The Old Enemy
Jam sekolah telah usai, menandakan Acel harus bergegas pergi ke lokasi yang telah ditentukan oleh Edo. Lelaki itu akhirnya tiba di depan sebuah tempat boxing yang parkirannya tak begitu ramai oleh kendaraan, hanya beberapa motor dan dua mobil yang terparkir di sana. Acel terdiam sejenak di atas motornya dengan pandangannya yang terarah pada bangunan di depannya. Ia menimbang-nimbang keputusannya untuk masuk ke sana dan menuruti permintaan Edo, atau membatalkan pertemuannya dengan Edo yang sudah ia tunggu-tunggu. Mengingat betapa liciknya Edo, ia semakin ragu, tetapi ia juga ingin mengetahui maksud dan tujuan musuh lamanya itu.
Setelah beberapa menit terdiam di atas motornya, Acel lantas menarik dasinya lalu membuka satu per satu kancing seragamnya. Ia melepas atasan seragam putih abu-abunya dan menyisakan kaos hitam yang masih setia melekat di tubuhnya. Lelaki itu paham bahwa akan sangat beresiko baginya untuk datang ke tempat seperti ini dengan mengenakan seragam sekolahnya. Ia tak ingin lagi mencemari almamaternya. Atasan seragamnya lantas ia masukkan ke dalam ransel, lalu ia mulai melangkah masuk ke dalam tempat boxing itu.
Tepat saat langkahnya telah tiba di dalam sana, beragam suara pukulan menyambut kedatangan Acel. Ia menoleh ke kanan dan kirinya, melihat beberapa pria yang bercucuran keringat nampak sibuk di ring tinju dan ada juga yang terus memukul samsak di hadapan mereka.
Seseorang tiba-tiba menepuk pundak Acel dan membuat lelaki itu sedikit terkesiap. “Nyari siapa, Bro?”
“Oh? Gue ada perlu ketemuan sama seseorang di sini.”
“Namanya siapa?”
“Edo.”
“Oh dia, lo pergi aja ke ring yang ada di pojok sana tuh! Dia udah nungguin dari tadi.”
“Oke, thanks!“
Acel bergegas menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh seorang pria yang tadi menepuk pundaknya. Setibanya di sana, matanya lantas menangkap seorang lelaki yang tengah berdiri dalam sebuah ring tinju. Lelaki itu membelakanginya dan nampaknya tak menyadari kehadiran Acel saat itu. Namun, Acel masih ingat betul bagaimana perawakan Edo. Ia yakin bahwa orang itu adalah musuh lamanya itu. Acel lantas bersuara, “Maksud lo apa ngajak ketemuan di sini?”
Edo membalikkan badannya yang semula bersandar pada sisi corner pad berwarna merah, ia seolah tengah menunggu lawannya untuk berdiri pada corner pad biru yang berhadapan dengannya.
“Naik, Cel.”
“Buat apa? Gue males basa-basi, ngomong aja di bawah!”
“Gue gak bakal mau ngomong kalo lo gak masuk ke ring.”
Acel memalingkan wajahnya sekilas, lalu berdecak kesal. Mau tak mau, ia segera menaruh ranselnya di bawah dan naik ke ring menyusul Edo. Ia berdiri di dekat corner pad berwarna biru. Di tengah ring, terdapat sebuah samsak yang sedikit menghalangi pandangan kedua lelaki itu. Edo pun maju dan tiba-tiba melempar sepasang hand wrap dan sarung tinju pada Acel. Tangan Acel sigap menangkap kedua benda yang berhasil membuat Acel mengernyit.
“Gue gak ada waktu buat main-main sama lo.”
Dengan mengikatkan hand wrap di tangannya, Edo pun menjawab, “Kita gak bakal main-main di sini. Pake hand wrap-nya sama sarung tinju itu. Gue bakal ngomong semuanya abis lo make itu.”
“Anjing! Maksud lo apa sih? Lo sebenernya cuma mau jebak gue, 'kan?”
“Pake aja dulu.”
