One Step Closer

“Gimana menurut lo? Enak gak?”

Acel menatap gadis yang ada di hadapannya sembari menyuap nasinya. Oliv pun mengangguk. “Iya, enak! Rekomen banget sih ini nasi bebeknya.”

Mereka akhirnya kembali fokus melahap makanannya. Tak begitu banyak percakapan di antara kedua muda-mudi itu. Acel dan Oliv menikmati nasi bebeknya sembari memandangi sekitarnya. Warung sederhana yang cukup ramai pembelinya serta suara kendaraan di jalanan tak menjadi masalah bagi siapa pun orang yang ingin menikmati nasi bebek Madura yang menjadi menu andalan di sana.

Seperti dugaan, lelaki memang biasanya cepat dalam menghabiskan makanannya, begitu pula dengan Acel. Lelaki itu akhirnya hanya menunggu Oliv hingga selesai menghabiskan makanannya.

“Eh? Punya lo udah abis. Bentar ya sorry gue lama makannya.”

“Santai aja. Gak usah keburu-buru. Keselek ntar.”

Jantung Oliv lantas berdebar lebih kencang. Ia tak bisa bohong bahwa berdua dengan Acel seperti saat ini membuatnya sangat nervous. Fokusnya sekarang teralihkan, ia tak lagi bisa menikmati makanannya karena mengingat Acel yang sedang menunggunya. Gadis itu berusaha kuat untuk menahan diri agar tidak salah tingkah.

“Lo sering ke sini, Cel?” tanya Oliv untuk memecah keheningan.

“Kadang-kadang. Gue jarang makan di luar kalo bukan gegara diajak temen-temen gue.”

Oliv mengangguk-anggukkan kepalanya. Gadis itu kembali menyuap satu persatu nasi bebek Madura-nya dengan bumbu hitam yang menjadi ciri khas kuliner itu.

“Lo kalo balik malem emang gak dicariin?”

Oliv terdiam. Dengan ragu, ia akhirnya menggelengkan kepalanya. “Kayaknya sih nggak. Lagian di rumah tuh bikin suntuk, stress, bosen ... ya gitu deh pokoknya.”

“Meskipun lo suka K-pop? Bisa bosen sama stress gitu di rumah?”

Tatapan Oliv yang sedari tadi fokus pada piringnya kini beralih pada Acel. Gadis itu awalnya memang ragu untuk melakukan kontak mata dengan Acel. Namun, pertanyaan Acel kali ini begitu menarik perhatiannya hingga ia tanpa sadar memberanikan diri untuk menatap mata lelaki itu.

“Lo pikir yang suka K-pop gak punya masalah?”

“Ya soalnya gue liat mereka keliatan seneng-seneng aja.”

“Kita gak tau dalemnya mereka gimana,” ucap Oliv yang kini mengalihkan pandangannya sembari mengaduk-aduk es tehnya, “kadang, K-pop cuma pelarian doang, Cel.”

“Pelarian? Maksudnya gimana?”

“Ya pelarian dari ngadepin masalah hidup, kayak K-pop tuh ngejaga kita biar tetep waras dan gak gila karena saking stress-nya sama real life. Bikin bahagia gitulah pokoknya.”

“Dan lo ... termasuk salah satu orang yang begitu, Liv?”

Oliv menatap Acel sekilas. Sejujurnya ia sangat gugup saat melihat lelaki yang berada persis di hadapannya itu, ditambah lagi Acel tampak terus menatapnya sedari tadi.

“Ya bisa dibilang begitu, tapi kadang ada fase di mana K-pop juga gak bisa membantu sama sekali sih.”

Oliv tersenyum getir. Gadis itu kembali melahap makanannya yang hanya menyisakan beberapa suap lagi. Tatapan Acel tak lepas dari Oliv, ia nampaknya mulai mengerti bahwa gadis itu memang sedang tidak baik-baik saja.

“Hmm,” Acel menghela napasnya perlahan, “tapi Jaehyuk itu, udah banyak kan ngebantu lo dalam ngadepin masalah-masalah sulit?”

“Huh? O-oh iya,” jawab Oliv gugup karena pertanyaan Acel yang begitu tiba-tiba.

“Contohnya pas kapan aja?”

“Ya lumayan banyak.”

“Ceritain aja beberapa.”

Oliv lantas menaruh sendoknya. Ia nampak mengingat-ingat beberapa momen dalam hidupnya saat ia sedang berada di titik terendahnya. Gadis itu mulai bercerita tentang momen-momen itu dan bagaimana idolanya memberinya semangat untuk terus bertahan kuat dalam menghadapi segala masalahnya. Raut antusias pun terpancar dari wajah Oliv setiap ia membicarakan tentang idolanya itu.

Tanpa sadar, bibir Acel mengembang membentuk sebuah senyuman tipis saat melihat Oliv begitu bahagia ketika ia menyenggol topik tentang idolanya. Lelaki itu terus mengangguk dan menyimak segala cerita Oliv. Strategi Acel ternyata berhasil. Ia memang sengaja memancing Oliv untuk membahas idolanya, dengan harapan bahwa gadis itu bisa meluapkan segala emosi dan perasaannya.

