moon gazing sounds fun, doesn't it?
Rasya dan Mauren kini telah tiba di alun-alun kota. Keduanya segera melangkah ke dalam area alun-alun setelah Rasya memarkirkan motornya.
Mauren hanya mengikuti langkah Rasya. Lelaki itu tak mengeluarkan sepatah kata pun sejak percakapan terakhirnya dengan Mauren yang membahas siapa yang akan membawa karcis parkir motornya.
“Sya, ini mau ke mana sih? Perasaan dari tadi kita muter-muterin jalan pavingan doang.”
Rasya menghentikan langkahnya. “Hm, ke sana aja yuk!”
Secara refleks, Rasya menggandeng tangan Mauren dan berhasil membuat perempuan itu membeku dengan langkahnya yang terseret-seret mengikuti langkah Rasya. Lelaki dengan kemeja denim itu menarik Mauren untuk duduk di lapangan tengah alun-alun.
Rasya lantas melepas tautan tangannya dengan Mauren. Bukan karena dirinya sadar bahwa ia telah menggandeng tangan gadis itu, tetapi karena ia sibuk membersihkan rerumputan yang basah dan daun-daun yang berserakan di sana. Rasya pun segera melepas sepatunya dan menempatkannya di dekat Mauren.
“Dah, duduk sini, Ren!” perintah lelaki itu sembari menepuk-nepuk sepatunya.
“Hah? Ngapain? Gak usah Sya, gue pake sandal gue sendiri aja buat alasnya. Itu lo pake aja buat alas duduk lo.”
Rasya lantas mendaratkan pantatnya di rerumputan yang basah itu. “Tapi gue dah terlanjur duduk di rumputnya tuh? Udah duduk di sepatu gue aja.”
Tak ingin berdebat lebih lanjut, Mauren akhirnya menuruti perintah lelaki itu. Ia duduk di atas sepatu Rasya, sedangkan sang empunya sepatu duduk tepat di sebelahnya.
“Ini ngapain dah kita?”
“Kan udah gue bilang, liat bulan.”
Mauren pun mengikuti arah pandang Rasya. Lelaki itu nampak memandangi langit gelap di atas sana. Tak banyak bintang yang bertaburan, tetapi cukup untuk menghiasi gelapnya malam. Sang rembulan nampak masih tertutup awan sehingga membuat Mauren terheran saat melihatnya.
“Liat bulan tapi bulannya ketutupan awan.”
“Tunggu aja. Bentar lagi juga udah keliatan.”
“Ini kita jadi kayak orang gabut, Sya. Liat orang-orang pada duduk sambil bawa jajan, kita malah liatin bulan.”
“Gapapa. Emang lo laper lagi? Kalo mau jajan mending ntar kita muter-muter dulu, soalnya gue liat tadi di depan cuma ada abang-abang siomay, batagor, gado-gado, pokoknya bumbu kacang semua deh.”
Mauren menoleh pada Rasya. “Lo masih inget kalo gue alergi kacang?”
Rasya mengangguk. Tatapannya masih ia fokuskan pada langit di atas sana.
“Eh! Tuh bulannya udah muncul.”
Mauren melihat ke arah bulan itu. Benar saja, bulannya sudah tak tertutupi lagi oleh awan. Bukan purnama yang terlihat sempurna, tetapi kini bulan sabit yang mendapat panggung di langit kala itu.
Rasya melirik gadis yang ada di sebelahnya. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya. Beruntungnya Mauren masih terfokus pada bulan di atas sana.
“Bulannya cantik ya?” ujar Rasya perlahan.
Mauren menoleh pada lelaki itu. “Hm? Iya.”
Gadis itu kembali mengarahkan pandangannya ke langit, tetapi otaknya tiba-tiba tersadar akan ucapan Rasya.
“Bentar, ini ceritanya lo lagi latihan buat nembak Diska?”
Rasya akhirnya menatap Mauren. “Ngapain gue latihan? Mending langsung bilang ke orangnya.”
“Maksud lo apa sih, Sya? Harusnya kan lo bilang ungkapan itu ke Diska.”
“Gue maunya itu buat lo.”
Rasya lantas membalik badannya untuk menghadap Mauren yang masih terheran dengan perkataannya. Lelaki itu mengulum bibirnya. Nampak jelas bahwa ia sedang gugup saat itu.
“Ren, gue minta maaf karena udah bohong sama lo selama ini. Sebenernya, gue gak pernah naksir sama Diska. Cewek yang selama ini gue taksir itu lo.”
“Lo bercanda ya? Hahaha lucu banget,” ujar gadis itu sembari tertawa canggung. Namun, Rasya sama sekali tak menggoreskan senyuman di wajahnya.
“Gue serius, Mauren.”
Detik itu pula, Mauren tersadar bahwa Rasya tidak main-main dengan perkataannya. Gadis itu kembali mengalihkan pikirannya agar dapat berpikir lebih jernih.
“Oke. Bentar gue masih gak habis pikir. Jadi selama ini lo nanya-nanya soal Diska tuh buat apa?”
