Pertemuan
Sekian lama Resha mematung di sisi kanan bangku panjang berwarna putih itu, tetapi dengan mata dan jari yang hanya terfokus pada benda kotak berwarna hitam yang berada di genggamannya. Resha hanya berusaha mengalihkan pikirannya pada alat komunikasi yang menjadi candu bagi manusia di zaman ini.
“Gue lari aja apa ya?” Ucap perempuan itu dalam hati.
Ia merasa tak enak jika terus memaksa lelaki di sebelahnya untuk memakan jajanan yang telah ia beli itu. Resha merasa iba, namun ia juga merasa takut dan merinding di sekujur tubuhnya. Resha memang telah memberi tawaran pada lelaki yang duduk di sisi kiri bangku itu, namun tak ada gubrisan apapun darinya.
Lelaki itu akhirnya menoleh pada Resha, jangan tanyakan bagaimana raut muka perempuan itu ketika melihat wajah pucat pasi di depannya. Benar-benar pucat pasi, jika Resha boleh menyimpulkan sesuatu dengan keberaniannya, ia akan mengatakan bahwa lelaki itu terlihat seperti mayat. Namun, Resha terlalu penakut untuk berpikir seperti itu.
“Lo nawarin gue?”
Lelaki itu akhirnya bersuara. Resha lantas mendelik ketika mendengar suara lelaki itu. Suaranya memang terdengar normal seperti manusia pada umumnya.
Perempuan itu terdiam beberapa saat, hingga akhirnya lelaki itu kembali bersuara, “Halo, Mbak? Kok bengong? Beneran bisa liat gue gak sih?”
Lelaki itu seolah bermonolog sambil melambaikan tangannya pada muka Resha untuk beberapa saat.
Resha akhirnya tersadar, ia segera mengerjapkan matanya, “Eh i-iya, gue nawarin lo.” Ucap Resha dengan sedikit terbata-bata. Lelaki itu nampak sedikit terkejut dan terdiam beberapa saat.
“Lo... bisa liat gue?”
Pertanyaan itu sontak membuat Resha bingung. Lelaki itu bertanya apakah Resha bisa melihatnya? Apa maksudnya?
“Maksud lo apa? Ya iya lah gue bisa liat lo.”
Lelaki itu lantas terdiam dan menatap Resha beberapa saat. Ia masih mencerna apa yang dikatakan oleh perempuan yang baru ia temui beberapa menit yang lalu itu. Lelaki itu akhirnya bersuara, namun untuk kali ini, perkataan itu membuat Resha terkejut setengah mati bahkan membuat bulu kuduknya pun ikut berdiri.
“Tapi gue bukan manusia lagi, gue udah meninggal...”
Waktu seakan berhenti saat itu. Hembusan angin malam dan suara dedaunan yang telah gugur seolah mendukung suasana di sana. Begitu pula dengan perempuan yang mendengar tutur kata dari lelaki itu, Resha, ia sontak berdiri dari tempat duduknya.
“Bercanda lo gak lucu.”
Ia menatap lelaki itu tak percaya. Lelaki itu hanya mendongak pada Resha, ia juga nampak tak percaya bahwa Resha bisa melihatnya. Lelaki berbalut pakaian kemeja putih yang nampak lusuh itu akhirnya ikut berdiri dari tempatnya.
“Gue gak bercanda, makanya gue heran kok lo bisa liat gue? Tapi gue bersyukur, akhirnya ada yang bisa liat—”
“Udah! Cukup! Ini udah ngaco banget. Gue mau balik.”
Resha akhirnya berani untuk melangkahkan kakinya lebih jauh. Namun, tak sampai lima langkah ia lalui, Resha merasakan dingin di pergelangan tangannya. Ia lantas menoleh. Lelaki itu memegang tangannya.
“Gue mohon, jangan pergi dulu, gue butuh bantuan lo. Gue mohon...”
Lelaki itu lantas melepas genggaman tangannya pada Resha dan menyatukan kedua telapak tangannya seperti membentuk gestur memohon. Raut wajah lelaki itu tampak serius sekaligus pasrah.
“Gue janji gak bakal nyakitin lo, gue cuma butuh bantuan lo.”
Resha hanya bisa menatap lelaki itu. Rasa takutnya mulai memudar melihat kesungguhan dari lelaki yang berkata bahwa dirinya bukan lagi manusia itu. Beberapa detik ia terdiam, Resha akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada lelaki itu.
“Kenapa harus gue?”
Lelaki itu lantas menunduk sebentar, ia nampak benar-benar pasrah. Ia terdiam, tetapi kemudian ia menjawab dengan segala keyakinan sekaligus keraguan tentang Resha yang nantinya dapat menerima jawabannya atau tidak.
“Karena cuma lo yang bisa liat gue... Jadi tolong bantu gue....”