Flashback: The Bitter Pill

Jam pelajaran olahraga akhirnya selesai. Beberapa siswa XII-MIPA 1 lantas bergegas untuk berganti pakaiannya dengan seragam putih abu-abu. Derai keringat nampak membasahi sebagian besar kaos olahraga mereka.

Beberapa siswa yang telah berganti pakaian akhirnya kembali ke kelas. Mereka memanfaatkan sisa waktu istirahatnya untuk bersantai dan memakan camilan atau bekal yang dibawa.

Tak lama kemudian, segerombolan lelaki yang masih setia dengan kaos olahraganya memasuki kelas itu. Salah satu dari lelaki itu, yakni Edo, mulai berulah dengan menyuruh salah satu anak untuk minggir dari tempatnya. “Minggir! Minggir! Gue butuh kipas,” perintahnya sembari mendorong siswa lelaki yang tengah duduk di tempatnya yang memang berada tepat di bawah kipas angin, “Ger, arahin kipasnya ke gue doang!”

Edo memang terkenal dengan kenakalannya dan wataknya yang keras. Ia suka memerintah teman-temannya, terutama teman satu geng-nya, bahkan ia juga suka mem-bully beberapa teman-temannya di sekolah. Meskipun terkenal dengan keburukannya, tak ada satu pun murid di sekolah itu yang berani melawannya, mengingat dirinya adalah anak dari kepala sekolah. Jika ia berulah, hukuman yang paling berat ia terima hanya sebatas dipanggil ke ruang BK, meskipun sebenarnya ia pantas untuk menerima hukuman lebih dari itu. Kekuatan dari kewenangan ayahnya membuat Edo semakin semena-mena karena sang ayah yang juga selalu membelanya. Kepala sekolah itu memang manipulatif, tetapi tak ada yang berani bersuara demi menjaga posisinya.

“Waduh tontonannya make-up banget nih, Van!” goda Edo saat mengintip Vanya yang duduk di bangku depannya. Mendengar itu, gadis itu segera mematikan video yang ia tonton dan hanya berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

“Buat apa sih nonton begituan?”

Vanya masih terdiam. Ia tak ingin menjawab pertanyaan lelaki itu.

“Pengen cantik kali, Do,” sahut Gerry, salah satu anak buah Edo.

“Emang mempan ya?”

Sindiran Edo itu lantas membuat teman-teman geng-nya tertawa. Hal seperti ini nampaknya sudah biasa bagi anak-anak kelas itu. Tak ada yang berani menjawab mau pun membela yang siswa yang di-bully, bahkan korbannya pun hanya diam dan memilih untuk tak menanggapi apa pun. Di sisi lain, seorang lelaki yang sedari tadi memerhatikan Edo dan teman-temannya itu mulai nampak muak dengan omongan mereka. Acel, yang di kelas itu dikenal sebagai Marcel, terus mengamati seisi kelasnya. Sejak awal ia menempati kelas ini, ia memang sudah merasa tak nyaman. Selain karena ia tak lagi sekelas dengan Yohan dan Alan, alasan lainnya adalah karena ia harus satu kelas bersama para pembuat onar di sekolah.

Edo mulai berdiri dan berpindah untuk mendekati Vanya. Lelaki itu duduk di atas meja gadis itu. Vanya menunduk. Tangan gadis itu mulai meremas rok abu-abunya, pertanda bahwa ia sangat takut saat itu.

“Saran gue nih, Van, lo mending nonton make-up yang buat badut gitu sih, kan putih banget tuh mukanya. Cocok dah buat lo didempul gitu mukanya biar makin putih.”

Edo pun tertawa bersama teman-temannya. Acel terus memandangi teman sekelasnya yang lain, tak ada satu pun yang ikut tertawa bersama Edo dan kawan-kawannya. Namun, tak ada juga yang berani melawan mereka.

Salah satu teman geng-nya yang lain, Dion, lantas menyahut, “Eh, ntar mukanya Vanya jadi abu-abu, Do. Lo jangan gitu lah!”

“Oh iya, sorry ya, Van,” ucap Edo sembari berpura-pura merengutkan bibirnya, “sorry soalnya Dion kalo ngomong suka bener.”