“Buat bisa deket sama lo dan buat nyari tau tentang diri lo, preferensi lo, bahkan sesuatu yang gak lo sukai.”
“Hah? Gimana lo bisa tau soal gue dari pertanyaan-pertanyaan lo tentang Diska?”
“Lo gak sadar? Selama gue nanyain soal Diska, gue selalu minta pendapat lo. Dari situ, secara gak langsung, gue bisa tau tentang lo, Ren.”
Mauren terdiam. Ia benar-benar tak menyangka bahwa usaha yang dilakukan Rasya selama ini sebenarnya bukan untuk Diska, melainkan untuk dirinya.
“Jadi ... ini alasan lo pake outfit begini?”
Rasya mengangguk antusias. Dalam hati Mauren, sejujurnya ia sangat kesal, tetapi ia juga merasa senang karena melihat usaha Rasya untuk dirinya.
“Diska udah tau soal ini?”
“Ya jelas udah. Dari awal gue udah nanya ke Diska, tapi sama dia malah disuruh cari tau sendiri soal lo. Dan gue udah izin sama dia buat jadiin dia sebagai alasan gue buat deketin lo hehehe.”
“Pantesan lo gak marah pas tau Diska sama Sean lagi pdkt.”
“Hehehe iya.”
Mauren terdiam sejenak. Ia menghela napasnya perlahan. Dirinya nampak masih mencerna momen saat itu.
“Makasih ya, Sya. Makasih buat usaha-usaha lo buat deketin gue. Gue hargain banget. Jujur gue terharu sih.”
Rasya lantas menatap heran gadis itu. “Ini gue ditolak ya berarti?”
“Bentar ih belum.”
Lelaki itu pun terdiam. Ia seolah membiarkan Mauren untuk melanjutkan kata-katanya.
“Sejujurnya, gue sempet sakit hati Sya sama segala pertanyaan lo soal Diska.”
“Sakit hati?”
“Iya. Siapa sih yang gak patah hati pas crush-nya naksir orang lain?”
Kini giliran Rasya yang terdiam. Perlahan, pikirannya mulai bisa menangkap maksud gadis itu. “Bentar, lo ... naksir gue, Ren?”
“Iya.”
“Ren, kok lo gak bilang sih? Kalo gini kan gue secara gak langsung berarti udah nyakitin lo. Ren, gue minta maaf ....”
“Gapapa, bukan salah lo juga. Emang gak ada yang tau kalo gue suka sama lo. Bahkan Diska juga gak tau.”
Keduanya sama-sama terdiam. Hening dan hanya angin malam yang berlalu di sekitar mereka.
Rasya pun kembali membuka percakapan. “Jadi, sekarang gimana? Perasaan kita kan udah mutual nih, jadi kan ....”
“Jadi apa?” goda Mauren sembari tersenyum jahil.
“Jadian sama gue. Mau gak? Gue gak pinter bikin kata-kata emang, duh maaf ....” Rasya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lelaki itu tengah merutuki dirinya sendiri karena tak dapat menyiapkan kata-kata yang indah untuk Mauren.
Mauren hanya bisa menahan senyumnya saat melihat tingkah Rasya. Ia bersyukur karena pipinya tidak mudah memerah ketika dirinya sedang salah tingkah.
“Hmm gimana ya Sya ....”
“Lo gak mau jadian sama gue?”
“Lebih tepatnya gue masih gak nyangka aja. Jujur gue belum percaya kalo lo beneran suka sama gue. Gue masih terbayang-bayang lo yang suka sama Diska.”
Kini, Rasya memberanikan untuk menggenggam tangan Mauren. Ia menatap lekat gadis itu. “Ren, gue beneran sukanya sama lo. Lo masih gak percaya? Gue kudu apa biar lo percaya kalo gue sukanya sama lo?”
Mauren membisu. Tatapan Rasya membuatnya gugup dan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Bentar.” Mauren melepas genggamannya dengan Rasya. Ia merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Gadis itu lalu berdiri dari tempatnya.
“Mau ke mana?”
Mauren tak menggubris pertanyaan Rasya. Ia nampak sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Tak lama kemudian, gadis itu berlari menjauhi Rasya.
“LAH REN KOK GUE DITINGGAL?”
Mauren menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Ia melihat Rasya yang masih terdiam di tempat itu dengan raut penuh tanda tanya di wajahnya.
“CEK WA LO, SYA!” teriak Mauren sambil menunjuk ponselnya.
Rasya pun segera merogoh sakunya dan melihat pesan WhatsApp dari gadis itu. Sebuah senyuman lantas merekah di bibir Rasya saat membaca pesan dari Mauren.
‘Iya, bulannya cantik.’
“JADI GUE DITERIMA?”
Mauren mengangguk sembari tersenyum malu-malu. Rasya lantas berdiri dan meraih sepatunya dengan kasar. Ia pun berlari menghampiri Mauren yang tertawa melihatnya berlari dengan bertelanjang kaki.
Once again, she is getting butterflies because of him. But, for this time, she tells him about it and he replies, “So am I.”