semena-mena karena sang ayah yang juga selalu membelanya. Kepala sekolah itu memang manipulatif, tetapi tak ada yang berani bersuara demi menjaga posisinya.

“Waduh tontonannya make-up banget nih, Van!” goda Edo saat mengintip Vanya yang duduk di bangku depannya. Mendengar itu, gadis itu segera mematikan video yang ia tonton dan hanya berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

“Buat apa sih nonton begituan?”

Vanya masih terdiam. Ia tak ingin menjawab pertanyaan lelaki itu.

“Pengen cantik kali, Do,” sahut Gerry, salah satu anak buah Edo.

“Emang mempan ya?”

Sindiran Edo itu lantas membuat teman-teman geng-nya tertawa. Hal seperti ini nampaknya sudah biasa bagi anak-anak kelas itu. Tak ada yang berani menjawab mau pun membela yang siswa yang di-bully, bahkan korbannya pun hanya diam dan memilih untuk tak menanggapi apa pun. Di sisi lain, seorang lelaki yang sedari tadi memerhatikan Edo dan teman-temannya itu mulai nampak muak dengan omongan mereka. Acel, yang di kelas itu dikenal sebagai Marcel, terus mengamati seisi kelasnya. Sejak awal ia menempati kelas ini, ia memang sudah merasa tak nyaman. Selain karena ia tak lagi sekelas dengan Yohan dan Alan, alasan lainnya adalah karena ia harus satu kelas bersama para pembuat onar di sekolah.

Edo mulai berdiri dan berpindah untuk mendekati Vanya. Lelaki itu duduk di atas meja gadis itu. Vanya menunduk. Tangan gadis itu mulai meremas rok abu-abunya, pertanda bahwa ia sangat takut saat itu.

“Saran gue nih, Van, lo mending nonton make-up yang buat badut gitu sih, kan putih banget tuh mukanya. Cocok dah buat lo didempul gitu mukanya biar makin putih.”

Edo pun tertawa bersama teman-temannya. Acel terus memandangi teman sekelasnya yang lain, tak ada satu pun yang ikut tertawa bersama Edo dan kawan-kawannya. Namun, tak ada juga yang berani melawan mereka.

Salah satu teman geng-nya yang lain, Dion, lantas menyahut, “Eh, ntar mukanya Vanya jadi abu-abu, Do. Lo jangan gitu lah!”

“Oh iya, sorry ya, Van,” ucap Edo sembari berpura-pura merengutkan bibirnya, “sorry soalnya Dion kalo ngomong suka bener.”

Brak!

Seluruh pandangan siswa kelas XII-MIPA 1 sontak tertuju pada seorang lelaki yang baru saja menggebrak mejanya dengan keras itu, termasuk Edo dan kawan-kawannya. Acel sudah tak bisa menahan emosinya. Telinganya muak mendengar segala omongan dari geng Edo yang begitu merendahkan orang lain dan merundung gadis yang tak bersalah.

“Bisa stop gak?” tanya Acel dengan nadanya yang masih terdengar begitu tenang.

Edo melirik ke arah teman-temannya. Lelaki itu menyunggingkan bibirnya dan mulai mendekat ke arah Acel. “Marcel? Tumben lo jadi sensian gini, bawa santai aja lah, Bro! Ini cuma bercanda.” Edo pun menepuk-nepuk pundak Acel. Acel segera menyingkirkan tangan Edo dari pundaknya dan membuat lelaki itu mulai kehilangan kesabarannya.

“Bercanda?” Acel berdecak. Ia pun menunjuk Vanya, “Emang lo ngeliat Vanya ketawa? Lo ngeliat anak-anak selain geng lo di sini ketawa sama jokes lo?”

Edo pun mengamati seluruh teman kelasnya. Tak ada satu pun yang berani menatapnya saat tatapannya bertemu dengan lelaki itu.

“Gak ada, 'kan?” Acel pun memegang pundak Edo, “jokes soal fisik sama sekali gak lucu, dan itu bukan jokes lagi, tapi lo jatuhnya udah ngebully dan ngehina fisik orang.”

“Oh, menurut lo gitu? Oke.”

Edo lantas memandang seluruh teman di kelasnya. “Yang setuju sama pendapat Marcel kalo gue ngehina Vanya siapa? Coba angkat tangan dah!”

Seluruh siswa kelas XII-MIPA 1 membisu. Mereka saling bertatapan satu sama lain. Teman-teman Edo pun tersenyum sinis saat melihat tak ada satu pun siswa yang berani mengangkat tangannya, bahkan Vanya pun hanya terdiam dan menunduk.

“Loh? Beneran gak ada nih? Ayo angkat tangan aja kalo setuju sama Marcel!”

