Am I going to lose you?

Gerbang tua berwarna biru muda terbuka dengan menampakkan Oliv yang muncul di baliknya. Gadis itu segera menghampiri Acel yang masih setia duduk di atas motornya. Benar kata Gita, Acel bahkan tak membuka sedikit pun kaca helmnya.

“Mau masuk gak?” tawar Oliv basa-basi.

“Gak usah, gue langsung balik aja abis ini. Udah kan ini ketemu gue? Gue beneran gapapa.”

Acel melepas tangannya dari setang motornya. Ia menegakkan tubuhnya, seolah tengah meyakinkan Oliv bahwa dirinya baik-baik saja. Oliv terus memandangi lelaki yang ada di hadapannya itu.

“Oke, tapi itu helm kenapa masih dipake aja? Dilepas dulu coba.”

Lelaki itu meneguk ludahnya saat Oliv memintanya untuk membuka helmnya. Dalam hati, Acel benar-benar panik setengah mati.

“Kenapa sih? Lo kangen liat muka gue?” goda Acel untuk mengalihkan topik.

“Gue serius, Cel. Coba buka helm lo.”

“Udah malem, Liv. Gue balik dulu ya?”

“Cel.”

Intonasi Oliv terdengar begitu mengintimidasi. Gadis itu menatap Acel, tak ada sedikit pun senyuman ceria atau sikap salah tingkah yang biasa Oliv tunjukkan saat bersama Acel. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres pada lelaki itu.

Acel menghela napasnya berat. Ia pasrah. Perlahan, ia membuka helmnya dengan Oliv yang masih terus menatapnya. Saat helmnya telah ia lepas, Acel menunduk. Ia pun memalingkan wajahnya ke arah lain, tak ingin Oliv melihat kondisi wajahnya saat itu.

“Udah gue lepas, udah ya berarti.”

“Liat gue sini, Cel.”

Lelaki itu terdiam. Ia tak sanggup harus menoleh dan menampakkan wajahnya pada gadis yang kini ada di sampingnya itu. Oliv pun mendekat, tangannya meraih dagu Acel, sempat dilihatnya sebuah luka yang nampak masih basah di sudut kanan bibir lelaki itu. Perlahan, Oliv mengarahkan wajah Acel agar balik menghadapnya. Hati Oliv mencelos saat melihat kondisi wajah Acel saat itu. Terdapat lebam di tulang pipi lelaki itu, mata kirinya yang nampak mulai bengkak, dan darah di sudut bibirnya. Oliv bahkan sempat memejamkan matanya, tak sanggup melihat wajah Acel yang penuh dengan luka.

“Cel, i-ini semua ... kenapa?” tanya Oliv dengan suaranya yang bergetar. Jari jemari gadis itu menelusuri wajah lelaki itu.

Acel meringis saat jari Oliv tanpa sengaja menyentuh lebam di tulang pipinya.

“Eh, sorry!

“Gapapa.”

“Kok bisa sampe gini sih, Cel? Kayak gini mau lo sembunyiin dari gue?”

Acel membisu. Ia bingung bagaimana ia harus menceritakan segalanya pada Oliv, tetapi ia juga tak ingin gadis itu semakin khawatir padanya.

“Kenapa anjir ayo jujur sama gue! Jangan bilang gapapa!”

“Tadi ada salah paham dikit sama orang di Fournight, terus gue dipukul, ya gini hasilnya.”

“Enteng banget lo kalo ngomong. Lagian ngapain tadi lo ke Fournight? Bukannya lo harusnya ke rumah Gita?”

“Agak panjang itu ceritanya.”

“Ya udah, ayo duduk di dalem dulu, gue obatin dulu itu lukanya.”

Oliv pun menarik lengan Acel, tetapi lelaki itu malah menahannya. “Gak usah, udah malem juga, gue obatin di rumah aja,” ujar Acel.

Sebenarnya, Acel menolak tawaran Oliv karena tak ingin gadis itu dimarahi oleh kakaknya. Acel ingat bahwa Oliv tak boleh menjalin hubungan saat ini. Ia takut jika ia datang ke rumahnya pada saat seperti ini, Oliv nantinya akan dicurigai oleh kakaknya.

“Mending gue aja yang ngobatin, gue kan yang lebih paham, Cel.

Lelaki itu tersenyum sekilas. “Iya si paling PMR.”