Emosi Acel hampir mencapai puncaknya. Namun, lagi-lagi ia kembali menuruti kemauan Edo yang ia anggap sangat tak berguna dan membuang-buang waktunya itu. Acel segera melilitkan hand wrap di tangannya. Tiap lilitannya ia lakukan dengan kuat seolah menggambarkan emosinya saat itu. Sekian lama ia tak melihat wajah musuhnya itu membuat emosi Acel kembali terpancing, persis saat dahulu Edo memancingnya untuk melayangkan pukulan ke wajah lelaki itu.
“Gue akuin, gue emang udah sejak lama mantau lo di Gemantara lewat adek gue.”
Ucapan Edo lantas membuat Acel berhenti sejenak dari aktivitasnya untuk melilitkan hand wrap di tangannya. Tanpa memandang Acel sedikit pun, Edo terus melanjutkan perkataannya, “Soal Clara, gue emang sengaja jadi partner dia dengan alibi kalo gue mau ngancurin lo juga, padahal sebenernya, gue cuma mau tau taktik dia aja, kayak gimana sih dia mau ngejalanin rencananya buat ngasih konsekuensi ke lo karena udah nolak dia.”
“Kenapa lo ngelakuin semua itu?”
“Karena gue gak mau tujuan awal gue gagal karena Clara.”
“Tujuan awal?”
“Iya. Tujuan awal gue mantau lo di Gemantara, yaitu mastiin lo bisa lulus tepat waktu tanpa ada halangan lagi.”
“Buat apa lo mastiin gue lulus dari Gemantara?”
Edo memakai sarung tinjunya, lalu bergerak maju mendekati samsak yang ada di antara dirinya dan Acel. Ia pun bersiap memukul samsak itu. “Karena dulu lo gagal lulus sekolah karena gue.”
Buk!
Sebuah pukulan keras menghantam samsak itu. Nampak jelas bahwa Edo tengah melampiaskan amarahnya pada benda di hadapannya itu. “Lo gagal lulus karena gue, banyak orang yang tersakiti karena gue, banyak orang yang akhirnya menderita karena perbuatan gue.”
Buk!
Lagi-lagi Edo meninju samsak itu tiap ia selesai mengeluarkan segala pernyataannya. Napasnya terengah-engah, hingga akhirnya ia terdiam sejenak. “Dan karena gue juga, keluarga gue hancur. Semuanya karena ulah gue!”
Melihat Edo yang terus membicarakan perbuatannya, Acel memilih untuk diam. Bukannya ia tak sanggup merespon, tetapi ia mulai mengerti, lelaki itu nampaknya tengah menyesali segala perbuatannya.
“Gue yakin Cel lo masih inget kata-kata lo pas lo mukul wajah gue waktu itu.” Edo kembali melayangkan satu pukulannya pada samsak. “Lo bilang, gue pantes dapet apa yang lebih menyakitkan dari pukulan lo. Dan lo bener. Lo bener Cel, gue akhirnya dapetin banyak hal yang emang lebih menyakitkan dari sekadar pukulan di wajah gue.”
Edo meneguk ludahnya kasar dengan napasnya yang terengah-engah. Sorot matanya penuh dengan amarah yang bercampur kesedihan yang mendalam. Seluruh memori pahit yang ia alami dalam hidupnya selama ini seolah kembali memenuhi benaknya, membuatnya merasa sesak dan terus membenci dirinya.
“Bokap gue dicopot jabatannya sebagai kepala sekolah secara gak hormat karena kinerjanya yang buruk dan penuh manipulasi. Usaha nyokap gue bangkrut karena ditipu sama rekannya sendiri. Dan gue ... gue lulus sekolah, tapi gak ada satu pun kampus yang mau nerima gue karena udah banyak yang tau track record gue sebagai pem-bully di sekolah. Temen-temen gue pada ninggalin gue karena gak mau terlibat sama masalah gue. Bahkan adek gue juga diolok-olok sama temennya pas SMP karena punya kakak tukang bully. Gue tau, semua ini karma dari perbuatan gue.”
Segala perkataan Edo membuat Acel akhirnya menyadari bahwa lelaki itu telah berubah. Lelaki yang ada di hadapannya itu lantas kembali memukul samsak dengan bertubi-tubi.
“Semuanya karena gue, Cel! Karena gue!”