Acel menatap seluruh teman sekelasnya. “Oh, jadi lo semua lebih milih diemin hal yang salah?” Lelaki itu beralih menatap Vanya, “lo juga Van, kenapa lo diem aja? Lo terima di-bully sama mereka?”

“Gimana, Van? Menurut lo, gue sama temen-temen gue ngebully lo, kah?”

Vanya masih terdiam. Gadis itu terus menunduk dan meremas roknya dengan tangannya yang penuh dengan keringat.

“Woe! Kalo ditanya tuh dijawab! Budeg lo?” bentak Gerry pada Vanya.

“Ng-nggak. Edo gak keterlaluan kok, dia gak ngebully gue,” jawab Vanya dengan suaranya yang bergetar.

Sebuah senyuman kemenangan pun terlukis di bibir Edo. Ia menatap Acel sembari mengangkat alisnya. “See? Lo denger sendiri 'kan jawabannya?”

Acel membuang mukanya. Ia tak percaya bahwa gadis yang ia bela itu malah membenarkan tindakan salah yang sudah jelas merendahkan dan merundungnya.

“Oke. Keren ya kelas ini. Kompak banget, sama-sama benerin tindakan yang salah, dan nyalahin tindakan yang bener. Hebat ya,” sarkas Acel sembari bertepuk tangan.

“Marcel ... Marcel,” Edo tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, “makanya jadi orang jangan sok pahlawan. Liat ... gak ada 'kan yang ada di pihak lo? Gak usah malu-maluin diri lo sendiri.”

“Malu? Bukannya lo yang harusnya malu?”

Acel mendekat ke arah Edo. “Lo harusnya malu, anak kepala sekolah tapi sukanya ngebully dan buat onar di sekolah. Gue jadi heran dah, apa sih yang bisa dibanggain dari lo, Do?”

Edo lantas mendorong Acel kasar ke lemari yang terletak di belakang kelas. “Banyak omong lo, Bangsat! Berani lo sama gue?” bentaknya.

Acel menyunggingkan bibirnya sebelah. “Ngapain gue harus takut sama orang yang beraninya sembunyi di balik kekuasaan bokapnya?”

Edo akhirnya naik pitam. Ia mencengkeram kerah seragam putih Acel.

Buk!

Sebuah toyoran keras akhirnya mendarat di wajah Acel hingga membuatnya jatuh terjerembab ke samping. Acel memegang sudut bibirnya. Darah segar keluar dari sudut bibir lelaki itu. Ia mendongak, menatap Edo yang masih berdiri di hadapannya dan menatapnya tajam.

“Kenapa? Sakit?” tanya Edo sembari tersenyum. Edo lantas kembali mengangkat dan mencengkeram kerah Acel. Ia hendak memberi pukulan lagi pada Acel, tetapi Acel justru langsung menyerangnya balik dan menoyor Edo hingga lelaki itu terjatuh membentur tembok yang ada di belakangnya. Seluruh anak kelas XII-MIPA 1 lantas mendelik dan terkejut saat melihat Acel yang berani membalas pukulan Edo. Tak ada yang berani melerai kedua lelaki itu. Beberapa siswa akhirnya mulai saling melempar perintah untuk memanggilkan guru.

“Gimana sekarang? Sakit?” Napas Acel terdengar begitu terengah-engah dan membuatnya memberi jeda sejenak pada perkataannya, “itu masih gak seberapa. Lebih sakit lagi hati orang-orang yang udah lo hina dan bully selama ini. Brengsek kayak lo harusnya nerima lebih dari itu!”

Kini giliran Acel yang meraih kerah kaos olahraga Edo. Lelaki itu menarik dan mencengkeram kerah baju lawannya itu. Edo mencoba melayangkan pukulannya lagi pada Acel, tetapi Acel berhasil menahan pukulan itu. Acel kembali menoyor wajah Edo tepat pada tulang pipinya, meninggalkan bekas kemerahan yang pasti akan membiru dan membuat lebam di wajah lelaki itu karena kerasnya pukulan Acel.

Edo melirik sekilas ke arah jendela, ia melihat beberapa guru yang terlihat menuju ke kelasnya. Lelaki itu tersenyum miring. Ia kembali menatap Acel dengan tatapannya yang begitu tajam. Edo berdecak dan tersenyum remeh. “Cuma segitu doang tenaga lo?”

Mendengar nada Edo yang begitu menantangnya, Acel pun kembali mengangkat tangannya dan bersiap memberi pukulan lainnya pada wajah Edo. Namun, lawannya itu tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan bertingkah seolah dirinya tak berdaya.

“Marcel! Cukup!” teriak salah satu guru yang baru saja memasuki kelas.

