Balikan?
Rivo merapikan kemejanya yang sebenarnya sudah sangat rapi karena ia telah menyetrikanya hampir lima kali. Lelaki itu sibuk berkaca melalui kamera ponselnya. Sesekali pula ia memghela napasnya karena ia begitu gugup memikirkan dirinya yang akan bertemu Alra. Layaknya tengah mengalami dé jàvu, perasaannya ini sama persis seperti saat pertama kali ia meminta Alra untuk menjadi kekasihnya.
Sebuah tepukan kecil di pundak Rivo lantas membuatnya terkejut. “Udah dari tadi? Maaf ya tadi kelasku agak molor kelarnya,” ujar Alra.
“Gak kok. Udah duduk sini dulu.”
Rivo menepuk tempat kosong yang ada di sebelahnya. Alra pun menurutinya dan segera duduk di tempat itu. Hawa canggung mulai terasa di sekitar mereka. Rivo melirik ke arah Alra yang juga tengah terdiam sama sepertinya. Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk membuka percakapan.
“Apa kabar?”
Alra tertawa mendengar pertanyaan Rivo. “Kamu nanyanya kayak udah gak ketemu lama aja.”
“Kan emang udah lama. Kamu gak pernah keliatan lewat depan FISIP.”
“Aku sekarang seringnya lewat depan, soalnya takut kalo liat fakultas kamu malah keinget kamu mulu.”
Hati Rivo mendadak diselimuti oleh lautan bunga. Mendengar Alra yang menghindari fakultasnya hanya karena tak ingin terus terbayang dirinya, membuat Rivo sadar bahwa perasaannya dengan Alra masih sama.
“Kamu ngehindarin lewat FISIP, aku malah berani masuk FIB.”
“Hahaha iya, kamu ngapain sih ke fakultasku kemarin?”
“Kangen aja. Siapa tau ketemu sama kamu.”
Kini giliran Alra yang hatinya dibuat berbunga-bunga oleh lelaki itu. Ia tak menyangka bahwa Rivo akhirnya tak lagi gengsi untuk mengakui perasaannya.
“Tapi, Ra, maaf ya, gelangnya ilang.”
“Gak perlu minta maaf, gelangnya gak ilang kok.”
Alra lantas mengangkat pergelangan tangan kirinya yang mengenakan satu jam tangan putih dan dua gelang hitam dengan motif yang sama. Perasaan malu dan lega kini menyelimuti hati Rivo. “Kamu ambil?”
Alra mengangguk sembari tersenyum tipis. “Aku pikir kamu beneran gak butuh gelang ini lagi, tapi ternyata kamu nyari juga akhirnya.”
“Gak mungkin aku gak butuh gelang itu. Banyak kenangannya.”
Rivo menunduk sejenak dan mengulum bibirnya. Ia pun melanjutkan perkataannya, “Maafin aku ya, Ra. Aku terlalu sibuk dan gak mau nurunin sifat gengsi aku. Aku sadar aku salah.”
“Vo, aku juga salah. Kemaren aku asal mutusin kamu gitu aja, padahal emang masih bisa diomongin baik-baik.”
“Aku boleh jujur gak?”
“Apa?”
“Aku sedih banget waktu itu. Gak nyangka kamu sampe minta putus. Tapi emang salah aku juga karena gak ngabarin kamu dulu, kamu pasti kecewa banget ya?”
“Ya pikiran aku juga lagi kacau waktu itu, Vo. Aku kangen ketemu kamu, tapi kamu malah nyuruh orang lain buat jemput aku.”
“Maaf ya, Ra. Tapi kamu gak kehujanan kan waktu itu?”
“Kehujanan sih hahaha, tapi emang akunya yang gak mau pake jas hujannya.”
“Kenapa gak dipake? Aku udah nyuruh Rion buat bawa jas hujan itu buat kamu.”
“Loh itu jas hujan kamu?”
“Iya. Sebenarnya aku udah semangat banget mau jemput kamu waktu itu, tapi kadiv bener-bener gak ngijinin aku buat pergi. Maaf.”
Alra pun terdiam saat itu. Rivo ternyata sudah berniat untuk menepati janjinya untuk menjemputnya kala itu, tetapi keadaan tak mengizinkannya. Perempuan itu semakin merasa bersalah saat ia mengetahui bahwa jas hujan yang dibawa Rion saat itu adalah milik Rivo. Lelaki itu masih sangat peduli padanya bahkan di tengah kesibukannya.
“Vo, maafin aku, ternyata kamu masih sepeduli itu meskipun kamu sibuk. Aku udah mikir kamu bener-bener cuek sama aku.”
Rivo menggeleng dan tersenyum. “Udah yuk maaf-maafnya? Sekarang aku boleh ambil gelang itu lagi gak?”
Pandangan Alra beralih pada pergelangan tangannya. Ia pun mengangguk dan melepas satu gelang itu. Rivo tersenyum saat gelang itu kembali ke tangannya.
“Dah aku pake lagi. Jadi, kamu mau gak kita balik kayak dulu lagi? Aku gak berani bikin janji karena janji itu punya tanggung jawab yang gede, tapi aku bakal berubah jadi lebih baik lagi, Ra. Aku sadar kalo kesibukan organisasi atau kepanitiaan itu bukan segala-galanya.”
Alra tersenyum penuh haru. Matanya mulai berkaca-kaca. Rivo yang dulu telah kembali. Rivo yang tidak dipenuhi oleh sifat gengsi dan cueknya. Rivo yang selama ini ia rindukan. Ia telah kembali.
Perempuan itu pun mengangguk dan membuat sang lelaki tersenyum lega. “Aku gak bakal ngelarang kamu ikut ini itu kok, Vo. Aku gak mau ngehalangin kamu buat ngembangin diri.”
“Makasih ya udah bertahan ngadepin aku selama ini. Mulai sekarang, aku bakal ikut secukupnya aja, gak mau berlebihan lagi.”
Rivo mengelus pelan telapak tangan Alra. Sejujurnya ia sangat ingin memeluk perempuan itu, ia ingin melepaskan rasa rindu dan bahagianya, tetapi ia tak mungkin melakukan itu di lingkungan kampusnya.
“Hm aku laper nih, Ra. Ke pecel lele Mak Ribut yuk? Aku udah lama gak ke sana.”
“Ayo! Aku juga gak pernah ke sana sejak kita putus, Vo.”
“Takut makin gamon ya?”
“Iya, tapi kalo gini jadi bersyukur karena masih gamon. Makasih ya Vo soalnya kamu masih gamon sama aku.”
“Baru kali ini ada orang gamon malah bilang makasih. Tapi makasih juga ya, Sayang?”