180 Degree

Acel duduk di salah satu bangku taman. Ia merapatkan jari jemarinya sembari mengamati sekitarnya. Berulang kali ia menghela napasnya, pertanda rasa gugup tengah menyelimuti lelaki itu. Hatinya tak siap untuk mengatakan segala hal yang akan sangat berkebalikan dengan keinginannya, tetapi logikanya seolah mengharuskan dirinya untuk melakukannya.

Seorang gadis perlahan menghampiri bangku itu. Acel pun menoleh, membuat tatapan mereka bertemu. Oliv mematung sejenak, beberapa hari tak mendengar kabar Acel dan kini ia akhirnya berhadapan kembali dengan lelaki itu. Gadis itu pun mengambil tempat kosong di sebelah Acel.

Oliv terus menelisik segala sisi wajah Acel dengan tatapannya. Ia merasa lega saat melihat luka dan lebam Acel yang terlihat semakin membaik. Acel sadar bahwa Oliv sejak tadi memerhatikannya, tetapi ia masih tak sanggup menatap gadis itu dan memilih untuk tetap membisu di tempatnya.

“Udah mendingan ya ternyata, gue lega liatnya.”

Hanya sebuah anggukan yang Oliv terima sebagai respon. Ia pun kembali bersuara, “Lo kenapa sih akhir-akhir ini ngilang? Anak-anak kelas pada bingung dan khawatir sama lo.”

“Gue cuma butuh waktu buat sendiri.”

“Kalo lo butuh waktu buat sendiri, terus lo ngapain ngajak gue ketemu gini?”

“Ada sesuatu yang harus gue omongin sama lo. Gue udah gak mau mendem semuanya lagi.”

Jantung Oliv tiba-tiba berdebar lebih kencang. Pikirannya lantas tertuju pada pesan Acel yang mengatakan bahwa ia ingin memperjelas hubungan antara mereka berdua.

“Ngomong aja, Cel.”

Acel menggigit bibir bawahnya. Jantungnya berdesir kencang. Perlahan, ia mengumpulkan nyalinya untuk beralih menatap gadis yang ada di sampingnya itu. Hatinya semakin tak tega saat melihat Oliv yang terlihat nampak santai menunggu segala perkataannya. Acel pun sesekali mengalihkan pandangannya agar hatinya tak lagi goyah.

“Gue mau lo berhenti suka sama gue.”

Hati Oliv jatuh sejatuh-jatuhnya saat itu. Perkataan Acel dengan nadanya yang begitu dingin layaknya sebuah bongkahan es tajam yang menusuk dirinya.

“Cel, lo gak lagi bercanda, 'kan?”

“Gue serius.”

“Ta-tapi kenapa tiba-tiba gini?”

Acel memalingkan wajahnya. Ia menghela napasnya singkat. “Sebenernya semua ini gak tiba-tiba kok, udah sejak lama gue pengen ngomong gini sama lo, cuma gue kasihan aja. Takut lo sakit hati.”

Oliv pun tersenyum remeh, tak percaya dengan perkataan lelaki yang ada di hadapannya. “Kasihan?”

“Iya, kenapa?”

“Berapa kali sih gue bilang ke lo? Berapa kali gue ngasih tau lo buat jangan pernah ngasihanin gue cuma gegara gue suka sama lo? Tapi lo masih aja ngelakuin itu?”

“Udah gue bilang, gue gak mau bikin lo sakit hati.”

“But now you did.”

Tatapan penuh kekecewaan terpancar dari raut wajah Oliv. Gadis itu berusaha menahan kuat tangisnya. Ia masih tak menyangka apakah benar di hadapannya itu adalah seorang Acel, sosok lelaki yang selama ini telah membuat hatinya luluh berulang kali, tetapi kini malah tiba-tiba berubah 180 derajat.

“Gue tau lo pasti sakit banget dengerin pernyataan gue ini, tapi bukannya begini lebih baik? Ini kan yang lo mau? Gue tegas sama lo buat nyuruh lo berhenti suka sama gue.”

“Kenapa gak dari dulu aja lo bilang gini? Kenapa lo malah nyuruh gue buat lanjut nge-crush-in lo hah?”

“Ya karena gue pikir gue bisa bales perasaan lo, tapi ternyata? Gue tetep gak bisa.”