Acel pun menoleh pada sumber suara yang memerintahkannya untuk berhenti itu. Pandangan Acel kemudian beralih pada tangannya yang masih mengepal dan terangkat—bersiap untuk kembali memukul Edo. Ia lantas menurunkan tangannya itu saat guru itu mendekat. Lelaki itu menunduk, menatap Edo yang tengah menyeringai padanya dan membuat Acel tersadar akan akal bulus rivalnya itu. Edo pun segera memegang perutnya dan bertingkah seolah-olah dirinya sangat kesakitan.

“Bajingan licik lo!” bisiknya tepat di hadapan Edo.

Beberapa anak buah Edo kemudian menghampiri lelaki yang menyandarkan dirinya di tembok itu. Mereka membopong Edo dan pergi melalui Acel yang masih terdiam di tempatnya dengan sudut bibirnya yang masih berdarah dan mulai membiru.

“Marcel, kamu ikut Ibu ke ruang BK sekarang!” perintah guru yang tadi menghentikannya itu. Seluruh teman sekelasnya hanya terdiam memandangnya. Acel menatap seluruh siswa-siswi yang ada di ruang kelas itu. Miris, tak ada satu pun yang membela, merangkul, atau bahkan bertanya tentang kondisi Acel yang terlihat begitu berantakan dengan wajahnya yang terluka. Dengan acuh tak acuh, Acel akhirnya berjalan ke luar kelasnya dengan segala amarah yang ia pendam dan kekecewaan yang begitu besar di hatinya.

“Gimana menurut lo? Enak gak?”

Acel menatap gadis yang ada di hadapannya sembari menyuap nasinya. Oliv pun mengangguk. “Iya, enak! Rekomen banget sih ini nasi bebeknya.”

Mereka akhirnya kembali fokus melahap makanannya. Tak begitu banyak percakapan di antara kedua muda-mudi itu. Acel dan Oliv menikmati nasi bebeknya sembari memandangi sekitarnya. Warung sederhana yang cukup ramai pembelinya serta suara kendaraan di jalanan tak menjadi masalah bagi siapa pun orang yang ingin menikmati nasi bebek Madura yang menjadi menu andalan di sana.

Seperti dugaan, lelaki memang biasanya cepat dalam menghabiskan makanannya, begitu pula dengan Acel. Lelaki itu akhirnya hanya menunggu Oliv hingga selesai menghabiskan makanannya.

“Eh? Punya lo udah abis. Bentar ya sorry gue lama makannya.”

“Santai aja. Gak usah keburu-buru. Keselek ntar.”

Jantung Oliv lantas berdebar lebih kencang. Ia tak bisa bohong bahwa berdua dengan Acel seperti saat ini membuatnya sangat nervous. Fokusnya sekarang teralihkan, ia tak lagi bisa menikmati makanannya karena mengingat Acel yang sedang menunggunya. Gadis itu berusaha kuat untuk menahan diri agar tidak salah tingkah.

“Lo sering ke sini, Cel?” tanya Oliv untuk memecah keheningan.

“Kadang-kadang. Gue jarang makan di luar kalo bukan gegara diajak temen-temen gue.”

Oliv mengangguk-anggukkan kepalanya. Gadis itu kembali menyuap satu persatu nasi bebek Madura-nya dengan bumbu hitam yang menjadi ciri khas kuliner itu.

“Lo kalo balik malem emang gak dicariin?”

Oliv terdiam. Dengan ragu, ia akhirnya menggelengkan kepalanya. “Kayaknya sih nggak. Lagian di rumah tuh bikin suntuk, stress, bosen ... ya gitu deh pokoknya.”

“Meskipun lo suka K-pop? Bisa bosen sama stress gitu di rumah?”

Tatapan Oliv yang sedari tadi fokus pada piringnya kini beralih pada Acel. Gadis itu awalnya memang ragu untuk melakukan kontak mata dengan Acel. Namun, pertanyaan Acel kali ini begitu menarik perhatiannya hingga ia tanpa sadar memberanikan diri untuk menatap mata lelaki itu.

“Lo pikir yang suka K-pop gak punya masalah?”

“Ya soalnya gue liat mereka keliatan seneng-seneng aja.”

“Kita gak tau dalemnya mereka gimana,” ucap Oliv yang kini mengalihkan pandangannya sembari mengaduk-aduk es tehnya, “kadang, K-pop cuma pelarian doang, Cel.”

“Pelarian? Maksudnya gimana?”

“Ya pelarian dari ngadepin masalah hidup, kayak K-pop tuh ngejaga kita biar tetep waras dan gak gila karena saking stress-nya sama real life. Bikin bahagia gitulah pokoknya.”

“Dan lo ... termasuk salah satu orang yang begitu, Liv?”

