The Revenge
Clara tersenyum setelah membaca pesan dari Acel. Perempuan itu bergegas ke luar dari mobilnya. Ia sempat memandangi sekelilingnya, melihat suasana SMA Gemantara yang sudah mulai sepi dan tak banyak siswa-siswi yang berlalu lalang karena jam sekolah yang telah usai.
Sesuai dengan permintaan Acel, perempuan itu masuk melalui pintu samping yang ada di sisi kanan gedung sekolah. Clara tak menaruh curiga sedikit pun saat itu. Langkahnya pun akhirnya tiba tepat di depan pintu masuk samping.
Byur!
Clara terkesiap saat guyuran air tiba-tiba menyirami tubuhnya. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Ia mengusap wajahnya lalu mendongak dan menemui dua lelaki yang tengah menatapnya dari balkon sekolah.
“Heh! Kurang ajar ya lo berdua! Gak punya sopan santun?” bentak Clara yang sudah naik pitam.
Rangga dan Awan pun saling bertatapan sekilas, mereka nampak menahan tawanya.
“Maaf, Mbak. Kirain gak ada orang tadi, ya udah gue buang aja ini air bekas ngepel-nya di sini.”
“Air bekas ngepel lo bilang?”
Rangga mengangguk dengan wajahnya yang sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah. Awan pun membalas, “Lagian Mbak-nya juga sih, ngapain lewat pintu samping coba, kan kita mana tau ya, Ngga.”
“Hooh bener.”
“Gapapa deh Mbak, lumayan kan mandi gratis, membersihkan diri dari segala dosa, ya ... meskipun pake air bekas ngepel sih.”
“Iya Mbak, ntar di rumah mandi lagi aja. Siapa tau bisa bersih badannya, terutama hati sama pikirannya. Dah yok Wan balik kelas aja!”
“Heh anjing bocah balik lo berdua! Heh!”
Emosi Clara sudah hampir mencapai puncaknya. Perempuan itu pun mencoba mendengus bau bajunya. Bukan aroma wangi dari cairan pembersih lantai yang ditangkap oleh indera penciumannya, tetapi malah bau tak sedap yang begitu menyengat. “Argh! Brengsek tuh bocah!”
Perempuan itu akhirnya memilih untuk kembali ke mobilnya. Ia tak mungkin terus masuk ke dalam gedung dan menemui Acel dengan kondisinya yang sudah basah kuyup dan penuh bau tak sedap, tentu ia akan menjadi pusat perhatian dari beberapa guru dan siswa yang masih ada di dalam gedung sekolah.
Sesampainya di parkiran, Clara mendelik saat mobilnya ditempeli oleh selebaran yang bertuliskan “CLARA AGHISTA PEMBOHONG!”. Seluruh selebaran itu nampaknya ditulis tangan oleh orang-orang yang berbeda.
“Sialan! Siapa yang berani ngelakuin ini ke mobil gue?” Dengan tubuhnya yang masih kotor dan basah kuyup, Clara pun berusaha melepas seluruh kertas itu dari mobilnya. Di tengah-tengah dirinya yang sibuk melepaskan selebaran itu, sebuah bola basket tiba-tiba mendarat tepat di kepalanya dan membuatnya meringis kesakitan.
Buk!
“Aw!” Clara menjerit kesakitan, lalu mengalihkan pandangannya pada lapangan basket yang letaknya memang dekat dengan parkiran mobil. “Argh! Ini siapa lagi main basket gak tau aturan?” geramnya.
Dua lelaki berseragam SMA tiba-tiba berlari menghampirinya. Agam pun menoleh pada Dhafin. “Lo gimana sih, Fin? Gak liat apa ada orang di sini? Main lempar aja.”
“Oh ... ada orang ternyata. Gak keliatan sih, gue kira tadi setan, ada suaranya tapi gak ada wujudnya.”
“Mirip kali ya dia.”
“Lo berdua bukannya minta maaf malah ngeledek gue hah? Beneran anak sini gak punya sopan santun!”
“Dih? Cuma kena bola basket doang padahal, belum juga ngerasain sakitnya dipukulin sama orang suruhan, 'kan?”
Dhafin dan Agam tertawa dan saling menyenggol satu sama lain. “Gak boleh gitu, Gam. Kita kudu minta maaf nih ... ya udah Mbak, lo mau apa? Diobatin? Bentar ya gue panggilin anak PMR.”
Clara hanya terdiam dan menahan amarahnya. Ia bingung saat melihat Dhafin dan Agam yang tiba-tiba memanggil gadis bernama Zara—yang kebetulan saat itu lewat di dekat parkiran. Gadis itu lantas menghampiri mereka bertiga. “Zar, UKS masih buka gak?”
“UKS? Udah tutup lah kan udah jam pulang, kenapa? Siapa yang sakit?”
Agam dan Dhafin kompak menunjuk Clara. “Abis kena bola basket di kepalanya.”