Acel lantas memakai sarung tinjunya dan maju mendekati Edo. Ia menahan samsak itu sehingga membuat Edo berhenti melayangkan pukulannya.
“Jadi karena itu lo bantuin gue dengan ngumpulin semua bukti itu?”
Edo menganggukkan kepalanya. Acel pun menghela napasnya lalu kembali bertanya, “Terus, gimana orang-orang yang udah lo bully dan lo sakitin selain gue? Mereka mungkin lebih menderita daripada gue karena perbuatan lo dulu.”
“Gue udah nyari mereka dan minta maaf, bahkan sampe memohon-mohon. Gue pengen dapet ampunan dari mereka semua. Cuma satu orang yang belum gue dapetin maaf-nya saat itu, yaitu lo, Cel.”
“Bentar, jadi Vanya itu ....”
“Iya, gue yang minta tolong ke dia buat komen di postingan itu. Gue bener-bener gak tau gimana lagi bisa nebus kesalahan gue ke lo, lo pasti masih dendam dan gak bakal maafin gue kalo gue cuma sekadar dateng dan minta maaf di hadapan lo. Jadi gue mutusin buat lakuin semua ini.”
Seluruh pikiran buruk Acel perlahan memudar setelah mendengar penjelasan Edo. “Terus maksud lo ngajak gue ketemuan di sini apa?”
Edo tiba-tiba menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan Acel. “Gue minta maaf Cel sama lo, gue beneran nyesel. Lo bisa pukul gue sepuasnya sekarang, lampiasin semua emosi lo ke gue, gue pantes dapetin itu. Gak bakal ada yang tau kalo lo mukulin gue secara sengaja di sini, mereka cuma tau kalo kita lagi latihan tinju kayak biasa. Jadi lo bisa pukul gue, gue gak bakal ngelawan. Ayo pukul gue, Cel!”
“Ck!” Acel berdecak dan membuang mukanya. Ia kembali mengingat segala penderitaan yang telah ia lalui akibat perbuatan Edo. Emosinya pun mulai kembali terpancing. “Berdiri lo.”
Acel menarik kaos Edo dan membuat lelaki itu kembali berdiri menghadapnya. Keduanya akhirnya bertatapan. Tak ada lagi tatapan menantang yang terpancar dari Edo, tetapi kini hanya ada penyesalan di mata lelaki itu. Dengan segenap tenaga, Acel mengumpulkan kembali emosinya dan berniat melampiaskannya dengan menonjok wajah Edo hingga babak belur. Ia menghela napasnya, kemudian ia angkat tangannya, bersiap melayangkan sebuah pukulan pada Edo.
Buk!
Sebuah pukulan keras pun dilayangkan oleh Acel, tetapi bukan wajah Edo yang menjadi pendaratannya, melainkan samsak yang berada tepat di samping lelaki itu. Edo lantas terheran saat Acel mengurungkan niatnya untuk memukul wajahnya.
“Kenapa lo gak mukul wajah gue?”
“Gue bukan pecundang yang main curang dengan mukul lawan yang udah nyerah duluan. Dan gue juga udah janji sama seseorang buat gak berantem lagi sama lo.”
Acel lantas melepas sarung tinjunya dan memberikannya kembali pada Edo. Ia juga melepaskan lilitan hand wrap di tangannya dan bergegas turun ke luar ring. Ia pun meraih kembali ranselnya.
“Gue gak bakal berterima kasih sama lo karena emang itu yang seharusnya lo lakuin. Tapi, gue cuma mau bilang, semua usaha lo itu udah cukup buat nebus kesalahan lo ke gue, jadi mending mulai sekarang, lo fokus ke hidup lo buat jadi orang yang lebih baik lagi, Do.”
Dengan menyampirkan ranselnya di pundak, Acel berlalu pergi meninggalkan Edo yang masih terdiam di atas ring itu. Tanpa Acel ketahui, Edo pun tersenyum tipis dan menitikkan air matanya. “Thanks, Marcel. Gue bakal jadi orang yang lebih baik kayak lo, Cel,” ujarnya lirih sembari menatap punggung Acel yang semakin menjauh.