Brak!

Seluruh pandangan siswa kelas XII-MIPA 1 sontak tertuju pada seorang lelaki yang baru saja menggebrak mejanya dengan keras itu, termasuk Edo dan kawan-kawannya. Acel sudah tak bisa menahan emosinya. Telinganya muak mendengar segala omongan dari geng Edo yang begitu merendahkan orang lain dan merundung gadis yang tak bersalah.

“Bisa stop gak?” tanya Acel dengan nadanya yang masih terdengar begitu tenang.

Edo melirik ke arah teman-temannya. Lelaki itu menyunggingkan bibirnya dan mulai mendekat ke arah Acel. “Marcel? Tumben lo jadi sensian gini, bawa santai aja lah, Bro! Ini cuma bercanda.” Edo pun menepuk-nepuk pundak Acel. Acel segera menyingkirkan tangan Edo dari pundaknya dan membuat lelaki itu mulai kehilangan kesabarannya.

“Bercanda?” Acel berdecak. Ia pun menunjuk Vanya, “Emang lo ngeliat Vanya ketawa? Lo ngeliat anak-anak selain geng lo di sini ketawa sama jokes lo?”

Edo pun mengamati seluruh teman kelasnya. Tak ada satu pun yang berani menatapnya saat tatapannya bertemu dengan lelaki itu.

“Gak ada, 'kan?” Acel pun memegang pundak Edo, “jokes soal fisik sama sekali gak lucu, dan itu bukan jokes lagi, tapi lo jatuhnya udah ngebully dan ngehina fisik orang.”

“Oh, menurut lo gitu? Oke.”

Edo lantas memandang seluruh teman di kelasnya. “Yang setuju sama pendapat Marcel kalo gue ngehina Vanya siapa? Coba angkat tangan dah!”

Seluruh siswa kelas XII-MIPA 1 membisu. Mereka saling bertatapan satu sama lain. Teman-teman Edo pun tersenyum sinis saat melihat tak ada satu pun siswa yang berani mengangkat tangannya, bahkan Vanya pun hanya terdiam dan menunduk.

“Loh? Beneran gak ada nih? Ayo angkat tangan aja kalo setuju sama Marcel!”

Acel menatap seluruh teman sekelasnya. “Oh, jadi lo semua lebih milih diemin hal yang salah?” Lelaki itu beralih menatap Vanya, “lo juga Van, kenapa lo diem aja? Lo terima di-bully sama mereka?”

“Gimana, Van? Menurut lo, gue sama temen-temen gue ngebully lo, kah?”

Vanya masih terdiam. Gadis itu terus menunduk dan meremas roknya dengan tangannya yang penuh dengan keringat.

“Woe! Kalo ditanya tuh dijawab! Budeg lo?” bentak Gerry pada Vanya.

“Ng-nggak. Edo gak keterlaluan kok, dia gak ngebully gue,” jawab Vanya dengan suaranya yang bergetar.

Sebuah senyuman kemenangan pun terlukis di bibir Edo. Ia menatap Acel sembari mengangkat alisnya. “See? Lo denger sendiri 'kan jawabannya?”

Acel membuang mukanya. Ia tak percaya bahwa gadis yang ia bela itu malah membenarkan tindakan salah yang sudah jelas merendahkan dan merundungnya.

“Oke. Keren ya kelas ini. Kompak banget, sama-sama benerin tindakan yang salah, dan nyalahin tindakan yang bener. Hebat ya,” sarkas Acel sembari bertepuk tangan.

“Marcel ... Marcel,” Edo tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, “makanya jadi orang jangan sok pahlawan. Liat ... gak ada 'kan yang ada di pihak lo? Gak usah malu-maluin diri lo sendiri.”

“Malu? Bukannya lo yang harusnya malu?”

Acel mendekat ke arah Edo. “Lo harusnya malu, anak kepala sekolah tapi sukanya ngebully dan buat onar di sekolah. Gue jadi heran dah, apa sih yang bisa dibanggain dari lo, Do?”

Edo lantas mendorong Acel kasar ke lemari yang terletak di belakang kelas. “Banyak omong lo, Bangsat! Berani lo sama gue?” bentaknya.