“Oh iya? Hm, gue mau aja sih bantu ngobatin, tapi ... kalo sama dia gue takut. Takut ntar kalo gue tolongin malah jadi terobsesi sama gue, kan serem.”
Mendengar perkataan Zara, Clara akhirnya mulai sadar dengan segala skenario yang ia alami sejak awal kedatangannya di Gemantara tadi. “Lo semua sengaja, 'kan? Maksud lo semua apa sih gini? Gue gak kenal dan gak ada urusan sama kalian!”
“Gak ada urusan sama kita? Setelah lo nge-post segala hoaks di akun anonim itu, lo masih bilang lo gak ada urusan sama kita semua?”
Sebuah suara dari seorang gadis yang tidak lain adalah Oliv, tiba-tiba muncul dari balik gazebo yang terletak dekat dengan lapangan basket. Clara menoleh dan mendapati dua orang gadis dan tiga lelaki yang perlahan menghampirinya.
“Gimana, Clar? Rasanya dipermaluin dan disakitin, tapi gak ada yang mau nolongin lo?” sindir Jenan.
“Lo semua siapa sih? Dari mana lo tau nama gue?”
“Gak penting kita siapa, tapi jelas lah kita tau nama lo. Gak mungkin kita gak tau orang yang udah nyelakain temen kita.”
“Kalian ... temennya Marcel? Kok kalian masih belain dia ....”
“Lo belum tau update terkini soal postingan lo itu ya?” Kali ini Oliv yang menyindir perempuan yang berada tepat di hadapannya itu.
“Postingan?” Clara segera mengecek ponselnya dan membuka laman Facebook. Ia begitu terkejut saat lama postingan akun anonimnya kini malah dipenuhi oleh komentar yang menghujatnya dan membela Acel. “Hah? Kalian kenapa sih masih percaya sama Marcel? Setelah bukti-bukti yang gue posting di situ. Kalian tuh dibohongin sama Marcel!”
Seluruh teman-teman Acel yang sedari tadi mengelilingi Clara lantas berdecak dan tersenyum remeh melihat perempuan itu yang masih terus menjalankan dramanya. Gita pun segera menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan beberapa berkas bukti kebohongan Clara. “Drama lo udah basi.”
Clara mendelik saat melihat layar ponsel Gita. Ia pun berdecak kesal dan bergumam, “Bentar? Ini semua ada screenshot chat gue sama Edo. Sialan! Jadi dia selama ini pengkhianat!”
“Miris ya, partner lo aja ternyata ngekhianatin lo dan malah belain Acel.”
Jenan tersenyum miring sembari menatap Clara yang sorot matanya penuh dengan amarah. Seluruh siswa-siswi di sekitarnya pun ikut menertawakan perempuan yang penampilannya sudah sangat kacau itu. Clara memandangi satu persatu orang-orang yang menertawakannya itu, hingga akhirnya ia memfokuskan pandangannya pada satu gadis yang ada di depannya. Nalurinya seolah meyakini bahwa gadis itu adalah gadis yang membuat Marcel menolaknya.
“Lo.” Clara menunjuk Oliv dan membuat Oliv balik menatapnya. “Lo cewek itu, 'kan? Cewek yang udah bikin Marcel nolak gue? Brengsek lo!” Clara mendekati Oliv dan berniat untuk menamparnya, tetapi seorang lelaki tiba-tiba sigap berdiri di depan Oliv dan menahan tangan Clara.
“Marcel?”
“Udah cukup lo nyakitin dan ngancurin gue kemaren, gak usah nyentuh orang lain, apalagi dia!”
Acel menepis kasar tangan Clara dan membuat perempuan itu terdiam. Melihat Acel yang memasang badannya di depan gadis lain, hati Clara pun kian memanas. Amarahnya kini berubah menjadi rasa sakit yang begitu mendalam, membuat perempuan itu akhirnya melemah dan tak lagi melakukan perlawanan.
“Jadi ... bener dia? Dia itu cewek yang lo banggain itu?”
“Iya, kenapa? Lo masih belum mau sadar juga?”
Pertahanan Clara nampaknya memang hanya bisa diruntuhkan oleh seorang Marcel. Detik itu, ia akhirnya tersadar bahwa memang bukan dirinya lah yang diinginkan lelaki itu. Cukup baginya untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Marcel begitu melindungi gadis yang ada di belakangnya itu. Clara terdiam sejenak, ia menahan tangisnya.
“Kenapa sih Cel ... kenapa lo gak pernah bisa ngehargain usaha gue?”
“Ngehargain usaha lo? Usaha apa? Lo aja gak pernah ngehargain gue, Clar. Lo bales niat baik gue dengan bikin gue celaka dan nyebar berita bohong itu. Kalo lo pengen dihargain orang, lo harusnya berlaku sama ke mereka!”
Jenan pun ikut bersuara, “Bener apa kata Acel. Inget Clar, apa yang lo tanam, itu juga yang bakal lo tuai. Hukum karma itu ada. Semua perbuatan jahat pasti bakal ada balesannya.”