“Stop dulu bercandanya. Kalo lo gak mau ke dalem, ya udah lo tunggu di sini, gue ambilin kotak P3K dulu.”

“Liv gak—”

“Gak usah nolak. Tunggu sini!”

Bahu Acel pun turun, ia mau tak mau harus menurut pada gadis itu. Saat Oliv kembali dengan membawa kotak P3K, mereka pun duduk di trotoar, dekat dengan motor Acel. Gadis itu mulai mengobati luka-luka Acel, membuat lelaki itu tanpa sadar mengukir senyumannya saat menatap wajah Oliv yang begitu dekat dengannya. Oliv nampak telaten mengobati tiap bagian wajahnya yang terluka.

Sembari menunggu lukanya selesai diobati, Acel akhirnya menceritakan segala peristiwa yang ia alami karena Oliv terus meminta penjelasan darinya. Gadis itu pun menyimak sembari mengurus luka di sudut bibir Acel, membuat cerita lelaki itu sempat terhenti karena bibirnya yang tengah diobati.

“Lah? Dia yang salah kok malah dia yang mukulin lo sih?”

“Gue juga gak tau.”

“Terus kenapa lo gak ngelawan?”

“Gue gak mau ngulang kejadian yang dulu. Gue ngelawan, akhirnya malah jadi boomerang buat gue sendiri.”

“Hm iya sih, tapi ... apa lo gak curiga? Berarti kan ada orang yang sengaja jebak lo buat dateng ke sana dengan gunain Yohan dan Alan, terus lo tiba-tiba dipukulin sama stranger begitu.”

“Iya juga. Dari pukulan dia tadi kayaknya dia sadar, gak kayak orang mabuk.”

“Lo ada musuh di luar sana?”

Acel pun terdiam. Ia nampak berpikir sejenak, pikirannya lantas menuju ke satu orang yang selama ini memang telah mengancamnya. Siapa lagi jika bukan Clara, tetapi Acel tak ingin Oliv mengetahui tentang perempuan itu. Ia takut jika Oliv akan terkena imbasnya jika terlalu terlibat dengan urusannya dan Clara.

“Kayaknya gak ada.”

“Hm terus kok bisa ya? Tapi lo coba chat bartender itu lagi dah Cel, sejak awal kan dia yang bikin lo dateng ke sana.”

“Iya, ntar sekalian gue chat Yohan sama Alan juga.”

Helaan napas pun terdengar dari gadis yang kini masih terus fokus untuk mengobati luka di wajah Acel. Lelaki itu terdiam dan menatap Oliv lekat. Perkataannya pada Clara tentang dirinya yang lebih memilih untuk kehilangan segalanya tiba-tiba mengusik benak lelaki itu.

“Kalo gue udah milih buat kehilangan segalanya, apa gue bakalan kehilangan lo juga ya, Liv?”

Merasa ada yang memerhatikannya sejak tadi, Oliv pun balik menatap Acel. “Kenapa lo ngeliatin gue gitu?”

“Gapapa, gue cuma kepikiran sesuatu aja.”

“Apa?”

“Kira-kira, kalo anak kelas pada tau kondisi gue begini, mereka bakal benci gue gak ya?”

Tangan Oliv berhenti tepat di tulang pipi lelaki itu. Ia lupa fakta bahwa teman-temannya belum mengetahui bagaimana Acel di luar sekolah. Butuh waktu bagi mereka untuk menerima sisi lain dari seorang Acel.

“Lo liat gue, apa gue benci sama lo setelah tau semuanya?”

Acel menggeleng perlahan.

“Ya mereka pasti kayak gue Cel, mereka cuma butuh waktu aja buat nerima semuanya, meskipun mungkin gak bakal secepet gue.”

“Gue gak siap kalo itu terjadi, tapi cepat atau lambat, mereka pasti bakal tau semuanya.”

“Kok lo ngomongnya gitu?”

Senyuman tipis terukir di bibir Acel—yang lukanya masih basah. Ia sadar, ia tak mungkin akan selalu bertahan dengan sisi baik dari dirinya sebagai Acel. Detik itu pula, Acel perlahan mencoba menurunkan harapannya dan bersiap dengan hatinya. Bersiap apabila suatu saat teman-temannya akan berbalik menaruh rasa benci padanya.