Oliv menatap Acel sekilas. Sejujurnya ia sangat gugup saat melihat lelaki yang berada persis di hadapannya itu, ditambah lagi Acel tampak terus menatapnya sedari tadi.

“Ya bisa dibilang begitu, tapi kadang ada fase di mana K-pop juga gak bisa membantu sama sekali sih.”

Oliv tersenyum getir. Gadis itu kembali melahap makanannya yang hanya menyisakan beberapa suap lagi. Tatapan Acel tak lepas dari Oliv, ia nampaknya mulai mengerti bahwa gadis itu memang sedang tidak baik-baik saja.

“Hmm,” Acel menghela napasnya perlahan, “tapi Jaehyuk itu, udah banyak kan ngebantu lo dalam ngadepin masalah-masalah sulit?”

“Huh? O-oh iya,” jawab Oliv gugup karena pertanyaan Acel yang begitu tiba-tiba.

“Contohnya pas kapan aja?”

“Ya lumayan banyak.”

“Ceritain aja beberapa.”

Oliv lantas menaruh sendoknya. Ia nampak mengingat-ingat beberapa momen dalam hidupnya saat ia sedang berada di titik terendahnya. Gadis itu mulai bercerita tentang momen-momen itu dan bagaimana idolanya memberinya semangat untuk terus bertahan kuat dalam menghadapi segala masalahnya. Raut antusias pun terpancar dari wajah Oliv setiap ia membicarakan tentang idolanya itu.

Tanpa sadar, bibir Acel mengembang membentuk sebuah senyuman tipis saat melihat Oliv begitu bahagia ketika ia menyenggol topik tentang idolanya. Lelaki itu terus mengangguk dan menyimak segala cerita Oliv. Strategi Acel ternyata berhasil. Ia memang sengaja memancing Oliv untuk membahas idolanya, dengan harapan bahwa gadis itu bisa meluapkan segala emosi dan perasaannya.

Di tengah dirinya yang sibuk menyimak cerita Oliv, ponsel Acel yang diletakkan di meja tiba-tiba bergetar. Acel segera mengambil ponselnya dan menyembunyikannya di bawah meja. Ia tak ingin hal itu menginterupsi Oliv yang tengah asyik bercerita. Acel sesekali menunduk untuk mengintip layar ponselnya. Beberapa notifikasi pesan dari papanya yang menyuruhnya untuk segera pulang mulai memenuhi lockscreen-nya. Acel pun menggigit bibir bawahnya, khawatir papanya akan memarahinya. Namun, ia akhirnya kembali menyimpan ponselnya. “Ntar gue cari alesan aja deh,” batin Acel dan ia kembali menyimak cerita Oliv.

“Eh, gue udah kebanyakan ceritanya. Sorry ya, Cel.”

“Gapapa. Gue jadi tau kalo ternyata ngidolain seseorang bisa sepengaruh itu buat kehidupan. Keren.”

Oliv mengangguk dan tersenyum. Mood gadis itu nampaknya mulai membaik. “Bener! Ya bisa jadi buat healing juga.”

“Hm iya sih.”

“Kalo lo gimana? Clubbing tuh termasuk healing juga buat lo?”

Acel lantas mengerjapkan matanya. Lelaki itu terdiam sejenak saat Oliv menanyakan tentang kebiasaannya yang tak diketahui oleh teman-teman sekolahnya.

“Kadang sih iya, termasuk healing juga.”

“Sisi healing-nya di mana? Bukannya club tuh berisik banget?”

“Iya emang,” Acel pun tertawa, “tapi ngeliat orang-orang di sana yang keliatan bebas ngelepas stress-nya, bikin gue jadi sadar, kalo gak cuma gue doang yang punya masalah di dunia ini.”

Jawaban Acel membuat Oliv terdiam untuk beberapa saat.

“Berarti gegara itu lo sering ke club?”

“Gak sesering itu juga, tapi kalo temen-temen gue mau ke sana ya gue usahain buat ikut.”

“Usahain? Emang lo gak bisa nolak ajakan mereka gitu?”

“Bukannya gak bisa, tapi gue khawatir aja kalo mereka terlalu mabuk.”

Oliv mengernyit. “Hah? Bentar, jadi lo suka ke club tuh sebenernya karena khawatir temen-temen lo itu mabuk berat?”

Acel mengangguk. Lelaki itu kembali meminum es kopinya dengan santai, sedangkan gadis yang ada di hadapannya hanya bisa terdiam dengan pikirannya yang masih mencerna fakta mengejutkan yang baru saja ia terima.

“Terus, lo cuma jagain mereka di club gitu? Emang ...” Oliv ragu untuk melanjutkan pertanyaannya, “lo gak mabuk juga?”