“Apa yang kita lakuin ke lo tadi, itu belum apa-apa.” Rangga pun maju dan memberikan gestur dengan ibu jari dan telunjuknya. “Cuma segini mungkin? Masih segini kecilnya balesan buat kejahatan lo.”
Acel tersenyum tipis saat melihat teman-temannya yang maju untuk memberikan pembalasan pada Clara. Lelaki itu kembali mengalihkan pandangannya pada perempuan yang ada di hadapannya itu. “Lo liat kan sekarang? Apa gue kehilangan segalanya setelah segala rencana jahat yang lo lakuin ke gue? Nggak, 'kan?” Acel mengambil jeda sejenak di tengah perkataannya. “Kalo emang gak ada orang yang baik di hidup lo, ya lo coba jadi salah satunya. Jangan malah ikut jadi jahat kayak mereka.”
Mendengar perkataan Acel, teman-temannya yang lain pun mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. Namun, Clara masih terdiam. Ia memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain, tak berani menatap siapa pun yang ada di hadapannya.
“Mending lo tobat deh Clar! Atau nunggu mau pake baju oren dulu?”
Clara sontak menoleh dan mengernyit mendengar ucapan Gita. “Hah? M-maksud lo?”
Tanpa menunggu jawaban dari Gita, Awan justru menyahut, “Ya lo kan udah nyebar hoaks tentang sekolah ini, enak aja mau dilepasin gitu aja. Urusannya sama pihak berwajib lah!”
“Gue denger-denger, tadi kata Bu Indie, polisi udah otw ke sini sih.”
“Shit!”
Clara pergi menuju ke mobilnya dengan tergesa-gesa. Melihat itu, Gita berteriak, “Heh mau ke mana lo?” Namun, Clara tak menggubris teriakan gadis itu. Ia segera mengambil kemudi dan menancap gas dari parkiran SMA Gemantara, meninggalkan Acel dengan teman-temannya tanpa memedulikan beberapa selebaran kertas yang masih menempel di mobilnya.
“Lah? Dia kabur dong!”
“Udah biarin aja. Ntar kalo beneran dituntut sama pihak sekolah, pasti dia bakal jadi buronan.”
“Ntar kalo polisinya nyampe sini tapi Clara udah pergi gimana anjir?”
Sebuah toyoran kecil lantas mendarat di kepala Gita. “Lo ngapa percaya aja sih anjir, Rangga ngibul lah! Bego banget sih!” tukas Awan.
Gita melirik tajam ke Awan dan balas memberi cubitan-cubitan kecil di badan lelaki itu. Awan pun berusaha menghindar dan mereka berdua berakhir saling kejar mengejar hingga masuk ke dalam gedung sekolah. Di sisi lain, teman-temannya hanya tertawa melihat tingkah kedua remaja itu.
Acel kembali memandang teman-temannya yang masih tersisa di parkiran. “Makasih ya semuanya, sorry udah bikin kalian kerepotan bales Clara.”
“Santai aja, Cel. Biar dia kapok juga.”
“Yoi, kalo Clara muncul lagi, bilang aja ke kita. Kita kerjain lagi ntar.”
“Semuanya juga berkat idenya Jenan sama Awan kok yang udah nyusun skenario begini.”
“Je, thanks ya!” Acel pun bergerak mendekat pada Jenan dan melakukan fist bump.
“Kayak sama siapa aja lo, Cel. Oh iya Zar, Gam, Fin, makasih juga ya udah mau bantuin tadi!”
“Sama-sama, Je!”
Agam, Dhafin, dan Zara akhirnya berpamitan untuk kembali ke kelas. Kini hanya tersisa Jenan, Rangga, Acel, dan Oliv. Jenan pun segera merangkul bahu Rangga dan membuat lelaki itu kebingungan karena sikapnya. “Dah ayo balik duluan, Ngga! Ada yang mau berduaan dulu pasti.”
“Hah? O-oh iya iya. Duluan ya Cel, Liv!”
“Eh eh!” Oliv pun kebingungan dan seketika terdiam saat Jenan dan Rangga meninggalkannya berdua bersama Acel.
Tatapan keduanya tiba-tiba tak sengaja bertemu. Namun, mereka justru tertawa secara bersamaan.
“Makasih ya ....”
“Iya, santai aja.”
“Hm ... btw udah kelar beneran nih urusannya. Jadi?”
Mengetahui maksud Acel, Oliv pun lantas berlalu pergi meninggalkan lelaki itu. Acel mengernyit dan terheran. “Lah anjir kok malah ditinggalin? Liv! Gimana?”
“Apaan dah? Udah ayo balik ke kelas!” ujar Oliv sembari menahan senyumnya. Acel pun segera menyusul gadis itu dan membuat mereka berjalan berdampingan menuju ke kelasnya. Ya memang, saat itu, dunia seakan menjadi hak milik berdua bagi keduanya.