“Jadi yang waktu itu lo bilang di chat itu semuanya bohong?”

“Iya.”

“Bener ya, harusnya sejak awal gue gak percaya sama lo.”

“Gak ada yang nyuruh lo buat percaya sama gue. Lo aja yang bodoh dan terlalu baper.”

Kalimat Acel lagi-lagi menghujam hati Oliv layaknya sebuah pedang. Lidah gadis itu pun terasa kelu, tak ada kata yang sanggup ia ucapkan. Di dalam lubuk hatinya, Oliv hanya berharap bahwa Acel tiba-tiba tersenyum dan mengatakan bahwa ia hanya bercanda, tetapi ia hanya menemui raut wajah lelaki itu yang begitu dingin dan serius dengan kata-katanya.

Dengan menahan sesak di dadanya, gadis itu pun berusaha keras untuk kembali bersuara, “Iya bener. Gue yang salah. Gue bodoh udah percaya dan malah berharap sama cowok kayak lo.”

“Jadi? Semua yang lo sebut tentang kita itu, udah jelas semua kan sekarang?”

“Jelas kok. Jelas. Sejelas-jelasnya.”

“Mulai sekarang, anggep aja kita gak pernah sedeket itu. Mending lo fokus sama urusan lo dan kelas 12 lo daripada ngabisin waktu berharap sama gue. Percuma.”

Oliv hanya menatap Acel dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. Setetes air mata pun jatuh dari pelupuk mata gadis itu, membuat hati Acel semakin sakit. Lelaki itu berusaha keras menahan segala rasa perih di dadanya. Detik itu pula, Acel seolah ingin memukul dirinya sendiri karena telah menyakiti Oliv dengan segala perkataannya. Ia berharap gadis yang ada di hadapannya itu akan menamparnya sekencang mungkin untuk melampiaskan segala amarah dan sakit hatinya.

“Kenapa lo diem aja? Sakit hati? Mau nampar gue? Tampar aja ayo!”

Tangan Oliv pun perlahan terangkat, bersiap untuk melayangkan sebuah tamparan pada pipi Acel. Belum sampai telapak tangan itu mengenai pipi Acel yang masih cukup lebam, Oliv segera mengurungkan niatnya dan mengepalkan tangannya. Ia menurunkan tangannya perlahan.

“Gue benci karena gue gak sanggup buat nampar lo. Gue benci karena saat ini pun perasaan gue ke lo lebih besar daripada rasa sakit hati gue.”

Oliv menunduk. Bahunya naik turun, isak tangisnya pecah. Menatap Oliv yang ada di hadapannya, hati Acel pun semakin teriris. Ia sangat ingin merangkul dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya, tetapi ia tak mungkin melakukan itu. Lelaki itu memilih untuk memalingkan wajahnya.

Sekitar satu menit, Oliv pun akhirnya kembali mengangkat kepalanya. Ia mendongak dan kembali menatap Acel yang masih nampak acuh tak acuh dengannya.

“Gue boleh minta satu hal sama lo?”

Acel pun kembali memusatkan pandangannya pada gadis itu. “Apa?”

“Jangan lakuin ini ke cewek lain. Udah cukup gue aja yang lo giniin. Jangan pernah lagi permainin perasaan orang yang tulus sama lo, karena belum tentu orang lain bakal seberuntung lo.”

Oliv beranjak dan pergi meninggalkan Acel yang masih terdiam mematung di tempatnya. Pikiran lelaki itu seolah tengah mencerna kalimat terakhir yang Oliv ucapkan padanya. Luka di wajah Acel nampaknya kini tak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa perih di hatinya saat mendengar permintaan Oliv.

Acel terus menatap punggung Oliv yang semakin menjauh meninggalkannya. Hati kecilnya berharap bahwa Oliv akan berbalik dan kembali padanya, tetapi ia sadar bahwa dirinya sudah tak pantas menerima perasaan Oliv yang begitu tulus padanya setelah segala hal yang ia ucapkan malam itu. Acel mungkin tak akan bisa memaafkan dirinya karena telah menyakiti hati gadis yang ia sayang. Rasa bersalah pada dirinya kini begitu besar, tetapi logikanya selalu meyakinkan dirinya bahwa mungkin inilah yang terbaik bagi keduanya.