“Nggak. Gue seringnya pesen yang non-alkohol, kalo emang pengen banget ya gue minumnya gak sampe ngelebihin batas toleransi alkohol gue, soalnya mau gak mau, gue yang akhirnya harus nyetir kalo mereka mabuk bahkan sampe blackout.”

Blackout?

“Iya, kebanyakan minum sampe lupa abis ngapain aja pas mabuk.”

“Kenapa lo sampe segitunya sih ke temen lo? Lo gak kerepotan?”

Acel terdiam. Pertanyaan Oliv seolah membuatnya juga ikut berpikir mengapa ia begitu setia menjaga teman-temannya itu. “Nggak,” jawab Acel sembari menghela napasnya, “soalnya cuma mereka yang nerima buruknya gue di luar sekolah kayak gimana. Gue bisa ngerasa bebas kalo sama mereka.”

Tak ada kata yang bisa Oliv ucapkan saat mendengar jawaban Acel yang terdengar santai, tetapi nampak ada kesedihan di setiap katanya. Hati Oliv mencelos saat Acel berkata bahwa hanya kedua temannya itulah yang bisa menerima sisi buruk seorang Marcelino Ravanzza.

“Eum ... kalo boleh tau, nama temen-temen lo itu siapa aja?”

“Yohan sama Alan, kenapa?”

“Berarti, mulai sekarang, ada tiga orang yang bisa nerima sisi buruk lo, Cel.”

“Tiga orang?”

“Iya. Yohan, Alan, dan gue, Oliv.”

Acel kembali terdiam. Ia menatap Oliv yang tengah tersenyum sembari mengarahkan jari telunjuknya pada dirinya sendiri. Perlahan, lelaki itu mengerti maksud perkataan Oliv.

“Makasih ya, Liv,” ucap Acel tulus dengan senyumannya yang ikut mengembang saat menatap gadis yang ada di hadapannya itu. Oliv, sekali lagi, nampaknya telah berhasil membuat Acel kembali tersentuh dan kagum untuk kesekian kalinya.

Now, they are one step closer in knowing each other better than anyone else.

Rivo merapikan kemejanya yang sebenarnya sudah sangat rapi karena ia telah menyetrikanya hampir lima kali. Lelaki itu sibuk berkaca melalui kamera ponselnya. Sesekali pula ia memghela napasnya karena ia begitu gugup memikirkan dirinya yang akan bertemu Alra. Layaknya tengah mengalami dé jàvu, perasaannya ini sama persis seperti saat pertama kali ia meminta Alra untuk menjadi kekasihnya.

Sebuah tepukan kecil di pundak Rivo lantas membuatnya terkejut. “Udah dari tadi? Maaf ya tadi kelasku agak molor kelarnya,” ujar Alra.

“Gak kok. Udah duduk sini dulu.”

Rivo menepuk tempat kosong yang ada di sebelahnya. Alra pun menurutinya dan segera duduk di tempat itu. Hawa canggung mulai terasa di sekitar mereka. Rivo melirik ke arah Alra yang juga tengah terdiam sama sepertinya. Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk membuka percakapan.

“Apa kabar?”

Alra tertawa mendengar pertanyaan Rivo. “Kamu nanyanya kayak udah gak ketemu lama aja.”

“Kan emang udah lama. Kamu gak pernah keliatan lewat depan FISIP.”

“Aku sekarang seringnya lewat depan, soalnya takut kalo liat fakultas kamu malah keinget kamu mulu.”

Hati Rivo mendadak diselimuti oleh lautan bunga. Mendengar Alra yang menghindari fakultasnya hanya karena tak ingin terus terbayang dirinya, membuat Rivo sadar bahwa perasaannya dengan Alra masih sama.

“Kamu ngehindarin lewat FISIP, aku malah berani masuk FIB.”

“Hahaha iya, kamu ngapain sih ke fakultasku kemarin?”

“Kangen aja. Siapa tau ketemu sama kamu.”

Kini giliran Alra yang hatinya dibuat berbunga-bunga oleh lelaki itu. Ia tak menyangka bahwa Rivo akhirnya tak lagi gengsi untuk mengakui perasaannya.

“Tapi, Ra, maaf ya, gelangnya ilang.”

“Gak perlu minta maaf, gelangnya gak ilang kok.”

Alra lantas mengangkat pergelangan tangan kirinya yang mengenakan satu jam tangan putih dan dua gelang hitam dengan motif yang sama. Perasaan malu dan lega kini menyelimuti hati Rivo. “Kamu ambil?”

Alra mengangguk sembari tersenyum tipis. “Aku pikir kamu beneran gak butuh gelang ini lagi, tapi ternyata kamu nyari juga akhirnya.”