Acel menyunggingkan bibirnya sebelah. “Ngapain gue harus takut sama orang yang beraninya sembunyi di balik kekuasaan bokapnya?”

Edo akhirnya naik pitam. Ia mencengkeram kerah seragam putih Acel.

Buk!

Sebuah toyoran keras akhirnya mendarat di wajah Acel hingga membuatnya jatuh terjerembab ke samping. Acel memegang sudut bibirnya. Darah segar keluar dari sudut bibir lelaki itu. Ia mendongak, menatap Edo yang masih berdiri di hadapannya dan menatapnya tajam.

“Kenapa? Sakit?” tanya Edo sembari tersenyum. Edo lantas kembali mengangkat dan mencengkeram kerah Acel. Ia hendak memberi pukulan lagi pada Acel, tetapi Acel justru langsung menyerangnya balik dan menoyor Edo hingga lelaki itu terjatuh membentur tembok yang ada di belakangnya. Seluruh anak kelas XII-MIPA 1 lantas mendelik dan terkejut saat melihat Acel yang berani membalas pukulan Edo. Tak ada yang berani melerai kedua lelaki itu. Beberapa siswa akhirnya mulai saling melempar perintah untuk memanggilkan guru.

“Gimana sekarang? Sakit?” Napas Acel terdengar begitu terengah-engah dan membuatnya memberi jeda sejenak pada perkataannya, “itu masih gak seberapa. Lebih sakit lagi hati orang-orang yang udah lo hina dan bully selama ini. Brengsek kayak lo harusnya nerima lebih dari itu!”

Kini giliran Acel yang meraih kerah kaos olahraga Edo. Lelaki itu menarik dan mencengkeram kerah baju lawannya itu. Edo mencoba melayangkan pukulannya lagi pada Acel, tetapi Acel berhasil menahan pukulan itu. Acel kembali menoyor wajah Edo tepat pada tulang pipinya, meninggalkan bekas kemerahan yang pasti akan membiru dan membuat lebam di wajah lelaki itu karena kerasnya pukulan Acel.

Edo melirik sekilas ke arah jendela, ia melihat beberapa guru yang terlihat menuju ke kelasnya. Lelaki itu tersenyum miring. Ia kembali menatap Acel dengan tatapannya yang begitu tajam. Edo berdecak dan tersenyum remeh. “Cuma segitu doang tenaga lo?”

Mendengar nada Edo yang begitu menantangnya, Acel pun kembali mengangkat tangannya dan bersiap memberi pukulan lainnya pada wajah Edo. Namun, lawannya itu tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan bertingkah seolah dirinya tak berdaya.

“Marcel! Cukup!” teriak salah satu guru yang baru saja memasuki kelas.

Acel pun menoleh pada sumber suara yang memerintahkannya untuk berhenti itu. Pandangan Acel kemudian beralih pada tangannya yang masih mengepal dan terangkat—bersiap untuk kembali memukul Edo. Ia lantas menurunkan tangannya itu saat guru itu mendekat. Lelaki itu menunduk, menatap Edo yang tengah menyeringai padanya dan membuat Acel tersadar akan akal bulus rivalnya itu. Edo pun segera memegang perutnya dan bertingkah seolah-olah dirinya sangat kesakitan.

“Bajingan licik lo!” bisiknya tepat di hadapan Edo.

Beberapa anak buah Edo kemudian menghampiri lelaki yang menyandarkan dirinya di tembok itu. Mereka membopong Edo dan pergi melalui Acel yang masih terdiam di tempatnya dengan sudut bibirnya yang masih berdarah dan mulai membiru.

“Marcel, kamu ikut Ibu ke ruang BK sekarang!” perintah guru yang tadi menghentikannya itu. Seluruh teman sekelasnya hanya terdiam memandangnya. Acel menatap seluruh siswa-siswi yang ada di ruang kelas itu. Miris, tak ada satu pun yang membela, merangkul, atau bahkan bertanya tentang kondisi Acel yang terlihat begitu berantakan dengan wajahnya yang terluka. Dengan acuh tak acuh, Acel akhirnya berjalan ke luar kelasnya dengan segala amarah yang ia pendam dan kekecewaan yang begitu besar di hatinya.