Di tengah dirinya yang sibuk menyimak cerita Oliv, ponsel Acel yang diletakkan di meja tiba-tiba bergetar. Acel segera mengambil ponselnya dan menyembunyikannya di bawah meja. Ia tak ingin hal itu menginterupsi Oliv yang tengah asyik bercerita. Acel sesekali menunduk untuk mengintip layar ponselnya. Beberapa notifikasi pesan dari papanya yang menyuruhnya untuk segera pulang mulai memenuhi lockscreen-nya. Acel pun menggigit bibir bawahnya, khawatir papanya akan memarahinya. Namun, ia akhirnya kembali menyimpan ponselnya. “Ntar gue cari alesan aja deh,” batin Acel dan ia kembali menyimak cerita Oliv.

“Eh, gue udah kebanyakan ceritanya. Sorry ya, Cel.”

“Gapapa. Gue jadi tau kalo ternyata ngidolain seseorang bisa sepengaruh itu buat kehidupan. Keren.”

Oliv mengangguk dan tersenyum. Mood gadis itu nampaknya mulai membaik. “Bener! Ya bisa jadi buat healing juga.”

“Hm iya sih.”

“Kalo lo gimana? Clubbing tuh termasuk healing juga buat lo?”

Acel lantas mengerjapkan matanya. Lelaki itu terdiam sejenak saat Oliv menanyakan tentang kebiasaannya yang tak diketahui oleh teman-teman sekolahnya.

“Kadang sih iya, termasuk healing juga.”

“Sisi healing-nya di mana? Bukannya club tuh berisik banget?”

“Iya emang,” Acel pun tertawa, “tapi ngeliat orang-orang di sana yang keliatan bebas ngelepas stress-nya, bikin gue jadi sadar, kalo gak cuma gue doang yang punya masalah di dunia ini.”

Jawaban Acel membuat Oliv terdiam untuk beberapa saat.

“Berarti gegara itu lo sering ke club?”

“Gak sesering itu juga, tapi kalo temen-temen gue mau ke sana ya gue usahain buat ikut.”

“Usahain? Emang lo gak bisa nolak ajakan mereka gitu?”

“Bukannya gak bisa, tapi gue khawatir aja kalo mereka terlalu mabuk.”

Oliv mengernyit. “Hah? Bentar, jadi lo suka ke club tuh sebenernya karena khawatir temen-temen lo itu mabuk berat?”

Acel mengangguk. Lelaki itu kembali meminum es kopinya dengan santai, sedangkan gadis yang ada di hadapannya hanya bisa terdiam dengan pikirannya yang masih mencerna fakta mengejutkan yang baru saja ia terima.

“Terus, lo cuma jagain mereka di club gitu? Emang ...” Oliv ragu untuk melanjutkan pertanyaannya, “lo gak mabuk juga?”

“Nggak. Gue seringnya pesen yang non-alkohol, kalo emang pengen banget ya gue minumnya gak sampe ngelebihin batas toleransi alkohol gue, soalnya mau gak mau, gue yang akhirnya harus nyetir kalo mereka mabuk bahkan sampe blackout.”

Blackout?

“Iya, kebanyakan minum sampe lupa abis ngapain aja pas mabuk.”

“Kenapa lo sampe segitunya sih ke temen lo? Lo gak kerepotan?”

Acel terdiam. Pertanyaan Oliv seolah membuatnya juga ikut berpikir mengapa ia begitu setia menjaga teman-temannya itu. “Nggak,” jawab Acel sembari menghela napasnya, “soalnya cuma mereka yang nerima buruknya gue di luar sekolah kayak gimana. Gue bisa ngerasa bebas kalo sama mereka.”

Tak ada kata yang bisa Oliv ucapkan saat mendengar jawaban Acel yang terdengar santai, tetapi nampak ada kesedihan di setiap katanya. Hati Oliv mencelos saat Acel berkata bahwa hanya kedua temannya itulah yang bisa menerima sisi buruk seorang Marcelino Ravanzza.

“Eum ... kalo boleh tau, nama temen-temen lo itu siapa aja?”

“Yohan sama Alan, kenapa?”

“Berarti, mulai sekarang, ada tiga orang yang bisa nerima sisi buruk lo, Cel.”

“Tiga orang?”

“Iya. Yohan, Alan, dan gue, Oliv.”

Acel kembali terdiam. Ia menatap Oliv yang tengah tersenyum sembari mengarahkan jari telunjuknya pada dirinya sendiri. Perlahan, lelaki itu mengerti maksud perkataan Oliv.

“Makasih ya, Liv,” ucap Acel tulus dengan senyumannya yang ikut mengembang saat menatap gadis yang ada di hadapannya itu. Oliv, sekali lagi, nampaknya telah berhasil membuat Acel kembali tersentuh dan kagum untuk kesekian kalinya.

Now, they are one step closer in knowing each other better than anyone else.