“Gak mungkin aku gak butuh gelang itu. Banyak kenangannya.”

Rivo menunduk sejenak dan mengulum bibirnya. Ia pun melanjutkan perkataannya, “Maafin aku ya, Ra. Aku terlalu sibuk dan gak mau nurunin sifat gengsi aku. Aku sadar aku salah.”

“Vo, aku juga salah. Kemaren aku asal mutusin kamu gitu aja, padahal emang masih bisa diomongin baik-baik.”

“Aku boleh jujur gak?”

“Apa?”

“Aku sedih banget waktu itu. Gak nyangka kamu sampe minta putus. Tapi emang salah aku juga karena gak ngabarin kamu dulu, kamu pasti kecewa banget ya?”

“Ya pikiran aku juga lagi kacau waktu itu, Vo. Aku kangen ketemu kamu, tapi kamu malah nyuruh orang lain buat jemput aku.”

“Maaf ya, Ra. Tapi kamu gak kehujanan kan waktu itu?”

“Kehujanan sih hahaha, tapi emang akunya yang gak mau pake jas hujannya.”

“Kenapa gak dipake? Aku udah nyuruh Rion buat bawa jas hujan itu buat kamu.”

“Loh itu jas hujan kamu?”

“Iya. Sebenarnya aku udah semangat banget mau jemput kamu waktu itu, tapi kadiv bener-bener gak ngijinin aku buat pergi. Maaf.”

Alra pun terdiam saat itu. Rivo ternyata sudah berniat untuk menepati janjinya untuk menjemputnya kala itu, tetapi keadaan tak mengizinkannya. Perempuan itu semakin merasa bersalah saat ia mengetahui bahwa jas hujan yang dibawa Rion saat itu adalah milik Rivo. Lelaki itu masih sangat peduli padanya bahkan di tengah kesibukannya.

“Vo, maafin aku, ternyata kamu masih sepeduli itu meskipun kamu sibuk. Aku udah mikir kamu bener-bener cuek sama aku.”

Rivo menggeleng dan tersenyum. “Udah yuk maaf-maafnya? Sekarang aku boleh ambil gelang itu lagi gak?”

Pandangan Alra beralih pada pergelangan tangannya. Ia pun mengangguk dan melepas satu gelang itu. Rivo tersenyum saat gelang itu kembali ke tangannya.

“Dah aku pake lagi. Jadi, kamu mau gak kita balik kayak dulu lagi? Aku gak berani bikin janji karena janji itu punya tanggung jawab yang gede, tapi aku bakal berubah jadi lebih baik lagi, Ra. Aku sadar kalo kesibukan organisasi atau kepanitiaan itu bukan segala-galanya.”

Alra tersenyum penuh haru. Matanya mulai berkaca-kaca. Rivo yang dulu telah kembali. Rivo yang tidak dipenuhi oleh sifat gengsi dan cueknya. Rivo yang selama ini ia rindukan. Ia telah kembali.

Perempuan itu pun mengangguk dan membuat sang lelaki tersenyum lega. “Aku gak bakal ngelarang kamu ikut ini itu kok, Vo. Aku gak mau ngehalangin kamu buat ngembangin diri.”

“Makasih ya udah bertahan ngadepin aku selama ini. Mulai sekarang, aku bakal ikut secukupnya aja, gak mau berlebihan lagi.”

Rivo mengelus pelan telapak tangan Alra. Sejujurnya ia sangat ingin memeluk perempuan itu, ia ingin melepaskan rasa rindu dan bahagianya, tetapi ia tak mungkin melakukan itu di lingkungan kampusnya.

“Hm aku laper nih, Ra. Ke pecel lele Mak Ribut yuk? Aku udah lama gak ke sana.”

“Ayo! Aku juga gak pernah ke sana sejak kita putus, Vo.”

“Takut makin gamon ya?”

“Iya, tapi kalo gini jadi bersyukur karena masih gamon. Makasih ya Vo soalnya kamu masih gamon sama aku.”

“Baru kali ini ada orang gamon malah bilang makasih. Tapi makasih juga ya, Sayang?”

Rasya dan Mauren kini telah tiba di alun-alun kota. Keduanya segera melangkah ke dalam area alun-alun setelah Rasya memarkirkan motornya.

Mauren hanya mengikuti langkah Rasya. Lelaki itu tak mengeluarkan sepatah kata pun sejak percakapan terakhirnya dengan Mauren yang membahas siapa yang akan membawa karcis parkir motornya.

“Sya, ini mau ke mana sih? Perasaan dari tadi kita muter-muterin jalan pavingan doang.”

Rasya menghentikan langkahnya. “Hm, ke sana aja yuk!”

Secara refleks, Rasya menggandeng tangan Mauren dan berhasil membuat perempuan itu membeku dengan langkahnya yang terseret-seret mengikuti langkah Rasya. Lelaki dengan kemeja denim itu menarik Mauren untuk duduk di lapangan tengah alun-alun.

Rasya lantas melepas tautan tangannya dengan Mauren. Bukan karena dirinya sadar bahwa ia telah menggandeng tangan gadis itu, tetapi karena ia sibuk membersihkan rerumputan yang basah dan daun-daun yang berserakan di sana. Rasya pun segera melepas sepatunya dan menempatkannya di dekat Mauren.

“Dah, duduk sini, Ren!” perintah lelaki itu sembari menepuk-nepuk sepatunya.

“Hah? Ngapain? Gak usah Sya, gue pake sandal gue sendiri aja buat alasnya. Itu lo pake aja buat alas duduk lo.”

Rasya lantas mendaratkan pantatnya di rerumputan yang basah itu. “Tapi gue dah terlanjur duduk di rumputnya tuh? Udah duduk di sepatu gue aja.”

Tak ingin berdebat lebih lanjut, Mauren akhirnya menuruti perintah lelaki itu. Ia duduk di atas sepatu Rasya, sedangkan sang empunya sepatu duduk tepat di sebelahnya.

“Ini ngapain dah kita?”

“Kan udah gue bilang, liat bulan.”

Mauren pun mengikuti arah pandang Rasya. Lelaki itu nampak memandangi langit gelap di atas sana. Tak banyak bintang yang bertaburan, tetapi cukup untuk menghiasi gelapnya malam. Sang rembulan nampak masih tertutup awan sehingga membuat Mauren terheran saat melihatnya.

“Liat bulan tapi bulannya ketutupan awan.”

“Tunggu aja. Bentar lagi juga udah keliatan.”

“Ini kita jadi kayak orang gabut, Sya. Liat orang-orang pada duduk sambil bawa jajan, kita malah liatin bulan.”

“Gapapa. Emang lo laper lagi? Kalo mau jajan mending ntar kita muter-muter dulu, soalnya gue liat tadi di depan cuma ada abang-abang siomay, batagor, gado-gado, pokoknya bumbu kacang semua deh.”

Mauren menoleh pada Rasya. “Lo masih inget kalo gue alergi kacang?”

Rasya mengangguk. Tatapannya masih ia fokuskan pada langit di atas sana.

“Eh! Tuh bulannya udah muncul.”

Mauren melihat ke arah bulan itu. Benar saja, bulannya sudah tak tertutupi lagi oleh awan. Bukan purnama yang terlihat sempurna, tetapi kini bulan sabit yang mendapat panggung di langit kala itu.

Rasya melirik gadis yang ada di sebelahnya. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya. Beruntungnya Mauren masih terfokus pada bulan di atas sana.

“Bulannya cantik ya?” ujar Rasya perlahan.

Mauren menoleh pada lelaki itu. “Hm? Iya.”

Gadis itu kembali mengarahkan pandangannya ke langit, tetapi otaknya tiba-tiba tersadar akan ucapan Rasya.

“Bentar, ini ceritanya lo lagi latihan buat nembak Diska?”

Rasya akhirnya menatap Mauren. “Ngapain gue latihan? Mending langsung bilang ke orangnya.”

“Maksud lo apa sih, Sya? Harusnya kan lo bilang ungkapan itu ke Diska.”

“Gue maunya itu buat lo.”

Rasya lantas membalik badannya untuk menghadap Mauren yang masih terheran dengan perkataannya. Lelaki itu mengulum bibirnya. Nampak jelas bahwa ia sedang gugup saat itu.

“Ren, gue minta maaf karena udah bohong sama lo selama ini. Sebenernya, gue gak pernah naksir sama Diska. Cewek yang selama ini gue taksir itu lo.”

“Lo bercanda ya? Hahaha lucu banget,” ujar gadis itu sembari tertawa canggung. Namun, Rasya sama sekali tak menggoreskan senyuman di wajahnya.

“Gue serius, Mauren.”

Detik itu pula, Mauren tersadar bahwa Rasya tidak main-main dengan perkataannya. Gadis itu kembali mengalihkan pikirannya agar dapat berpikir lebih jernih.

“Oke. Bentar gue masih gak habis pikir. Jadi selama ini lo nanya-nanya soal Diska tuh buat apa?”

“Buat bisa deket sama lo dan buat nyari tau tentang diri lo, preferensi lo, bahkan sesuatu yang gak lo sukai.”

“Hah? Gimana lo bisa tau soal gue dari pertanyaan-pertanyaan lo tentang Diska?”

“Lo gak sadar? Selama gue nanyain soal Diska, gue selalu minta pendapat lo. Dari situ, secara gak langsung, gue bisa tau tentang lo, Ren.”

Mauren terdiam. Ia benar-benar tak menyangka bahwa usaha yang dilakukan Rasya selama ini sebenarnya bukan untuk Diska, melainkan untuk dirinya.

“Jadi ... ini alasan lo pake outfit begini?”

Rasya mengangguk antusias. Dalam hati Mauren, sejujurnya ia sangat kesal, tetapi ia juga merasa senang karena melihat usaha Rasya untuk dirinya.

“Diska udah tau soal ini?”

“Ya jelas udah. Dari awal gue udah nanya ke Diska, tapi sama dia malah disuruh cari tau sendiri soal lo. Dan gue udah izin sama dia buat jadiin dia sebagai alasan gue buat deketin lo hehehe.”

“Pantesan lo gak marah pas tau Diska sama Sean lagi pdkt.”

“Hehehe iya.”

Mauren terdiam sejenak. Ia menghela napasnya perlahan. Dirinya nampak masih mencerna momen saat itu.

“Makasih ya, Sya. Makasih buat usaha-usaha lo buat deketin gue. Gue hargain banget. Jujur gue terharu sih.”

Rasya lantas menatap heran gadis itu. “Ini gue ditolak ya berarti?”

“Bentar ih belum.”

Lelaki itu pun terdiam. Ia seolah membiarkan Mauren untuk melanjutkan kata-katanya.

“Sejujurnya, gue sempet sakit hati Sya sama segala pertanyaan lo soal Diska.”

“Sakit hati?”

“Iya. Siapa sih yang gak patah hati pas crush-nya naksir orang lain?”

Kini giliran Rasya yang terdiam. Perlahan, pikirannya mulai bisa menangkap maksud gadis itu. “Bentar, lo ... naksir gue, Ren?”

“Iya.”

“Ren, kok lo gak bilang sih? Kalo gini kan gue secara gak langsung berarti udah nyakitin lo. Ren, gue minta maaf ....”

“Gapapa, bukan salah lo juga. Emang gak ada yang tau kalo gue suka sama lo. Bahkan Diska juga gak tau.”

Keduanya sama-sama terdiam. Hening dan hanya angin malam yang berlalu di sekitar mereka.

Rasya pun kembali membuka percakapan. “Jadi, sekarang gimana? Perasaan kita kan udah mutual nih, jadi kan ....”

“Jadi apa?” goda Mauren sembari tersenyum jahil.

“Jadian sama gue. Mau gak? Gue gak pinter bikin kata-kata emang, duh maaf ....” Rasya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lelaki itu tengah merutuki dirinya sendiri karena tak dapat menyiapkan kata-kata yang indah untuk Mauren.

Mauren hanya bisa menahan senyumnya saat melihat tingkah Rasya. Ia bersyukur karena pipinya tidak mudah memerah ketika dirinya sedang salah tingkah.

“Hmm gimana ya Sya ....”

“Lo gak mau jadian sama gue?”

“Lebih tepatnya gue masih gak nyangka aja. Jujur gue belum percaya kalo lo beneran suka sama gue. Gue masih terbayang-bayang lo yang suka sama Diska.”

Kini, Rasya memberanikan untuk menggenggam tangan Mauren. Ia menatap lekat gadis itu. “Ren, gue beneran sukanya sama lo. Lo masih gak percaya? Gue kudu apa biar lo percaya kalo gue sukanya sama lo?”

Mauren membisu. Tatapan Rasya membuatnya gugup dan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Bentar.” Mauren melepas genggamannya dengan Rasya. Ia merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Gadis itu lalu berdiri dari tempatnya.

“Mau ke mana?”

Mauren tak menggubris pertanyaan Rasya. Ia nampak sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Tak lama kemudian, gadis itu berlari menjauhi Rasya.

“LAH REN KOK GUE DITINGGAL?”

Mauren menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Ia melihat Rasya yang masih terdiam di tempat itu dengan raut penuh tanda tanya di wajahnya.

“CEK WA LO, SYA!” teriak Mauren sambil menunjuk ponselnya.

Rasya pun segera merogoh sakunya dan melihat pesan WhatsApp dari gadis itu. Sebuah senyuman lantas merekah di bibir Rasya saat membaca pesan dari Mauren.

‘Iya, bulannya cantik.’

“JADI GUE DITERIMA?”

Mauren mengangguk sembari tersenyum malu-malu. Rasya lantas berdiri dan meraih sepatunya dengan kasar. Ia pun berlari menghampiri Mauren yang tertawa melihatnya berlari dengan bertelanjang kaki.

Once again, she is getting butterflies because of him. But, for this time, she tells him about it and he replies, “So am I.”